“Ayo, Mas, antar kamu ke mobil lagi,” kata Rendi memapah tubuh Maira. “Nggak Mas. Aku masih kuat, aku juga mau lihat. Bangunan butikku sudah hancur, Mas. Aku harus cari tahu apa penyebab kebakaran itu.” Maira menyingkirkan tangan suaminya, dan berjalan cepat ke arah bangunan yang sebagian sudah menghitam. “Pak … Pak!” Tiba-tiba seorang pekerja berlari dari arah belakang bangunan menuju sekumpulan polisi. Maira menghentikan langkah. Kedatangan pria itu sukses menyedot seluruh perhatiannya.“Pak, saya menemukan botol berbau minyak gas ini di dekat pagar belakang.” Pria itu menunjukkan satu botol kaca yang sudah kosong. “Minyak gas?” Rendi yang mendengar akan hal itu ikut mendekat. “Apa para pekerja ada yang menggunakan minyak gas?” tanya Rendi, menatap pria yang tadi membawa botol bekas minyak gas dengan seksama. “Tidak ada, Pak. Saya yakin, ini milik orang luar.” tegas pria itu. “Baiklah, saya simpan botol ini sebagai barang bukti.” timpal salah satu anggota polisi. Lalu mereka b
Rendi dan Maira baru saja sampai di rumah saat jarum jam menyentuh angka tiga lebih tiga puluh menit. Sudah hampir subuh. “Mas,” panggil Maira lirih ketika Rendi menggandengnya naik ke tangga. “Ya?” Rendi menatap sang istri yang terlihat ragu-ragu, wanita cantik berparas teduh itu terlihat seperti akan mengatakan sesuatu. Sambil terus menaiki anak tangga, Rendi meraih pundak sang istri dan merengkuhnya lebih erat. “Ada yang mau kamu katakan, hem?” “Aku … aku curiga … pelaku yang sengaja membakar butikku itu bukan orang asing.” Maira berhenti tepat di depan pintu kamar mereka, menatap Rendi yang terlihat sedang berpikir. Dahi pria tampan itu berkerut dalam. “Kita bicara di dalam saja, ya.” Rendi menekan handle pintu dan mendorongnya pelan hingga daun pintu itu terbuka. Pria yang tengah mengenakan jaket berwarna hitam itu sedikit mendorong tubuh istrinya agar segera masuk, lalu kembali menutup pintu dan menguncinya dari dalam.“Maafkan aku jika menyinggung perasaan kamu, Mas. Tapi—”
Awalnya Rendi dan Maira sepakat untuk menutupi kasus kebakaran butik yang tengah dibangun Maira itu dari Bu Rani untuk sementara waktu. Namun, sebuah artikel yang diterbitkan oleh sebuah majalah online nyatanya tak luput dari penglihatan Bu Rani. “Kalian bisa jelaskan, kenapa butik yang baru selesai di bangun itu tiba-tiba terbakar?” Bu Rani meletakan ponsel pintar yang menyajikan berita tentang kebakaran butik itu ke meja, lalu menatap Rendi dan Maira bergantian. Raut wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya.Rendi dan Maira saling bertukar pandang.“Mama tenang dulu, ya. Nanti … kami pasti akan menjelaskan pada Mama,” sahut Rendi berusaha bersikap tenang. Waktu sarapan pagi baru saja akan dimulai, dia tidak ingin suasana sarapan menjadi kacau karena berita tidak mengenakkan itu. Beruntung, kedua anaknya tidak ikut sarapan di sana. Daffa dan Raihan memilih untuk sarapan di dekat kolam renang bersama pengasuhnya.“Kenapa kalian tidak cerita sama Mama?” Wanita yang tengah mengenak
Maira menyunggingkan senyum tipis saat menyadari gurat ketakutan tercetak jelas di wajah Bu Nastiti. Dia tidak tahu secara pasti, apa yang menyebabkan wanita yang gaya rambutnya selalu disanggul itu seperti ketakutan. Apakah wanita itu mulai terpengaruh dengan ucapannya barusan?Beberapa pekan, Maira selalu menahan diri untuk tidak menyerang wanita yang tengah duduk di depannya itu secara terang-terangan. Mengatakan kematian Bapaknya disebabkan oleh perbuatan suami wanita itu rasanya terlalu keji dan terkesan menuduh tanpa bukti. “Ya, saya setuju dengan pendapat kamu, orang yang telah berbuat jahat memang sudah seharusnya mendapatkan hukuman yang setimpal.” balas Bu Nastiti. Terlihat sekali wanita itu memaksakan bibirnya untuk mengulas senyum. Ingin sekali Maira tertawa, menertawakan kebodohan Bu Nastiti yang dengan berani mengatakan hal itu. Bagaimana jadinya jika wanita itu tahu, orang jahat yang tengah mereka bicarakan adalah suaminya sendiri. Menyelipkan sebagian rambutnya ke b
Bu Nastiti meremas jari-jarinya yang saling terkait di depan tubuh. “Jadi, kedatangan saya kemari adalah karena adanya laporan atas tindakan kriminal yang telah direncanakan oleh Bapak Gunawan. Apakah beliau sedang ada di rumah?” Pak polisi menjaga intonasi bicaranya agar tetap tenang. “Ma–maksudnya bagaimana, ya? Saya nggak ngerti.” Bu Nastiti hampir saja limbung, satu tangannya sigap meraih pagar besi rumahnya untuk menahan tubuh. Satpam yang tengah berjaga di pos sontak berlari ke arahnya bermaksud membantu wanita itu. “Nyonya tidak apa-apa?” tanya Pak satpam dengan raut khawatir. Mencuri-curi pandang ke arah Pak Polisi dengan dada berdebar. “Tidak apa-apa, Pak. Tolong bukakan gerbangnya sekarang,” pinta Bu Nastiti pada Pak satpam. Lalu menoleh pada Pak Polisi. “Pak, lebih baik kita bicara di dalam. Saya tidak enak kalau ada tetangga yang melihat.” kata Bu Nastiti seraya mengedarkan pandangan ke sekitar.Bu Nastiti segera kembali masuk ke dalam mobil dan membawanya ke dalam hal
Mita menatap polisi itu dengan harap-harap cemas. Setidaknya, jika dia mengetahui siapa yang telah membuat laporan itu, dia akan membuat perhitungan dengan pelapor. Mita tidak terima harga diri papanya diinjak-injak seperti itu. Selama ini, Pak Gunawan terkenal sebagai orang yang sukses dan terhormat. Mita bertekad, dia tidak akan membiarkan siapapun mencoreng nama baik sang papa.“Waktu saya sudah banyak yang terbuang sia-sia. Bisakah saya masuk sekarang.” Pak polisi menatap Mita garang. Mita mundur selangkah. “Tapi saya mau tahu siapa yang sudah melaporkan Papa saya!” Mita nekat mendesak.“Apa saudari yakin bisa menjaga sikap, setelah tahu siapa yang sudah melaporkan Pak Gunawan?” Polisi itu menyipitkan matanya. “Ma–maksudnya apa?” Mita tergagap. Mungkinkah polisi itu tahu akan niatnya?“Saya harus menjaga privasi demi keamanan clien saya.” tegas Pak polisi yang di dadanya tersemat name tag bertuliskan ‘Bagus Permana’. “Permisi, biarkan saya memeriksa ke dalam.” Pak polisi mendoro
Rendi mendadak gusar. Segera memalingkan wajahnya saat menyadari wanita yang tengah mengenakan hoodie coklat itu adalah Mita.“Detektif bodoh itu sudah kami amankan, sekarang kami harus apa lagi?” Suara seorang pria yang berasal dari bangku Mita, membuat jantung Rendi terasa seperti diremas.“Detektif bodoh?” desis Rendi. Lalu otaknya kembali teringat pada Pak Doni yang tak kunjung datang. Rendi berusaha kembali menghubungi nomor pria itu namun kini justru nomornya sudah tidak aktif. “Di luar jangkauan?” Rendi menatap nanar layar ponselnya, lalu dengan sembunyi-sembunyi kembali menoleh ke bangku yang diduduki Mita.“Jangan biarkan dia bebas. Saya tidak mau nama baik keluarga saya hancur gara-gara kasus itu!” Mita kembali berbicara pada pria di depannya.Rendi menggelengkan kepala, setengah tidak percaya, Mita bisa melakukan hal sejauh itu. Diam-diam Rendi terus mencuri dengar. “Awasi Dokter Rendi. Jangan sampai dia bertindak lebih jauh.” pesan Mita sebelum pergi meninggalkan kafe,
Setelah rumahnya diacak-acak oleh polisi tadi sore, Mita langsung mencari identitas siapa pelaku yang telah melaporkan papanya. Dan … di luar dugaannya, salah satu orang kepercayaan yang dia suruh mencari informasi menyebutkan nama Rendi Prayoga lah pelakunya. Mita terkejut bukan main.Begitu juga dengan Bu Nastiti yang sejak awal tidak menaruh curiga. Wanita yang gemar menyanggul rambut itu semakin naik pitam. Hari itu juga, mereka menyuruh beberapa orang kepercayaan untuk menghalangi niat Rendi. Awalnya, Mita merasa keberuntungan terus berpihak kepadanya. Dengan sangat mudah, Mita mendapatkan informasi siapa saja yang telah bekerja sama dengan Rendi. Malam harinya, beberapa orang suruhan Mita langsung menuju kantor Pak Doni–orang yang mereka curigai sebagai tangan kanan Rendi. Mereka terus mengikuti Pak Doni hingga mereka sedikit menyingkir saat mengetahui pria itu pergi ke kantor polisi. Tidak berselang lama, mereka melihat mobil Pak Doni kembali keluar dari kantor polisi denga
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter