Maira menatap suaminya dengan bibir cemberut. “Mas nggak boleh ngomong begitu. Mas selalu sempurna di mata aku,” ujar Maira, menarik pinggang Rendi dan mengaitkan kedua tangannya di sana. Rendi masih dalam posisi berdiri dan pipi Maira sudah menempel di perutnya. Pria itu mengulum senyumnya seraya mengelus puncak kepala sang istri. “Iya, Mas, nggak akan bilang begitu lagi,” balas Rendi, menunduk lalu mengecup kening Maira. “Udah, kamu istirahat dulu. Nanti waktu makan siang Mas bangunin lagi. Oke?” Wanita cantik bermata bening itu mengangguk dan tersenyum. Ia mulai memejamkan mata, sementara Rendi memilih untuk duduk di sofa dan membuka laptopnya.***“Lepaskan saya, Bu. Saya mau menemani mama saya!” “Kamu tidak bisa mengontrol sikap! Saya menyesal telah mengizinkan kamu keluar.” Sipir wanita itu mencengkram tangan Mita dan menyeretnya menjauh dari ruang ICU.Mita mengikuti dengan langkah nyaris diseret. “Tapi saya tidak salah, Bu! Mereka memang tidak punya hati! Coba kalau Ibu
Maira menurunkan kaki lalu memakai alas kakinya. Wanita itu langsung mendongakkan kepala menatap suaminya.“Ada berita penting apa, Mas?” Sepasang alis hitam dan rapi itu hampir menyatu saat menatap Rendi.“Ada lah, nanti saja kita bahas. Sekarang kita makan siang dulu. Mama sama anak-anak pasti sudah menunggu.” Saat Maira akan berdiri, tiba-tiba pintu kamar mereka diketuk dari luar. “Rendi! Maira! Kalian di dalam ‘kan?” Suara Bu Rani memanggil. “Iya, Ma. Sebentar.” Rendi buru-buru melangkah ke pintu dan membukanya. “Kalian nggak makan siang, hem? Anak-anak udah nunggu dari tadi, loh,” omel Bu Rani begitu pintu terbuka. Lalu wanita itu melihat Maira yang sedang berjalan ke arah pintu. “Kamu udah baikan, Mai?” Bu Rani memperhatikan wajah menantunya dengan seksama. “Maira udah baikan, kok, Ma,” balas Maira, tersenyum lembut pada mama mertuanya. Bu Rani menghela napas. “syukurlah,” ujar wanita paruh baya itu.“Ya udah, kita turun sekarang. Kasihan Daffa dan Raihan, mereka sudah me
Rendi terkikik melihat kelopak mata Maira terbuka lebar. “Syaratnya, kamu harus bisa membagi waktu dengan anak-anak. Mas nggak mau mereka kekurangan kasih sayang mamanya yang cantik ini,” goda Rendi, menarik turunkan alisnya. Bibir berwarna pink itu mengerucut. “Mas, nyindir aku?” “Nggak!” Rendi menggeleng.“Kenapa bilang gitu?” Rendi tersenyum dan membawa kepala istrinya ke bahunya yang lebar. “Bukan apa-apa, Sayang. Mas hanya nggak ingin kamu abai dengan kewajiban kamu yang sesungguhnya. Berkarir itu tidak masalah, asalkan kamu bisa memastikan waktu untuk anak dan suamimu ini tetap terpenuhi.” Satu hal yang selalu membuat Maira terkagum-kagum dengan Rendi. Pria itu selalu pandai merangkai kata yang tegas namun lembut saat didengarkan. Maira mengangkat wajahnya, menatap rahang sang suami yang terlihat bulu-bulu pendek bekas cukur mulai tumbuh. Satu tangannya terulur lalu meraba dagu suaminya. Rendi menoleh dan tatapan mereka saling mengunci. Rendi menangkap jari-jari mungil Mai
Pak Gunawan mengaku bersalah. Dia telah memilih jalan yang salah demi keinginannya untuk membahagiakan putri kesayangan. Pria tambun itu terus tertunduk dengan kedua tangan saling bertautan di atas paha, menyesali perbuatannya. “Mulai hari ini, status Bapak resmi menjadi tersangka. Bapak kami tahan sambil menunggu sidang penentuan hukuman untuk Bapak.” Polisi itu menatap Pak Gunawan dengan sorot mata tegas.Perlahan, Pak Gunawan memberanikan diri mengangkat wajahnya. “Bolehkah saya bertemu dengan putri saya sebelum ditahan?” Wajah tua itu terlihat memelas. Memiliki harta yang melimpah, ternyata tidak dapat membantunya dalam keadaan genting seperti itu. Hatinya senantiasa diliputi perasaan hampa dan kosong. Polisi itu diam sejenak lalu mengerling rekannya yang berdiri di belakang Pak Gunawan. Saat rekannya mengangguk, polisi itu pun langsung mengalihkan tatapannya pada Pak Gunawan. “Baiklah, saya beri waktu lima menit.” Dengan wajah berbinar pak Gunawan mengucapkan terima kasih p
“Dia … kabar terakhir yang saya tahu, dia sudah kembali ke Indonesia dan sudah menikah. Hanya saja, saya juga belum pernah berjumpa kembali dengannya. Saya tidak tahu di mana dia sekarang.” Adrian menegakkan punggung. Tatapan matanya kembali ke arah jendela kaca kecil yang langsung menghadap pada ranjang pasien Bu Nastiti.Rendi terdiam, dalam hati dia menyimpulkan bahwa hubungan antara keluarga Pak Gunawan dengan anak bungsunya tidak baik-baik saja. Apalagi, selama ini hanya Mita yang selalu terlihat dibanggakan oleh pria tambun itu. “Apa tidak pernah berkirim kabar?” “Ada, terakhir dia berkabar, dia bilang sudah menikah dan telah memiliki anak. Namun, anak dan istrinya tidak pernah dikenalkan dengan keluarga sama sekali.” “Sayang sekali,” sahut Rendi dengan suara lirih.“Entahlah. Jujur saja, saya sudah lelah berhubungan dengan keluarga Papa,” ujar Adrian, mengusap wajahnya.“Bagaimana pun juga mereka tetap keluargamu.” “Mama Nastiti memang keluarga saya. Namun, tidak dengan Mit
“Gimana kondisi Bu Nastiti, Mas?”“Tidak bisa dikatakan baik. Kita berdoa saja semoga beliau segera sadar.” Rendi menarik pinggang Maira dan membawanya ke dalam dekapan.“Mas!” Maira memekik, melayangkan tatapan protes ketika suami tampannya tiba-tiba mendaratkan kecupan lembut di pipinya. Jam sudah semakin beranjak sore dan suaminya itu belum juga makan siang.“Jangan begini. Ini udah terlalu telat untuk makan siang,” ujar Maira, mencoba melepaskan diri, wanita yang tengah mengenakan dress rumahan berwarna kuning gading itu melirik jarum jam yang terletak di dinding kamar. “Hampir setengah dua. Mas harus makan dulu. Aku nggak mau ya kalau Mas jatuh sakit gara-gara telat makan.” Sepasang mata bening itu menyorot tajam wajah Rendi. “Iya–iya. Ya udah ayo!” Melepaskan pinggang ramping istrinya, Rendi lalu beranjak dari ranjang diikuti oleh Maira. “Makan yang banyak!”Rendi membuka mata lebar-lebar demi menghadapi sepiring penuh makan siang yang dihidangkan oleh istrinya. Dia ingin pr
Tidak lama setelah Rendi membawa Maira ke depan. Jenazah Bu Nastiti sudah siap untuk diantarkan ke peristirahatan terakhirnya.Rendi dan Maira turut mengantarkan dengan mengikuti ambulan yang melaju di depan mobil mereka. “Mas ada lihat Pak Gunawan sama Mita, nggak, sih?” Maira bertanya sambil melihat jalan di depannya. Laju mobilnya sedikit lambat karena banyak mobil yang mengikuti ambulan pengantar jenazah Bu Nastiti.“Nggak ada. Kenapa memang?” sahut Rendi, masih fokus pada kemudinya. “Apa mereka belum tahu ya kalau Bu Nastiti udah nggak ada?” Rendi mengedikkan bahu. Sebenarnya, dia justru lebih merasa tenang dengan tidak bertemu dengan Pak Gunawan juga Mita.Setelah menempuh perjalanan selama hampir lima belas menit, mobil mereka tiba di pemakaman khusus di kota itu. Beberapa orang telah berkumpul di dekat makam. Rendi dan Maira keluar dari mobil dan melangkah ke arah tempat orang-orang telah berkerumun. Tanpa mereka tahu, di dalam kerumunan itu telah berdiri dengan tubuh lung
Satu minggu setelah kematian Bu Nastiti ….Pagi itu Adrian mulai mendatangi rumah sakit milik papa angkatnya. Memeriksa dokumen-dokumen penting juga berkenalan dengan anggota jajaran direksi rumah sakit. “Saya tidak menyangka Pak Gunawan bisa terjerat kasus seperti itu. Jadi, Pak Adrian ini anak lelakinya Pak Gunawan?” tanya salah satu anggota jajaran direksi rumah sakit. Adrian mengangguk dengan ekspresi wajah datar. “Benar, Pak.”“Kenapa selama ini tidak pernah dikenalkan? Maaf, saya tahunya hanya Bu Mita anak Pak Gunawan.” Pria bersetelan jas warna hitam itu tersenyum mengejek, seolah Adrian tidak pantas untuk berada di sana. Suasana ruang rapat khusus direksi mendadak tegang. Beberapa orang terlihat saling berbisik. Adrian merasa ini memang bukan dunianya. Namun, permintaan Pak Gunawan satu minggu yang lalu membuatnya tergugah untuk meneruskan mengurus rumah sakit itu.Setidaknya, sampai pemilik aslinya datang atau ditemukan. “Perkenalkan, nama saya Adrian Haditama Gunawan. Sa
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter