Sejak perbincangan bersama ibunya di ruang tengah tadi, Maira menjadi terus kepikiran dengan permintaan sang ibu. Apakah suaminya akan setuju jika mereka tinggal bersama ibunya? Apa mama mertuanya tidak akan keberatan? Sedangkan dia dan suaminya sama-sama anak tunggal yang telah ditinggalkan oleh orang tua laki-laki.Wanita berparas teduh itu mengubah posisi tidurnya dari telentang menjadi miring ke kanan. Pandangan matanya tertuju pada dua anak kecil yang sudah tidur dengan damai. Maira menghela napasnya, lalu mencoba memejamkan mata. Berharap kantuk akan segera menghampirinya. Sayangnya, semua itu tidak semudah yang dia bayangkan. Matanya tetap bening dan malah semakin segar. Pukul sebelas lewat empat puluh menit, hampir tengah malam, Maira memutuskan untuk bangun dan bersandar pada headboard karena tidak kunjung bisa tidur. Wanita cantik itu lalu menoleh pada nakas dan mengambil ponselnya dari sana. Detik berikutnya, jari-jarinya sudah mengetikkan sebait kalimat untuk dikirimka
Maira mengerjap membuat bulu mata lentiknya mengepak indah. “Maaf ya, Mas.” Wanita berparas teduh itu menatap sepasang mata Rendi dengan sorot mata teduh.Rendi membelai pipi istrinya.“Nggak perlu minta maaf, wajar kalau ibu punya keinginan kita tinggal di sini. Ibu hanya sendiri. Sehari-hari pasti kesepian nggak ada teman ngobrol.” Maira semakin kagum dengan sosok pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Tidak hanya parasnya yang tampan. Namun, hati pria itu juga begitu tulus menerima dia dan keluarganya. Maira merasa dirinya harus bersyukur berkali-kali telah memiliki suami seperti Rendi.“Papa! Mama!” Mereka pun tersentak saat suara Daffa dan Raihan memanggil dan berlari ke arahnya. Dua anak kecil itu berebut minta dipangku. Seperti biasa, Rendi selalu memangku Daffa dan Maira akan memangku Raihan yang badannya lebih kecil. ***Keesokan harinya, Rendi dan anak istrinya kembali pulang ke rumah Bu Rani. Sepanjang perjalanan, Rendi terus berpikir bagaimana caranya dia berbicara
“Ehm!” Rendi berdeham cukup keras. “Mita mau apa, Bu?” sahut Rendi. Duduk di dekat Maira. Bu Nastiti kembali gugup saat Rendi turut bergabung. Wanita paruh baya itu sibuk berpikir, bagaimana caranya menyampaikan permintaan putrinya pada mereka.“Bu Nastiti tidak perlu takut. Katakan saja apa maunya Mita. Kalau memang itu masih wajar, kami akan mengusahakannya,” ujar Maira, menatap suaminya. “Iya ‘kan, Mas?”Rendi mengangguk setuju.“Saya … saya malu sama kalian.” Wanita yang selalu menyanggul rambutnya itu menunduk, meremas tali tas di pangkuannya.“Katakan saja, Bu!” desak Rendi, tidak sabar menunggu Bu Nastiti bicara yang menurutnya terlalu bertele-tele.Baru saja satu masalah selesai. Dan kini sepertinya masalah baru telah bersiap menghampiri lagi. Jujur, Rendi merasa lelah dan ingin segera istirahat. Ia hanya ingin hidup normal bersama keluarganya. Namun, sepertinya Masalah belum bosan menghampirinya.“Mita … mau berdamai. Tolong maafkan dia. Saya tahu kesalahan Mita sudah fatal.
Satu jam setelah Bu Nastiti pulang, ponsel dalam saku celana Rendi berdering. Saat itu Rendi tengah menyusun rencana bersama mama dan istrinya. Membagi waktu secara adil antara tinggal di rumah Bu Rani dan Bu Ratih secara bergantian. “Sebentar, ada yang telepon,” kata Rendi sambil merogoh saku celananya. “Pak Doni?” Kening Rendi berkerut ketika menyebutkan nama tersebut. Rendi menempelkan benda pipih itu di telinganya, “Ya, halo, Pak.” “Apa? Bagaimana kondisinya sekarang? Iya–iya, saya segera ke sana sekarang.” Rendi buru-buru menutup sambungan teleponnya.Melihat wajah suaminya yang panik, Maira langsung bertanya, “ada apa, Mas?”“Bu Nastiti kecelakaan. Sekarang sedang kritis di rumah sakit,” jawab Rendi, memasukkan kembali ponselnya. “Ya Tuhan … semoga saja beliau masih terselamatkan.” Bu Rani ikut menimpali seraya meletakkan tangan di dada. “Mas mau ke rumah sakit sekarang? Aku ikut, ya?” Maira ikut berdiri begitu melihat suaminya beranjak. Tanpa banyak pertimbangan, Rendi
Gerakan Mita begitu cepat dan tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka sebelumnya. Mita nekat kembali menyakiti Maira.Maira menjerit, tubuhnya jatuh tersungkur dengan sebagian rambut masih berada dalam genggaman Mita hingga membuat kepalanya terpaksa mendongak.Seperti tengah kesetanan, Mita seperti tidak puas telah menyakiti Maira sedemikian rupa. Wanita berambut gelombang itu masih berusaha untuk menarik rambut Maira sekuat tenaganya. “Hentikan Mita! Lepaskan istri saya!” Rendi berteriak dan berusaha menahan tangan Mita agar tidak semakin menarik rambut istrinya.“Mita, jangan gila kamu! Lepaskan Maira! Kamu mau semakin lama mendekam di penjara, hah?” Adrian sigap menahan tubuh Mita agar tidak bergerak ke mana-mana. “Saudari Mita. Lebih baik kita kembali ke rutan. Kelakuanmu sangat membahayakan orang lain!” Wanita berseragam polisi yang tadi mengawal Mita segera memasang badan. Bersiap membawa Mita kembali.Mita menatap orang di sekitarnya dengan tatapan penuh kebencian. Tidak ada yan
Maira menatap suaminya dengan bibir cemberut. “Mas nggak boleh ngomong begitu. Mas selalu sempurna di mata aku,” ujar Maira, menarik pinggang Rendi dan mengaitkan kedua tangannya di sana. Rendi masih dalam posisi berdiri dan pipi Maira sudah menempel di perutnya. Pria itu mengulum senyumnya seraya mengelus puncak kepala sang istri. “Iya, Mas, nggak akan bilang begitu lagi,” balas Rendi, menunduk lalu mengecup kening Maira. “Udah, kamu istirahat dulu. Nanti waktu makan siang Mas bangunin lagi. Oke?” Wanita cantik bermata bening itu mengangguk dan tersenyum. Ia mulai memejamkan mata, sementara Rendi memilih untuk duduk di sofa dan membuka laptopnya.***“Lepaskan saya, Bu. Saya mau menemani mama saya!” “Kamu tidak bisa mengontrol sikap! Saya menyesal telah mengizinkan kamu keluar.” Sipir wanita itu mencengkram tangan Mita dan menyeretnya menjauh dari ruang ICU.Mita mengikuti dengan langkah nyaris diseret. “Tapi saya tidak salah, Bu! Mereka memang tidak punya hati! Coba kalau Ibu
Maira menurunkan kaki lalu memakai alas kakinya. Wanita itu langsung mendongakkan kepala menatap suaminya.“Ada berita penting apa, Mas?” Sepasang alis hitam dan rapi itu hampir menyatu saat menatap Rendi.“Ada lah, nanti saja kita bahas. Sekarang kita makan siang dulu. Mama sama anak-anak pasti sudah menunggu.” Saat Maira akan berdiri, tiba-tiba pintu kamar mereka diketuk dari luar. “Rendi! Maira! Kalian di dalam ‘kan?” Suara Bu Rani memanggil. “Iya, Ma. Sebentar.” Rendi buru-buru melangkah ke pintu dan membukanya. “Kalian nggak makan siang, hem? Anak-anak udah nunggu dari tadi, loh,” omel Bu Rani begitu pintu terbuka. Lalu wanita itu melihat Maira yang sedang berjalan ke arah pintu. “Kamu udah baikan, Mai?” Bu Rani memperhatikan wajah menantunya dengan seksama. “Maira udah baikan, kok, Ma,” balas Maira, tersenyum lembut pada mama mertuanya. Bu Rani menghela napas. “syukurlah,” ujar wanita paruh baya itu.“Ya udah, kita turun sekarang. Kasihan Daffa dan Raihan, mereka sudah me
Rendi terkikik melihat kelopak mata Maira terbuka lebar. “Syaratnya, kamu harus bisa membagi waktu dengan anak-anak. Mas nggak mau mereka kekurangan kasih sayang mamanya yang cantik ini,” goda Rendi, menarik turunkan alisnya. Bibir berwarna pink itu mengerucut. “Mas, nyindir aku?” “Nggak!” Rendi menggeleng.“Kenapa bilang gitu?” Rendi tersenyum dan membawa kepala istrinya ke bahunya yang lebar. “Bukan apa-apa, Sayang. Mas hanya nggak ingin kamu abai dengan kewajiban kamu yang sesungguhnya. Berkarir itu tidak masalah, asalkan kamu bisa memastikan waktu untuk anak dan suamimu ini tetap terpenuhi.” Satu hal yang selalu membuat Maira terkagum-kagum dengan Rendi. Pria itu selalu pandai merangkai kata yang tegas namun lembut saat didengarkan. Maira mengangkat wajahnya, menatap rahang sang suami yang terlihat bulu-bulu pendek bekas cukur mulai tumbuh. Satu tangannya terulur lalu meraba dagu suaminya. Rendi menoleh dan tatapan mereka saling mengunci. Rendi menangkap jari-jari mungil Mai
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter