Esok harinya, Veronica masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya terasa lemas, dan wajahnya masih pucat. Di sisinya, Kania duduk di kursi dengan raut wajah tegang. Ia menggenggam tangan Veronica dengan erat, seolah mencoba memberikan kekuatan kepada menantunya. “Bagaimana keadaan sekarang, Veronica?” tanya Kania lembut, memecah keheningan. Veronica mengangguk pelan. “Sedikit lebih baik, Mommy. Tapi aku masih merasa sangat lelah.” “Itu wajar,” jawab Kania. “Kau harus benar-benar istirahat. Jangan pikirkan apa pun selain kesehatanmu dan bayi ini.” Mendadak, pintu kamar terbuka. Betran masuk dengan wajah yang jelas menunjukkan tekanan. Ia melangkah mendekat dan mencium kening Veronica. “Bagaimana keadaanmu, Sayang?” tanyanya, mencoba terdengar lembut meskipun pikirannya sedang kacau. Veronica menatapnya dengan sorot khawatir. “Lebih baik, tapi kenapa wajahmu terlihat kusut? Apa ada masalah lagi di kantor?” Betran menggeleng cepat, meskipun jelas itu bukan jawab
Aluna baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, masih dengan wajah tenang setelah kembali dari pertemuan singkatnya dengan Kaisar. Namun, ketenangannya langsung buyar ketika Kania berdiri di ruang tamu dengan mata berkilat marah. “Aluna!” teriak Kania, menghampirinya dengan langkah cepat. Sebelum Aluna sempat berkata apa-apa, Kania langsung menarik rambutnya dengan kasar, membuatnya menjerit kecil. “Beraninya kau keluyuran tanpa izin dariku? Apa kau pikir kau bisa melakukan apa saja di rumah ini?” bentak Kania dengan suara penuh kemarahan. Aluna terhuyung ke belakang, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Kania. “Mommy, lepaskan! Sakit!” serunya panik. Namun, Kania tidak melepaskan pegangan tangannya. “Sakit? Kau pikir Veronica tidak sakit? Dia di rumah sakit sekarang, sedang berjuang demi anaknya, dan kau malah keluar seenaknya!” Aluna akhirnya berhasil menarik diri. Rambutnya kusut, dan napasnya tersengal. Ia memandang Kania dengan wajah terkejut dan bingung. “Mommy, ak
Aluna membuka pintu kamarnya dengan langkah lelah, berharap bisa beristirahat sejenak dari ketegangan yang terus-menerus membebaninya. Namun, ketika pintu itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang membuatnya terkejut setengah mati. Kaisar. Pria itu sedang berdiri di dekat jendela kamar, tampak begitu tenang seolah berada di tempat yang benar-benar nyaman. Aluna menutup pintu kamar dengan terburu-buru, matanya membelalak. “Kaisar? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya nyaris serak. Kaisar menoleh, senyum tipis di wajahnya. “Kau terlihat sangat lelah, Aluna. Sepertinya, kamu butuh bantuan.” Aluna langsung merasa ketegangan di tubuhnya semakin meningkat. “Kamu berani sekali masuk ke kamarku tanpa izin! Kalau ada yang tahu—” Namun, sebelum Aluna bisa melanjutkan omelannya, Kaisar sudah mendekat dan dengan cepat mengangkatnya, menggendongnya dalam pelukan yang kuat. “Apa yang kamu lakukan?” Aluna protes, tubuhnya terkejut. “Kaisar, turunkan aku! Janga
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil berhenti di rumah sakit yang tidak jauh dari kota, sebuah rumah sakit swasta yang jauh lebih tenang dan tidak terlalu ramai. Kaisar menoleh kepada Aluna yang masih terdiam di sampingnya, wajahnya sedikit pucat dan matanya terlihat lelah. “Kita sudah sampai,” kata Kaisar, nada suaranya lembut namun penuh perhatian. “Sekarang, kita pastikan kamu diperiksa. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Aluna mengangguk pelan, meskipun masih merasa ada yang janggal dengan seluruh situasi ini. Kaisar membantu Aluna keluar dari mobil dan memimpin jalan menuju ruang pemeriksaan. Begitu mereka sampai di ruang tunggu, seorang perawat menghampiri mereka dengan senyuman ramah. “Ada yang bisa kami bantu, Tuan dan Nyonya?” “Dia butuh pemeriksaan,” jawab Kaisar singkat, menunjuk ke arah Aluna. “Tolong beri perhatian lebih pada pasien ini.” Perawat itu mengangguk dan memberi isyarat agar Aluna duduk di ruang tunggu sementara ia menyiapkan peralatan. Kaisa
Malam itu di kamar yang temaram, Kaisar berusaha memejamkan mata sambil memeluk Aluna erat. Ia tahu situasi ini sudah terlalu jauh, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kaisar tidak ingin melepaskan sesuatu yang membuatnya merasa utuh. Namun, keheningan itu pecah ketika tangan Aluna, yang setengah sadar, tanpa sengaja menyentuh bagian tubuh Kaisar yang sudah sejak tadi mencoba ia kendalikan. Kaisar tersentak, tubuhnya menegang seketika. Ia menatap wajah Aluna, yang tampak tenang dalam tidurnya. Napasnya menjadi berat, pikirannya mulai dipenuhi oleh dorongan yang sulit ia kendalikan. “Aluna…” bisiknya pelan, mencoba membangunkan dirinya dari godaan itu. Tapi Aluna hanya bergerak sedikit, masih berada di ambang kesadaran. Kaisar menarik napas panjang, berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Ia menggenggam pergelangan tangan Aluna dengan lembut, memindahkannya dari tempat yang membuatnya hampir kehilangan kendali. “Tidak, aku tidak bisa,” gumamnya dengan suara serak. Ia m
Kaisar terbangun dari tidurnya ketika merasakan pelukan erat dari Aluna. Ia semula mengira wanita itu masih tertidur, tapi detik berikutnya, ia merasakan sesuatu yang membuat tubuhnya kembali tegang. Saat itu, Aluna membuka matanya, menatap Kaisar dengan senyuman yang menggoda. “Sentuh aku, Kaisar. Ayolah…” bisik Aluna, suaranya lembut, namun penuh dengan keberanian yang tidak biasa. Kaisar terdiam, matanya membulat. “Aluna… Apa kau sadar apa yang sedang kau katakan?” tanyanya dengan nada penuh keraguan, meskipun di dalam dirinya, dorongan itu semakin sulit untuk dilawan. Aluna tidak menjawab langsung. Ia malah mendekat, menyentuh wajah Kaisar dengan jemarinya yang gemetar. “Aku sadar, Kaisar. Aku tahu apa yang aku mau… dan aku mau kamu.” Kaisar menarik napas tajam. Hati kecilnya mencoba melawan, tapi tubuhnya sudah bereaksi lebih dulu. Sebelum ia sempat memikirkan apa pun lagi, ia menunduk, mengecup bibir Aluna dengan lembut. Awalnya ciuman itu penuh kehati-hatian, seolah K
Aluna menggerakkan tubuhnya perlahan, matanya masih setengah terpejam. Ia meraba sisi tempat tidur yang kosong dan menyadari Kaisar tidak ada di sana. Setelah beberapa detik, ia mendengar suara air dari kamar mandi. “Pagi-pagi sudah mandi?” gumam Aluna pelan sambil meregangkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit, pikirannya kosong sejenak sebelum perlahan terisi kembali dengan kenyataan hidupnya. Rumah Betran, Veronica, Kania, dan segala beban yang ia tanggung. Namun, kehadiran Kaisar memberinya sedikit kelegaan, meskipun ia tahu itu hanya sementara. Beberapa menit kemudian, Kaisar keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang melingkar di pinggangnya. Aluna yang sudah setengah bangun menoleh dan tersenyum lemah. "Kau bangun lebih awal," komentarnya. Kaisar tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. "Ya, karena semalam tidak bisa tidur nyenyak.""Kenapa?" tanya Aluna, suaranya penuh keingintahuan. "Hanya... mimpi aneh," jawab Kaisar sambil menghin
Kaisar mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sesekali melirik ke arah Aluna yang duduk di sampingnya. Wanita itu terlihat memandang jalan dengan tatapan kosong, pikirannya jelas sedang melayang entah ke mana. Kaisar ingin berbicara, tapi ia memilih untuk tetap diam, takut mengganggu pikiran Aluna yang tampaknya sedang berat. "Aluna," akhirnya Kaisar membuka suara ketika mereka hampir sampai di depan rumah Betran. "Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku," ucap Kaisar. Aluna menoleh, tersenyum tipis. "Tentu, Kaisar. Aku pasti akan hubungi kamu."Kaisar menghentikan mobil beberapa meter dari gerbang rumah, memastikan tidak ada yang melihat mereka. "Kau yakin tidak mau aku antar sampai dalam?"Aluna menggeleng. "Tidak perlu. Kalau ada yang melihat, bisa jadi masalah besar. Aku akan masuk lewat pintu samping. Kania dan Betran belum pulang, jadi aman."Kaisar menghela napas, masih merasa berat untuk melepaskannya kembali ke rumah itu. "Baiklah, tapi hati-hati. Aku tidak suka
Aluna melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan tenang, meskipun hatinya masih sedikit panas setelah insiden dengan Ratu di parkiran tadi. Ia menghela napas pelan, mencoba mengembalikan fokusnya pada pekerjaan. Begitu ia duduk di kursinya, asistennya, Hanna, segera masuk dengan membawa tablet di tangannya. "Nyonya Aluna, sesuai jadwal, pukul sepuluh pagi nanti ada pertemuan dengan klien dari Korea Utara," lapor Hansen. "Mereka ingin menawarkan kerja sama bisnis di bidang ekspor bahan baku tekstil. Saya sudah mengatur tempat pertemuan di ruang konferensi lantai tujuh." Aluna mengangguk. "Baik, pastikan semua dokumen yang diperlukan sudah siap. Aku ingin tahu lebih detail mengenai proposal mereka sebelum pertemuan dimulai." "Saya akan segera mengirimkan berkasnya ke email Anda," kata Hansen. "Terima kasih, Hansen. Itu saja?" "Satu lagi, Nyonya," lanjut Hansen. "Saya ingin memastikan apakah Anda akan menghadiri makan siang dengan investor lokal nanti?" Aluna berpikir sejenak
Aluna baru saja hendak membuka pintu mobil saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Aluna! Tunggu!" Ia menoleh dan melihat seorang wanita tua berlari kecil ke arahnya. Kania, mantan ibu mertuanya. Wajahnya tampak lelah, ada guratan cemas di sana. Aluna menghela napas. Ia sudah bisa menebak tujuan wanita itu datang menemuinya lagi. "Tolong, Aluna..." suara Kania bergetar, matanya berkaca-kaca. "Aku mohon, bebaskan Betran... Aku tahu dia salah, aku tahu dia pantas dihukum, tapi dia tetap manusia. Dia tetap ayah dari Alva..." Aluna menegang. Ia menggenggam pegangan pintu mobil erat-erat, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. "Kania, sudah kubilang berkali-kali, aku tidak bisa begitu saja membebaskan dia. Ini masalah hukum, bukan masalah pribadi," ujar Aluna setenang mungkin. Kania terisak. "Aku mohon, Aluna... Aku sudah tua, aku tidak sanggup melihat anakku menderita seperti ini. Dia sudah menerima kesalahannya, dia menyesal. Tolonglah, Aluna..." Aluna menatap K
Aluna berjalan menuju kamarnya dengan perasaan yang sangat sulit ia jelaskan. Senyum kecil tak bisa ia tahan saat mengingat bagaimana Kaisar tadi mencium dan memeluknya. Rasanya begitu nyata, begitu hangat, seakan waktu tak pernah memisahkan mereka. Namun, lamunannya buyar ketika suara tangisan Baby Alva terdengar. Dengan cepat, ia mendekati ranjang bayi dan mengangkatnya ke dalam pelukannya. "Alva sayang, kenapa rewelnya?" gumam Aluna sambil mengayun-ayun pelan tubuh kecil itu. Baby Alva masih merengek, tangannya yang mungil menarik baju tidur Aluna, seolah meminta lebih banyak perhatian. "Kamu mau ditimang-timang, ya?" tanya Aluna lembut. Senyum Aluna semakin mengembang saat melihat mata kecil Alva mulai terpejam dalam gendongannya. Tapi di sisi lain, pikirannya kembali teringat pada Kaisar. Ucapannya, sentuhannya, tatapan penuh kerinduan itu. Di tempat lain, Kaisar baru saja sampai di rumah. Langkahnya santai, seolah tak peduli dengan siapa yang mungkin sedang menunggun
Tok! Tok! Tok!Aluna yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh ke arah pintu. "Nona, ada tamu," suara pelayan terdengar dari luar. "Siapa?" tanyanya sambil bangkit. "Tuan Kaisar, Nona," jawab pelayan dengan nada hati-hati. Aluna terdiam sejenak. Rasanya tak percaya Kaisar datang ke sini, ke mansionnya, setelah semua yang terjadi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Saat sampai di ruang tamu, sosok Kaisar sudah berdiri di sana. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, tampak santai tapi tetap berwibawa. Tatapannya langsung tertuju pada Aluna begitu ia muncul. "Aluna," panggil Kaisar pelan. Aluna tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di dekat tangga, menjaga jarak. Kaisar tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. "Aku datang untuk berterima kasih." Aluna mengangkat alis. "Untuk apa?" "Untuk semuanya," ujar Kaisar. "Untuk mengurus Amartha selama aku tidak ada, untuk tetap me
Beberapa bulan kemudian. Aluna duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan berita terbaru. Hampir semua portal bisnis dan ekonomi membahas satu hal yang sama—kembalinya Kaisar Amartha sebagai pemimpin perusahaan Amartha. Tak hanya itu, ada juga berita yang membahas kehidupan pribadinya, terutama soal pernikahannya dengan Ratu. Beberapa foto tersebar di media—Ratu dengan perut yang mulai membesar, Kaisar yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi dingin, dan wawancara singkat tentang bagaimana mereka akan membangun masa depan bersama. Aluna tersenyum miris. "Jadi ini akhirnya," gumamnya pelan. Ia tidak terkejut. Sejak awal, ia tahu Kaisar akan kembali ke posisinya. Yang membuatnya sedikit tercekat adalah kenyataan bahwa dunia melihat Kaisar dan Ratu sebagai pasangan yang sempurna, sementara dirinya hanya seorang mantan yang harus puas menyaksikan dari jauh. Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. "Nona Aluna," suara Hansen terdengar dari balik pintu. "Masuk
Aluna turun dari mobil dengan wajah lelah. Hari ini benar-benar panjang, ditambah pikirannya masih kacau setelah berbicara dengan Kaisar. Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia langsung disambut oleh babysitter yang terlihat panik. "Nyonya Aluna, Baby Alva rewel sejak tadi. Susah makan, susah minum susu juga," ujar babysitter itu cemas. Aluna mengerutkan kening. "Kenapa? Apa dia demam?" Babysitter menggeleng. "Tidak demam, tapi terus menangis. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja dia menolak makan." Tanpa menunggu lebih lama, Aluna segera menuju kamar Baby Alva. Sesampainya di sana, ia melihat putranya yang masih terisak di tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena menangis. "Sayang, Mama di sini," ujar Aluna lembut, segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Baby Alva mengusap matanya dengan tangan mungilnya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna. "Ada apa, hm?" Aluna membelai rambutnya pelan. "Kenapa tidak mau maka
Aluna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka topik yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kaisar, sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” ujar Aluna dengan nada serius. Kaisar mengangkat alis, memusatkan perhatiannya pada Aluna. “Apa itu, Aluna?” “Perusahaanku, Chandra Grup, sedang dalam masalah.” Aluna menyerahkan laporan yang sudah ia siapkan di dalam tasnya. “Ada penurunan signifikan dalam pasar penjualan kita. Setelah diselidiki, ada kejanggalan. Tampaknya seseorang mencoba merusak reputasi perusahaan dari dalam.” Kaisar membuka laporan itu, membaca dengan seksama. Wajahnya berubah serius. “Ini bukan sekadar kejatuhan pasar biasa. Tampaknya ada sabotase.” “Itulah yang aku khawatirkan,” Aluna mengangguk. “Aku sudah meminta tim investigasi internal, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka yang terlibat sangat pandai menutupi jejak.” Kaisar menatapnya dalam. “Aku akan mencoba membantu menyelidiki. Mungkin dari sisi lain, kita bisa me
Aluna duduk di kursi kerjanya dengan wajah tegang. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mencoba menemui Kaisar di rumah sakit, namun selalu gagal. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi tetap saja bayangan Kaisar terus muncul di kepalanya. "Asisten," panggil Aluna dengan suara tegas. Seorang wanita muda bernama Siska segera masuk ke dalam ruangannya, membawa setumpuk dokumen.Ya, sudah tiga hari ini Aluna mengganti asistennya. Asisten sebelumnya sedang cuti beberapa bulan, tugasnya ia serahkan pada Siska, sepupunya. "Ada perkembangan dari laporan yang aku minta?" tanya Aluna, menyandarkan punggungnya ke kursi. Siska mengangguk, meletakkan beberapa lembar kertas di meja. "Setelah saya dan tim melakukan penyelidikan, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pasar." Aluna mengambil laporan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Dahinya mengernyit. "Penjualan turun drastis di beberapa wilayah utama, terutama yang sebelumnya menjadi pasar terbesar kita
Aluna melangkah dengan cepat memasuki lobi rumah sakit, dadanya berdebar kencang. Setelah mendengar kabar bahwa Kaisar—atau sekarang dikenal sebagai Raja—sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa, ia tak bisa lagi menahan diri untuk menemuinya. Namun, baru saja ia hendak menuju lift, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri menghadangnya. “Jangan harap kau bisa menemuinya,” suara dingin Ratu menyentak telinga Aluna. Aluna menatap wanita itu dengan tajam. Ia tahu sejak awal Ratu bukan wanita sembarangan, tapi tak disangka, Ratu bisa sekejam ini. “Aku datang bukan untuk bertengkar, aku hanya ingin melihatnya,” ucap Aluna, mencoba menahan emosinya. Ratu menyilangkan tangan di dadanya. “Tidak perlu. Dia sudah punya aku. Dia tidak butuh kau lagi.” Aluna tersenyum miring. “Raja adalah Kaisar, bukan?” tanyanya tegas. Ratu mendengus. “Lalu?” “Kaisar adalah tunanganku,” lanjut Aluna, tatapannya semakin tajam. Ratu terkekeh sinis. “Benar, dia memang Kaisar. Tapi kau