Brak!Pak Gunawan menggebrak meja kerja Maira. Rendi melotot tidak terima kemudian berdiri. Pria tampan menyembunyikan istrinya di belakang tubuh.“Jangan merusak apapun yang bukan milik Anda, Pak!” Rendi memperingatkan. Namun, kondisi Pak Gunawan yang baru saja selesai melakukan perjalanan jauh, membuatnya merasa lelah dan mudah tersulut emosi. Apalagi setelah mendengar kalimat sindiran Rendi. Pria tambun itu merasa telinganya panas seperti terbakar.“Istri saya pemilik butik ini, itu artinya saya juga memiliki hak atas butik ini!” sinis Pak Gunawan, memandang Rendi dengan tatapan remeh.“Dan itu belum sepenuhnya, Pak. Bahkan istri Anda sudah hampir mengembalikan butik ini untuk menebus kesalahan putri kesayangan Anda.” Rendi membuka kancing kemeja teratasnya, tiba-tiba hawa panas membuat lehernya seperti tercekik.“Brengsek! Apa maumu, hah?” Pak Gunawan hampir saja menarik kerah kemeja Rendi jika saja pria tampan itu tak sigap menghindar. “Sayang, kamu bisa pindah ke ruang sebelah
Melihat Pak Gunawan yang seperti kesulitan bernapas membuat semua yang berada di ruangan itu panik.“Pa!” Bu Nastiti menahan Pak Gunawan tetap duduk. Kemudian mengalihkan tatapannya pada Pak Doni juga dua orang polisi lain yang baru saja masuk. “Pak, tolong … tolong beri waktu untuk suami saya istirahat dulu.” Bu Nastiti memohon dengan wajah memelas.Dua orang anggota polisi pun menoleh pada Pak Doni, meminta persetujuan pria itu. Pak Doni berdeham pelan seraya merapikan bagian depan jas yang dia pakai. “Sepertinya Pak Gunawan memang butuh istirahat.” kata Pak Doni, menatap dua orang polisi itu dengan ekspresi wajah tenang.Mendengar itu, sudut bibir Bu Nastiti tertarik ke atas. “Terima kasih, Pak.” Wanita itu bersyukur atas kelonggaran yang diberikan pada suaminya.“Tetapi, Pak Gunawan harus tetap berada di bawah pengawasan mereka.” lanjut Pak Doni, berbicara sambil mengarahkan jari jempol pada dua orang polisi.Bu Nastiti menunduk dan menghela napas. “Pa?” Matanya sendu menatap su
Mendengar perkataan Pak Gunawan, hati Bu Nastiti semakin terasa sakit. Apalah arti sebuah penyesalan, semua sudah terlanjur terjadi. Kini, mereka harus menikmati hasil dari perbuatannya.“Semua sudah terjadi, Pa.” ujar Bu Nastiti seraya menyusut air mata yang meleleh di pipinya. Kemudian wanita itu menatap manik mata suaminya lekat-lekat. “Kalau boleh Mama tahu, sebenarnya apa yang sudah Papa lakukan sama Rendi dan Maira?”Menghela napas panjang, Pak Gunawan semakin mempererat genggaman tangannya. “Banyak, Ma,” sahut pria tambun itu seraya menengadah memperhatikan langit-langit ruang rawat.“Banyak? Bisa papa sebutkan apa saja?” Suara Bu Nastiti bergetar. Sebenarnya, wanita itu juga tidak siap sepenuhnya jika kabar yang akan dia dengar adalah kabar buruk.Bu Nastiti menarik napas dan membuangnya kembali, begitu terus berulang-ulang hingga perasaannya menjadi lebih tenang.“Papa pernah berusaha untuk memisahkan sepasang suami-istri itu.” Pak Gunawan mulai bercerita. Tatapan matanya mas
Sejak perbincangan bersama ibunya di ruang tengah tadi, Maira menjadi terus kepikiran dengan permintaan sang ibu. Apakah suaminya akan setuju jika mereka tinggal bersama ibunya? Apa mama mertuanya tidak akan keberatan? Sedangkan dia dan suaminya sama-sama anak tunggal yang telah ditinggalkan oleh orang tua laki-laki.Wanita berparas teduh itu mengubah posisi tidurnya dari telentang menjadi miring ke kanan. Pandangan matanya tertuju pada dua anak kecil yang sudah tidur dengan damai. Maira menghela napasnya, lalu mencoba memejamkan mata. Berharap kantuk akan segera menghampirinya. Sayangnya, semua itu tidak semudah yang dia bayangkan. Matanya tetap bening dan malah semakin segar. Pukul sebelas lewat empat puluh menit, hampir tengah malam, Maira memutuskan untuk bangun dan bersandar pada headboard karena tidak kunjung bisa tidur. Wanita cantik itu lalu menoleh pada nakas dan mengambil ponselnya dari sana. Detik berikutnya, jari-jarinya sudah mengetikkan sebait kalimat untuk dikirimka
Maira mengerjap membuat bulu mata lentiknya mengepak indah. “Maaf ya, Mas.” Wanita berparas teduh itu menatap sepasang mata Rendi dengan sorot mata teduh.Rendi membelai pipi istrinya.“Nggak perlu minta maaf, wajar kalau ibu punya keinginan kita tinggal di sini. Ibu hanya sendiri. Sehari-hari pasti kesepian nggak ada teman ngobrol.” Maira semakin kagum dengan sosok pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Tidak hanya parasnya yang tampan. Namun, hati pria itu juga begitu tulus menerima dia dan keluarganya. Maira merasa dirinya harus bersyukur berkali-kali telah memiliki suami seperti Rendi.“Papa! Mama!” Mereka pun tersentak saat suara Daffa dan Raihan memanggil dan berlari ke arahnya. Dua anak kecil itu berebut minta dipangku. Seperti biasa, Rendi selalu memangku Daffa dan Maira akan memangku Raihan yang badannya lebih kecil. ***Keesokan harinya, Rendi dan anak istrinya kembali pulang ke rumah Bu Rani. Sepanjang perjalanan, Rendi terus berpikir bagaimana caranya dia berbicara
“Ehm!” Rendi berdeham cukup keras. “Mita mau apa, Bu?” sahut Rendi. Duduk di dekat Maira. Bu Nastiti kembali gugup saat Rendi turut bergabung. Wanita paruh baya itu sibuk berpikir, bagaimana caranya menyampaikan permintaan putrinya pada mereka.“Bu Nastiti tidak perlu takut. Katakan saja apa maunya Mita. Kalau memang itu masih wajar, kami akan mengusahakannya,” ujar Maira, menatap suaminya. “Iya ‘kan, Mas?”Rendi mengangguk setuju.“Saya … saya malu sama kalian.” Wanita yang selalu menyanggul rambutnya itu menunduk, meremas tali tas di pangkuannya.“Katakan saja, Bu!” desak Rendi, tidak sabar menunggu Bu Nastiti bicara yang menurutnya terlalu bertele-tele.Baru saja satu masalah selesai. Dan kini sepertinya masalah baru telah bersiap menghampiri lagi. Jujur, Rendi merasa lelah dan ingin segera istirahat. Ia hanya ingin hidup normal bersama keluarganya. Namun, sepertinya Masalah belum bosan menghampirinya.“Mita … mau berdamai. Tolong maafkan dia. Saya tahu kesalahan Mita sudah fatal.
Satu jam setelah Bu Nastiti pulang, ponsel dalam saku celana Rendi berdering. Saat itu Rendi tengah menyusun rencana bersama mama dan istrinya. Membagi waktu secara adil antara tinggal di rumah Bu Rani dan Bu Ratih secara bergantian. “Sebentar, ada yang telepon,” kata Rendi sambil merogoh saku celananya. “Pak Doni?” Kening Rendi berkerut ketika menyebutkan nama tersebut. Rendi menempelkan benda pipih itu di telinganya, “Ya, halo, Pak.” “Apa? Bagaimana kondisinya sekarang? Iya–iya, saya segera ke sana sekarang.” Rendi buru-buru menutup sambungan teleponnya.Melihat wajah suaminya yang panik, Maira langsung bertanya, “ada apa, Mas?”“Bu Nastiti kecelakaan. Sekarang sedang kritis di rumah sakit,” jawab Rendi, memasukkan kembali ponselnya. “Ya Tuhan … semoga saja beliau masih terselamatkan.” Bu Rani ikut menimpali seraya meletakkan tangan di dada. “Mas mau ke rumah sakit sekarang? Aku ikut, ya?” Maira ikut berdiri begitu melihat suaminya beranjak. Tanpa banyak pertimbangan, Rendi
Gerakan Mita begitu cepat dan tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka sebelumnya. Mita nekat kembali menyakiti Maira.Maira menjerit, tubuhnya jatuh tersungkur dengan sebagian rambut masih berada dalam genggaman Mita hingga membuat kepalanya terpaksa mendongak.Seperti tengah kesetanan, Mita seperti tidak puas telah menyakiti Maira sedemikian rupa. Wanita berambut gelombang itu masih berusaha untuk menarik rambut Maira sekuat tenaganya. “Hentikan Mita! Lepaskan istri saya!” Rendi berteriak dan berusaha menahan tangan Mita agar tidak semakin menarik rambut istrinya.“Mita, jangan gila kamu! Lepaskan Maira! Kamu mau semakin lama mendekam di penjara, hah?” Adrian sigap menahan tubuh Mita agar tidak bergerak ke mana-mana. “Saudari Mita. Lebih baik kita kembali ke rutan. Kelakuanmu sangat membahayakan orang lain!” Wanita berseragam polisi yang tadi mengawal Mita segera memasang badan. Bersiap membawa Mita kembali.Mita menatap orang di sekitarnya dengan tatapan penuh kebencian. Tidak ada yan
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter