Pagi yang dingin terasa lebih kelam dari biasanya bagi Aluna. Duduk di ruang tamu mansion dengan wajah pucat, tangannya memeluk erat perutnya yang membuncit, mencoba menenangkan bayi di dalam kandungannya yang tak henti menendang seolah ikut merasakan kegelisahannya. Hansen berdiri di depannya dengan ekspresi tegang, berusaha menyampaikan kabar buruk dengan hati-hati."Maaf, Nona," Hansen berbicara pelan, namun tegas. "Kami sudah memeriksa semua rekaman CCTV di rumah sakit, tapi... semuanya mati sejak pukul sepuluh malam."Aluna mendongak perlahan, wajahnya penuh rasa tidak percaya. "Bagaimana mungkin? Rumah sakit sebesar itu, dengan penjagaan ketat, bisa kehilangan rekaman CCTV begitu saja?""Sepertinya, ini bagian dari rencana pelaku. Mereka meretas sistem sebelum melakukan aksi mereka," Hansen menjelaskan.Aluna menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredam kepanikan yang mulai menyerang. "Dan kalian belum menemukan jejak Kaisar? Tidak ada petunjuk sama sekali?"Hansen men
Ruangan di mansion terasa sunyi. Aluna duduk di kursinya, memandangi jendela besar yang menghadap taman. Wajahnya terlihat lebih tirus, dan matanya yang biasanya tajam kini tampak kosong. Hampir sebulan berlalu sejak Kaisar menghilang, dan semua upaya pencariannya gagal. Bahkan dengan tim terbaik yang ia pekerjakan, Kaisar tetap tak ditemukan.Hansen masuk perlahan, membawa laporan terakhir dari tim pencari. Ia berhenti sejenak, ragu untuk menyampaikan kabar buruk itu. Namun, Aluna menyadarinya dan memandang ke arahnya. “Bicaralah, Hansen,” suara Aluna terdengar pelan tapi penuh tekanan. “Kami sudah memeriksa lagi semua kemungkinan, Nona. Bahkan sampai menyewa detektif internasional. Tapi...” Hansen menunduk. “Kami tidak menemukan apa pun. Seolah-olah... Tuan Kaisar hilang tanpa jejak.”Aluna menghela napas panjang. Kepalanya terasa berat, dan dadanya sesak. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. “Jadi itu artinya... dia benar-benar lenyap?” gumam Aluna dengan sua
Aluna sedang duduk di tempat tidur rumah sakitnya, memandang bayi mungil di pelukannya dengan mata yang penuh kasih sayang. Bayi itu menggenggam jari Aluna dengan tangan kecilnya, seolah menjadi penghiburan di tengah badai yang ia hadapi. Aluna merasa hatinya sedikit tenang, meski pikirannya terus dihantui oleh kehilangan Kaisar.Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh ketukan keras di pintu. Hansen masuk dengan wajah tegang.“Nona, ada masalah,” katanya dengan nada serius. “Apa lagi sekarang, Hansen?” Aluna mengerutkan kening, merasa lelah dengan berbagai kekacauan yang terus muncul dalam hidupnya.“Betran ada di luar. Dia memaksa ingin bertemu dengan Anda dan bayi ini,” jawab Hansen.Mata Aluna langsung menajam. Ia menghela napas panjang, menatap bayinya sejenak sebelum menyerahkannya kepada perawat di dekatnya. “Jangan biarkan dia masuk. Pastikan dia tidak mendekati kami.”“Tapi, Nona, dia sangat ngotot. Bahkan, dia berteriak-teriak di depan penjagaan,” tambah Hansen, tampak b
Mobil Aluna berhenti di depan gerbang mansion yang megah. Pagar besi besar itu perlahan terbuka dengan anggun, memberi jalan bagi mobil untuk masuk. Namun, pemandangan yang langsung menyebalkan hatinya adalah sosok Betran yang berdiri dengan wajah penuh tekad di depan pintu masuk. Pria itu tampak kusut, mengenakan pakaian yang lusuh, tetapi sorot matanya penuh keberanian. Aluna memutar matanya dengan kesal dan menghela napas berat. Hansen, yang duduk di kursi penumpang depan, menoleh ke arahnya. "Nona, perlu kami usir dia sekarang juga?" "Sebentar," jawab Aluna dingin. Ia turun dari mobil dengan hati-hati, melangkah keluar mengenakan mantel tebal yang menutupi tubuhnya yang masih lemah setelah operasi. Sorot matanya tajam menatap Betran, yang langsung mendekatinya."Aluna," suara Betran terdengar parau. Dia menahan tangan Aluna agar tidak berjalan melewatinya. "Kumohon, aku hanya ingin melihat anakku, Leonel Alvano Chandra. Hanya sekali saja."Aluna menatap tangan Betran yang berani
Leonel Alvano Chandra, atau yang biasa dipanggil Alva, menjadi pusat kebahagiaan sekaligus kekuatan baru bagi Aluna. Nama itu tidak dipilih sembarangan. Leonel berarti "singa kecil," melambangkan keberanian, kekuatan, dan ketangguhan. Sementara Alvano berarti "cahaya putih," simbol dari harapan baru yang bersinar terang dalam hidup Aluna. Dan Chandra, tentu saja, adalah warisan keluarganya, sebuah nama yang selalu akan membawa tanggung jawab besar di pundak putranya kelak. Sudah sebulan sejak Alva lahir, dan meski tubuh Aluna masih lelah usai melahirkan, pikirannya tetap sibuk. Kaisar, pria yang selalu menjadi pelindungnya, belum ditemukan. Setiap malam, Aluna merenung, bertanya-tanya apakah Kaisar masih hidup di luar sana. Namun, ia tidak bisa terus larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit demi Alva. Di ruang kerja mansion, Aluna duduk di meja besar yang dipenuhi dokumen-dokumen dari Chandra Group dan Amartha Corporation. Hansen berdiri di dekatnya, wajahnya serius seperti biasa.
Seminggu kemudian, Suasana pesta syukuran kelahiran Baby Alva benar-benar meriah. Taman mansion yang luas dipenuhi dengan dekorasi mewah, lampu-lampu gantung kristal, dan meja-meja penuh hidangan yang menggugah selera. Para tamu berdatangan dari kalangan bisnis, keluarga besar Chandra, dan mitra-mitra penting dari Amartha Corporation. Aluna terlihat anggun mengenakan gaun putih panjang, senyum tipisnya menawan meski matanya menyiratkan kelelahan. "Selamat atas kelahiran putra Anda, Nona Aluna," salah satu tamu mengucapkan sambil menyalami Aluna. "Terima kasih," jawab Aluna ramah namun tetap tegas. Hansen, yang berdiri di dekatnya, mengatur jalannya acara dengan rapi. Namun, di tengah kemegahan itu, Betran berdiri di luar gerbang, menatap dari jauh. Pria itu tidak diundang, bahkan telah diinstruksikan untuk tidak diperbolehkan masuk ke wilayah mansion. "Kau yakin ingin mencoba masuk?" tanya seorang sopir taksi yang kebetulan melihat Betran menatap gerbang dengan ekspresi pahit
Esoknya, Siang itu, Aluna mengenakan setelan blazer putih yang mempertegas aura ketegasannya. Di sisi kirinya, Hansen berdiri tenang dengan berkas perceraian di tangannya, sementara beberapa bodyguard mengikuti di belakang mereka. Langkah Aluna mantap menuju apartemen sederhana tempat Betran dan Kania tinggal. Hansen mengetuk pintu apartemen dengan tegas, lalu pintu terbuka, memperlihatkan wajah Kania yang tampak terkejut dan tidak siap menerima tamu tak diundang seperti ini. "Aluna?" Kania mengerutkan dahi, suaranya terdengar ragu. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Aku ingin ini selesai," jawab Aluna dengan nada dingin. Ia melirik Hansen, yang langsung menyerahkan berkas perceraian itu pada Kania. "Betran ada di dalam, kan? Aku butuh tanda tangannya sekarang." Kania mendengus sambil memegang berkas itu, lalu mempersilakan mereka masuk. Ruangan kecil itu terasa sempit dengan kehadiran banyak orang, tapi Aluna tetap berdiri tegak, tatapannya tajam. Betran muncul dari balik pi
Betran menatap ibunya dengan wajah penuh amarah, napasnya tersengal-sengal menahan emosi. "Mommy, kenapa kau melakukan itu? Lima miliar?! Kau benar-benar keterlaluan!" suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. Kania tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh kemarahan Betran. Ia mengangkat alis, menatap putranya dengan pandangan yang penuh perhitungan. "Betran, kau pikir aku meminta itu tanpa alasan? Kau benar-benar bodoh kalau tidak mengerti apa yang sedang aku coba lakukan di sini." "Meminta uang sebesar itu hanya akan membuat Aluna semakin membenciku, Mommy! Kau tidak berpikir panjang," balas Betran dengan nada getir. Kania mendesah panjang dan melipat tangan di dadanya. "Kau tidak pernah mengerti cara kerja dunia, ya? Kau pikir Aluna akan tetap membencimu selamanya kalau kau berhasil kembali menjadi seseorang yang sukses? Dengarkan aku, Nak. Dengan uang itu, kau bisa membangun kembali reputasimu. Kalau kau kembali menjadi seorang pengusaha yang dihormati, dia tidak akan
Aluna turun dari mobil dengan wajah lelah. Hari ini benar-benar panjang, ditambah pikirannya masih kacau setelah berbicara dengan Kaisar. Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia langsung disambut oleh babysitter yang terlihat panik. "Nyonya Aluna, Baby Alva rewel sejak tadi. Susah makan, susah minum susu juga," ujar babysitter itu cemas. Aluna mengerutkan kening. "Kenapa? Apa dia demam?" Babysitter menggeleng. "Tidak demam, tapi terus menangis. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja dia menolak makan." Tanpa menunggu lebih lama, Aluna segera menuju kamar Baby Alva. Sesampainya di sana, ia melihat putranya yang masih terisak di tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena menangis. "Sayang, Mama di sini," ujar Aluna lembut, segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Baby Alva mengusap matanya dengan tangan mungilnya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna. "Ada apa, hm?" Aluna membelai rambutnya pelan. "Kenapa tidak mau maka
Aluna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka topik yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kaisar, sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” ujar Aluna dengan nada serius. Kaisar mengangkat alis, memusatkan perhatiannya pada Aluna. “Apa itu, Aluna?” “Perusahaanku, Chandra Grup, sedang dalam masalah.” Aluna menyerahkan laporan yang sudah ia siapkan di dalam tasnya. “Ada penurunan signifikan dalam pasar penjualan kita. Setelah diselidiki, ada kejanggalan. Tampaknya seseorang mencoba merusak reputasi perusahaan dari dalam.” Kaisar membuka laporan itu, membaca dengan seksama. Wajahnya berubah serius. “Ini bukan sekadar kejatuhan pasar biasa. Tampaknya ada sabotase.” “Itulah yang aku khawatirkan,” Aluna mengangguk. “Aku sudah meminta tim investigasi internal, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka yang terlibat sangat pandai menutupi jejak.” Kaisar menatapnya dalam. “Aku akan mencoba membantu menyelidiki. Mungkin dari sisi lain, kita bisa me
Aluna duduk di kursi kerjanya dengan wajah tegang. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mencoba menemui Kaisar di rumah sakit, namun selalu gagal. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi tetap saja bayangan Kaisar terus muncul di kepalanya. "Asisten," panggil Aluna dengan suara tegas. Seorang wanita muda bernama Siska segera masuk ke dalam ruangannya, membawa setumpuk dokumen.Ya, sudah tiga hari ini Aluna mengganti asistennya. Asisten sebelumnya sedang cuti beberapa bulan, tugasnya ia serahkan pada Siska, sepupunya. "Ada perkembangan dari laporan yang aku minta?" tanya Aluna, menyandarkan punggungnya ke kursi. Siska mengangguk, meletakkan beberapa lembar kertas di meja. "Setelah saya dan tim melakukan penyelidikan, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pasar." Aluna mengambil laporan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Dahinya mengernyit. "Penjualan turun drastis di beberapa wilayah utama, terutama yang sebelumnya menjadi pasar terbesar kita
Aluna melangkah dengan cepat memasuki lobi rumah sakit, dadanya berdebar kencang. Setelah mendengar kabar bahwa Kaisar—atau sekarang dikenal sebagai Raja—sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa, ia tak bisa lagi menahan diri untuk menemuinya. Namun, baru saja ia hendak menuju lift, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri menghadangnya. “Jangan harap kau bisa menemuinya,” suara dingin Ratu menyentak telinga Aluna. Aluna menatap wanita itu dengan tajam. Ia tahu sejak awal Ratu bukan wanita sembarangan, tapi tak disangka, Ratu bisa sekejam ini. “Aku datang bukan untuk bertengkar, aku hanya ingin melihatnya,” ucap Aluna, mencoba menahan emosinya. Ratu menyilangkan tangan di dadanya. “Tidak perlu. Dia sudah punya aku. Dia tidak butuh kau lagi.” Aluna tersenyum miring. “Raja adalah Kaisar, bukan?” tanyanya tegas. Ratu mendengus. “Lalu?” “Kaisar adalah tunanganku,” lanjut Aluna, tatapannya semakin tajam. Ratu terkekeh sinis. “Benar, dia memang Kaisar. Tapi kau
Beberapa hari berlalu. Raja terbaring tak berdaya di ruang ICU rumah sakit. Meski matanya terpejam dan tubuhnya lemah, ada perasaan yang menggelora dalam dirinya. Ingatannya yang hilang perlahan kembali, seperti sepotong puzzle yang mulai tersusun. Ketika perlahan matanya terbuka, rasa sakit di kepalanya terasa amat perih. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang begitu terang. Sensasi itu seolah mengingatkan dirinya pada kejadian beberapa hari lalu, kecelakaan yang menyebabkan semuanya menjadi kacau. Raja menatap langit-langit rumah sakit, mencoba mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan, bayangan-bayangan dalam memorinya yang hilang kini mulai muncul kembali. Sosok dirinya—Kaisar Amartha—muncul dalam pikirannya, begitu jelas dan begitu nyata. "Aku... Kaisar Amartha," gumamnya pelan, kebingungan dan kebahagiaan bercampur dalam hatinya. Namun, perasaan itu tak bisa bertahan lama. Di tengah kebingungannya, ia mendengar suara langkah kak
Raja menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang setelah keluar dari rumah Raini. Pikirannya dipenuhi berbagai hal—tentang Aluna, Baby Alva, dan perasaannya yang semakin jelas. Ia tak menyadari sebuah truk besar di depannya tiba-tiba berhenti mendadak. “BRAK!” Benturan keras terdengar ketika mobil Raja menabrak bagian belakang truk. Kepalanya membentur setir dengan keras meskipun airbag terbuka. Darah segar mengalir di pelipisnya, tubuhnya lemas, dan kesadarannya mulai menghilang. Orang-orang di sekitar tempat kejadian segera berlari mendekat. “Panggil ambulans!” teriak seseorang. Tak lama kemudian, ambulans datang dan membawa Raja ke rumah sakit. Wajahnya penuh darah, dan kondisinya terlihat mengkhawatirkan. Saat tiba di rumah sakit, dokter langsung membawanya ke ruang operasi karena benturan di kepalanya cukup parah. *** Di ruang tunggu rumah sakit, Ratu mondar-mandir dengan wajah panik. Air matanya terus mengalir, tak bisa disembunyikan lagi. Ia menggenggam ponselnya erat
Pukul 00:30Sussana terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam yang terdengar di kamar Aluna. Dia terbangun karena suara tangisan Baby Alva. Dengan cepat, Aluna bangkit dari tempat tidur dan mendekati ranjang bayi yang ada di sudut kamarnya.“Alva sayang, kenapa?” Aluna menyentuh kening bayi itu, lalu ia terkejut mendapati kening Alva terasa sangat panas. “Astaga, panas sekali…” gumamnya panik.Ia langsung mengambil termometer dari laci samping tempat tidur. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan ujung termometer ke bawah ketiak Baby Alva yang masih menangis.“37,9°… Ini terlalu tinggi!” Suaranya mulai bergetar. Aluna segera mengambil ponselnya, menelepon babysitter yang tidur di kamar sebelah.“ Lina, tolong ke kamar saya sekarang juga! Alva demam tinggi,” katanya cepat.Tak sampai satu menit, babysitter yang bernama Lina muncul dengan wajah cemas. “Ya ampun, Nona. Panasnya tinggi sekali, ya? Kita harus membawanya ke rumah sakit.”“Saya setuju. Tolong siapkan tas bayi dan perl
Malam itu, Mansion Aluna diterangi lampu-lampu taman yang temaram, memberikan suasana hangat meski hati Aluna terasa kacau. Ia tengah duduk di ruang keluarga, memangku Baby Alva yang tertidur lelap di pelukannya. Pandangannya terus tertuju pada wajah mungil itu, meskipun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, suara bel pintu mengalihkan perhatian Aluna. Seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu. “Nona, Tuan Raja datang.”Jantung Aluna berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, lalu menyerahkan Baby Alva kepada babysitter yang sudah menunggu. “Bawa Alva ke kamar, dan pastikan dia nyaman,” ucapnya.Setelah memastikan Baby Alva aman, Aluna berjalan ke ruang tamu. Di sana, Raja sudah berdiri, mengenakan setelan kasual namun tetap memancarkan wibawa. Sorot matanya langsung tertuju pada Aluna, seolah tidak ada yang lain di ruangan itu.“Tuan Raja,” sapa Aluna pelan, mencoba menjaga formalitas meskipun hatinya bergemuruh.“Aluna,” balas Raja, suaranya terdengar lebih lembut da
Pukul empat subuh, suasana di kamar terasa begitu sunyi hingga suara langkah kecil Ratu yang tergesa menuju kamar mandi terdengar jelas. Raja, yang biasanya tidur cukup lelap, langsung terbangun mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi.“Ratu?” panggil Raja dengan nada penuh kekhawatiran. Ia bergegas menuju kamar mandi, membuka pintunya dan melihat istrinya yang terduduk lemas di lantai. Wajah Ratu pucat, keringat dingin membasahi dahinya.“Aku… mual,” gumam Ratu lemah, tangannya gemetar memegang wastafel untuk mencoba berdiri.Tanpa pikir panjang, Raja segera mengangkat tubuh Ratu dan membawanya kembali ke tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan panggil dokter,” kata Raja sambil meletakkan Ratu dengan hati-hati.“Tidak… tidak usah,” cegah Ratu, memegang lengan Raja dengan sisa tenaganya. “Aku tahu ini kenapa.”“Kamu tahu?” Raja mengernyit, bingung. “Maksudmu apa?”Ratu menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatannya. “Aku… aku terlambat haid. Coba kamu ambil tes kehamil