Aluna sampai di rumah dengan tangan penuh membawa kantong-kantong buah yang diminta Veronica dan Kania. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah tenang, mencoba menyembunyikan kejengkelannya setelah menghabiskan waktu berharga bertemu Kaisar hanya untuk pulang dan melayani keluarga ini.“Buahnya mana?” suara Veronica terdengar dari ruang tengah. Aluna mendekat dan meletakkan kantong-kantong di meja. “Semua ada di sini, Veronica. Apel hijau, anggur merah, dan semangka. Jangan khawatir, aku tidak lupa.”Veronica melirik kantong itu dengan ekspresi angkuh. “Baguslah. Kalau sampai ada yang kurang, kau tahu sendiri apa yang akan Mommy Kania katakan.”“Sudah cukup, Veronica,” sela Kania yang baru saja datang dari dapur. “Aluna, kamar utamaku berantakan sekali. Aku mau kau bereskan sekarang. Itu kamarku dan suamiku, jadi jangan asal-asalan.” Perintah Veronica. Aluna tertegun sejenak, matanya melebar. “Kamar utama?”“Ya, kamar itu,” potong Veronica tanpa rasa bersalah. “Semalam dan tadi pagi
Betran duduk di sofa, mencoba meredakan emosinya setelah Veronica menawarkan solusi. “Kamu benar-benar mau aku gunakan dana dari perusahaan Martin?” tanyanya sambil menatap Veronica dengan ragu. “Tentu saja, Sayang,” jawab Veronica lembut, menepuk bahunya. “Itu juga untuk kebaikan kita bersama, kan? Lagipula, siapa lagi yang bisa kau andalkan kalau bukan aku?” Betran menghela napas panjang. “Aku hanya khawatir jika nanti ada masalah di perusahaan Martin. Itu kan milikmu. Jangan sampai kita malah kehilangan dua-duanya.” Veronica tersenyum kecil, meletakkan cangkir tehnya di meja. “Betran, perusahaan Martin sedang dalam kondisi stabil. Aku selalu memastikan semua berjalan lancar, meskipun kau yang mengelolanya. Jadi jangan khawatir. Ambil dana itu untuk sementara waktu. Aku percaya padamu.” Betran akhirnya mengangguk. “Baiklah. Aku akan atur ini dengan kepala keuangan besok.” Veronica berdiri, menyentuh pipi Betran dengan lembut. “Aku tahu kau stres, Sayang, tapi jangan terlalu ke
Beberapa hari kemudianDi sebuah kafe kecil di pinggiran kota, Kaisar duduk dengan salah satu orang kepercayaannya, seorang pria berkacamata dengan penampilan rapi bernama Aldo. Di depannya, layar laptop terbuka memperlihatkan data keuangan perusahaan Martin yang baru saja diakses. Kaisar menatap Aldo dengan pandangan tajam. "Aldo, ini saatnya kita buat langkah besar," ucap Kaisar tegas. Aldo mengangguk, jarinya mengetik cepat di keyboard. "Semua data sudah siap. Kalau kita mulai mengalihkan transaksi ke rekening yang aku siapkan, dampaknya akan mulai terasa dalam dua minggu. Tapi ini baru tahap pertama. Apa selanjutnya?" Kaisar melipat tangannya di meja, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tahap selanjutnya adalah memastikan perusahaan itu kehilangan konsumen. Kita harus buat produk mereka terlihat buruk di pasaran. Ada cara untuk merusak citra mereka tanpa menimbulkan kecurigaan?" Aldo tersenyum kecil, seolah pertanyaan itu sudah lama ia nantikan. "Ada, Tuan. Kita bisa sebarkan
Pukul tujuh malam.Di ruang tamu, Veronica duduk memegangi perutnya yang terasa sedikit kram. Awalnya, ia mengira itu hanya efek kelelahan akibat stres belakangan ini. Namun, rasa sakitnya semakin kuat. Tangannya mencengkeram ujung sofa sambil mengerang pelan. "Ah… Betran!" panggilnya dengan suara yang bergetar. Betran, yang berada di dapur, langsung berlari ke ruang tamu. Ia melihat wajah Veronica pucat, napasnya tersengal-sengal, dan tangannya mencengkeram perut. “Veronica, apa yang terjadi?” tanyanya panik, berlutut di sampingnya. “Kram... perutku sakit sekali!” Veronica menjerit, suaranya histeris. Ia mencengkeram lengan Betran dengan kuat. Tanpa membuang waktu, Betran segera mengangkat tubuh Veronica. “Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas. Veronica hanya bisa menangis kesakitan. Tangannya terus memegang perut, sementara tubuhnya gemetar. Aluna berdiri di dekat tangga, menyaksikan pemandangan itu dari kejauhan. Ia menyunggingkan senyum sinis, tidak mampu menahan
Esok harinya, Veronica masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya terasa lemas, dan wajahnya masih pucat. Di sisinya, Kania duduk di kursi dengan raut wajah tegang. Ia menggenggam tangan Veronica dengan erat, seolah mencoba memberikan kekuatan kepada menantunya. “Bagaimana keadaan sekarang, Veronica?” tanya Kania lembut, memecah keheningan. Veronica mengangguk pelan. “Sedikit lebih baik, Mommy. Tapi aku masih merasa sangat lelah.” “Itu wajar,” jawab Kania. “Kau harus benar-benar istirahat. Jangan pikirkan apa pun selain kesehatanmu dan bayi ini.” Mendadak, pintu kamar terbuka. Betran masuk dengan wajah yang jelas menunjukkan tekanan. Ia melangkah mendekat dan mencium kening Veronica. “Bagaimana keadaanmu, Sayang?” tanyanya, mencoba terdengar lembut meskipun pikirannya sedang kacau. Veronica menatapnya dengan sorot khawatir. “Lebih baik, tapi kenapa wajahmu terlihat kusut? Apa ada masalah lagi di kantor?” Betran menggeleng cepat, meskipun jelas itu bukan jawab
Aluna baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, masih dengan wajah tenang setelah kembali dari pertemuan singkatnya dengan Kaisar. Namun, ketenangannya langsung buyar ketika Kania berdiri di ruang tamu dengan mata berkilat marah. “Aluna!” teriak Kania, menghampirinya dengan langkah cepat. Sebelum Aluna sempat berkata apa-apa, Kania langsung menarik rambutnya dengan kasar, membuatnya menjerit kecil. “Beraninya kau keluyuran tanpa izin dariku? Apa kau pikir kau bisa melakukan apa saja di rumah ini?” bentak Kania dengan suara penuh kemarahan. Aluna terhuyung ke belakang, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Kania. “Mommy, lepaskan! Sakit!” serunya panik. Namun, Kania tidak melepaskan pegangan tangannya. “Sakit? Kau pikir Veronica tidak sakit? Dia di rumah sakit sekarang, sedang berjuang demi anaknya, dan kau malah keluar seenaknya!” Aluna akhirnya berhasil menarik diri. Rambutnya kusut, dan napasnya tersengal. Ia memandang Kania dengan wajah terkejut dan bingung. “Mommy, ak
Aluna membuka pintu kamarnya dengan langkah lelah, berharap bisa beristirahat sejenak dari ketegangan yang terus-menerus membebaninya. Namun, ketika pintu itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang membuatnya terkejut setengah mati. Kaisar. Pria itu sedang berdiri di dekat jendela kamar, tampak begitu tenang seolah berada di tempat yang benar-benar nyaman. Aluna menutup pintu kamar dengan terburu-buru, matanya membelalak. “Kaisar? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya nyaris serak. Kaisar menoleh, senyum tipis di wajahnya. “Kau terlihat sangat lelah, Aluna. Sepertinya, kamu butuh bantuan.” Aluna langsung merasa ketegangan di tubuhnya semakin meningkat. “Kamu berani sekali masuk ke kamarku tanpa izin! Kalau ada yang tahu—” Namun, sebelum Aluna bisa melanjutkan omelannya, Kaisar sudah mendekat dan dengan cepat mengangkatnya, menggendongnya dalam pelukan yang kuat. “Apa yang kamu lakukan?” Aluna protes, tubuhnya terkejut. “Kaisar, turunkan aku! Janga
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil berhenti di rumah sakit yang tidak jauh dari kota, sebuah rumah sakit swasta yang jauh lebih tenang dan tidak terlalu ramai. Kaisar menoleh kepada Aluna yang masih terdiam di sampingnya, wajahnya sedikit pucat dan matanya terlihat lelah. “Kita sudah sampai,” kata Kaisar, nada suaranya lembut namun penuh perhatian. “Sekarang, kita pastikan kamu diperiksa. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Aluna mengangguk pelan, meskipun masih merasa ada yang janggal dengan seluruh situasi ini. Kaisar membantu Aluna keluar dari mobil dan memimpin jalan menuju ruang pemeriksaan. Begitu mereka sampai di ruang tunggu, seorang perawat menghampiri mereka dengan senyuman ramah. “Ada yang bisa kami bantu, Tuan dan Nyonya?” “Dia butuh pemeriksaan,” jawab Kaisar singkat, menunjuk ke arah Aluna. “Tolong beri perhatian lebih pada pasien ini.” Perawat itu mengangguk dan memberi isyarat agar Aluna duduk di ruang tunggu sementara ia menyiapkan peralatan. Kaisa
Aluna turun dari mobil dengan wajah lelah. Hari ini benar-benar panjang, ditambah pikirannya masih kacau setelah berbicara dengan Kaisar. Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia langsung disambut oleh babysitter yang terlihat panik. "Nyonya Aluna, Baby Alva rewel sejak tadi. Susah makan, susah minum susu juga," ujar babysitter itu cemas. Aluna mengerutkan kening. "Kenapa? Apa dia demam?" Babysitter menggeleng. "Tidak demam, tapi terus menangis. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja dia menolak makan." Tanpa menunggu lebih lama, Aluna segera menuju kamar Baby Alva. Sesampainya di sana, ia melihat putranya yang masih terisak di tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena menangis. "Sayang, Mama di sini," ujar Aluna lembut, segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Baby Alva mengusap matanya dengan tangan mungilnya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna. "Ada apa, hm?" Aluna membelai rambutnya pelan. "Kenapa tidak mau maka
Aluna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka topik yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kaisar, sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” ujar Aluna dengan nada serius. Kaisar mengangkat alis, memusatkan perhatiannya pada Aluna. “Apa itu, Aluna?” “Perusahaanku, Chandra Grup, sedang dalam masalah.” Aluna menyerahkan laporan yang sudah ia siapkan di dalam tasnya. “Ada penurunan signifikan dalam pasar penjualan kita. Setelah diselidiki, ada kejanggalan. Tampaknya seseorang mencoba merusak reputasi perusahaan dari dalam.” Kaisar membuka laporan itu, membaca dengan seksama. Wajahnya berubah serius. “Ini bukan sekadar kejatuhan pasar biasa. Tampaknya ada sabotase.” “Itulah yang aku khawatirkan,” Aluna mengangguk. “Aku sudah meminta tim investigasi internal, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka yang terlibat sangat pandai menutupi jejak.” Kaisar menatapnya dalam. “Aku akan mencoba membantu menyelidiki. Mungkin dari sisi lain, kita bisa me
Aluna duduk di kursi kerjanya dengan wajah tegang. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mencoba menemui Kaisar di rumah sakit, namun selalu gagal. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi tetap saja bayangan Kaisar terus muncul di kepalanya. "Asisten," panggil Aluna dengan suara tegas. Seorang wanita muda bernama Siska segera masuk ke dalam ruangannya, membawa setumpuk dokumen.Ya, sudah tiga hari ini Aluna mengganti asistennya. Asisten sebelumnya sedang cuti beberapa bulan, tugasnya ia serahkan pada Siska, sepupunya. "Ada perkembangan dari laporan yang aku minta?" tanya Aluna, menyandarkan punggungnya ke kursi. Siska mengangguk, meletakkan beberapa lembar kertas di meja. "Setelah saya dan tim melakukan penyelidikan, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pasar." Aluna mengambil laporan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Dahinya mengernyit. "Penjualan turun drastis di beberapa wilayah utama, terutama yang sebelumnya menjadi pasar terbesar kita
Aluna melangkah dengan cepat memasuki lobi rumah sakit, dadanya berdebar kencang. Setelah mendengar kabar bahwa Kaisar—atau sekarang dikenal sebagai Raja—sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa, ia tak bisa lagi menahan diri untuk menemuinya. Namun, baru saja ia hendak menuju lift, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri menghadangnya. “Jangan harap kau bisa menemuinya,” suara dingin Ratu menyentak telinga Aluna. Aluna menatap wanita itu dengan tajam. Ia tahu sejak awal Ratu bukan wanita sembarangan, tapi tak disangka, Ratu bisa sekejam ini. “Aku datang bukan untuk bertengkar, aku hanya ingin melihatnya,” ucap Aluna, mencoba menahan emosinya. Ratu menyilangkan tangan di dadanya. “Tidak perlu. Dia sudah punya aku. Dia tidak butuh kau lagi.” Aluna tersenyum miring. “Raja adalah Kaisar, bukan?” tanyanya tegas. Ratu mendengus. “Lalu?” “Kaisar adalah tunanganku,” lanjut Aluna, tatapannya semakin tajam. Ratu terkekeh sinis. “Benar, dia memang Kaisar. Tapi kau
Beberapa hari berlalu. Raja terbaring tak berdaya di ruang ICU rumah sakit. Meski matanya terpejam dan tubuhnya lemah, ada perasaan yang menggelora dalam dirinya. Ingatannya yang hilang perlahan kembali, seperti sepotong puzzle yang mulai tersusun. Ketika perlahan matanya terbuka, rasa sakit di kepalanya terasa amat perih. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang begitu terang. Sensasi itu seolah mengingatkan dirinya pada kejadian beberapa hari lalu, kecelakaan yang menyebabkan semuanya menjadi kacau. Raja menatap langit-langit rumah sakit, mencoba mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan, bayangan-bayangan dalam memorinya yang hilang kini mulai muncul kembali. Sosok dirinya—Kaisar Amartha—muncul dalam pikirannya, begitu jelas dan begitu nyata. "Aku... Kaisar Amartha," gumamnya pelan, kebingungan dan kebahagiaan bercampur dalam hatinya. Namun, perasaan itu tak bisa bertahan lama. Di tengah kebingungannya, ia mendengar suara langkah kak
Raja menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang setelah keluar dari rumah Raini. Pikirannya dipenuhi berbagai hal—tentang Aluna, Baby Alva, dan perasaannya yang semakin jelas. Ia tak menyadari sebuah truk besar di depannya tiba-tiba berhenti mendadak. “BRAK!” Benturan keras terdengar ketika mobil Raja menabrak bagian belakang truk. Kepalanya membentur setir dengan keras meskipun airbag terbuka. Darah segar mengalir di pelipisnya, tubuhnya lemas, dan kesadarannya mulai menghilang. Orang-orang di sekitar tempat kejadian segera berlari mendekat. “Panggil ambulans!” teriak seseorang. Tak lama kemudian, ambulans datang dan membawa Raja ke rumah sakit. Wajahnya penuh darah, dan kondisinya terlihat mengkhawatirkan. Saat tiba di rumah sakit, dokter langsung membawanya ke ruang operasi karena benturan di kepalanya cukup parah. *** Di ruang tunggu rumah sakit, Ratu mondar-mandir dengan wajah panik. Air matanya terus mengalir, tak bisa disembunyikan lagi. Ia menggenggam ponselnya erat
Pukul 00:30Sussana terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam yang terdengar di kamar Aluna. Dia terbangun karena suara tangisan Baby Alva. Dengan cepat, Aluna bangkit dari tempat tidur dan mendekati ranjang bayi yang ada di sudut kamarnya.“Alva sayang, kenapa?” Aluna menyentuh kening bayi itu, lalu ia terkejut mendapati kening Alva terasa sangat panas. “Astaga, panas sekali…” gumamnya panik.Ia langsung mengambil termometer dari laci samping tempat tidur. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan ujung termometer ke bawah ketiak Baby Alva yang masih menangis.“37,9°… Ini terlalu tinggi!” Suaranya mulai bergetar. Aluna segera mengambil ponselnya, menelepon babysitter yang tidur di kamar sebelah.“ Lina, tolong ke kamar saya sekarang juga! Alva demam tinggi,” katanya cepat.Tak sampai satu menit, babysitter yang bernama Lina muncul dengan wajah cemas. “Ya ampun, Nona. Panasnya tinggi sekali, ya? Kita harus membawanya ke rumah sakit.”“Saya setuju. Tolong siapkan tas bayi dan perl
Malam itu, Mansion Aluna diterangi lampu-lampu taman yang temaram, memberikan suasana hangat meski hati Aluna terasa kacau. Ia tengah duduk di ruang keluarga, memangku Baby Alva yang tertidur lelap di pelukannya. Pandangannya terus tertuju pada wajah mungil itu, meskipun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, suara bel pintu mengalihkan perhatian Aluna. Seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu. “Nona, Tuan Raja datang.”Jantung Aluna berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, lalu menyerahkan Baby Alva kepada babysitter yang sudah menunggu. “Bawa Alva ke kamar, dan pastikan dia nyaman,” ucapnya.Setelah memastikan Baby Alva aman, Aluna berjalan ke ruang tamu. Di sana, Raja sudah berdiri, mengenakan setelan kasual namun tetap memancarkan wibawa. Sorot matanya langsung tertuju pada Aluna, seolah tidak ada yang lain di ruangan itu.“Tuan Raja,” sapa Aluna pelan, mencoba menjaga formalitas meskipun hatinya bergemuruh.“Aluna,” balas Raja, suaranya terdengar lebih lembut da
Pukul empat subuh, suasana di kamar terasa begitu sunyi hingga suara langkah kecil Ratu yang tergesa menuju kamar mandi terdengar jelas. Raja, yang biasanya tidur cukup lelap, langsung terbangun mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi.“Ratu?” panggil Raja dengan nada penuh kekhawatiran. Ia bergegas menuju kamar mandi, membuka pintunya dan melihat istrinya yang terduduk lemas di lantai. Wajah Ratu pucat, keringat dingin membasahi dahinya.“Aku… mual,” gumam Ratu lemah, tangannya gemetar memegang wastafel untuk mencoba berdiri.Tanpa pikir panjang, Raja segera mengangkat tubuh Ratu dan membawanya kembali ke tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan panggil dokter,” kata Raja sambil meletakkan Ratu dengan hati-hati.“Tidak… tidak usah,” cegah Ratu, memegang lengan Raja dengan sisa tenaganya. “Aku tahu ini kenapa.”“Kamu tahu?” Raja mengernyit, bingung. “Maksudmu apa?”Ratu menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatannya. “Aku… aku terlambat haid. Coba kamu ambil tes kehamil