"Jawab pertanyaan, Mas, Sayang. Kamu percaya sama Mas, kan?" Perasaan Rendi semakin gusar. Maira hanya diam dengan kesedihan yang tersirat lewat sorot matanya. "Sayang?" Suara Rendi tercekat, saat wanita di depannya itu menggeleng samar. Tubuhnya seketika merasa lemas."Entah lah, Mas. Aku tidak bisa percaya begitu saja," lirih Maira, kemudian meraih tangan suaminya yang menempel di pipi dan melepaskannya. Maira merangkak ke tengah ranjang, menyingkirkan ponsel sang suami dan mulai menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhnya.Rendi melihat istrinya menarik selimut dengan hati nelangsa. Dia tahu, dia sudah salah telah menuduh istrinya macam-macam. Namun, apakah kesalahannya itu tidak pantas untuk mendapat pengampunan setelah dia mengakuinya?Rendi menjatuhkan berat tubuhnya di bibir ranjang. Menghela napas panjang-panjang dengan tatapan lurus ke depan dan dia mulai berbicara. "Namanya Mita, dia teman Mas, dari SMA. Lalu kami kembali bertemu saat di Oxford. Saat itu kami cuma salin
Sementara di tempat lain. Maira tengah bingung karena mobil yang dikendarai olehnya tiba-tiba oleng. Cepat-cepat ia menepikan mobilnya di pinggir jalan. Dia yakin ada yang tidak beres dengan roda mobilnya. Dan benar saja, saat dia keluar memeriksa, kondisiroda mobilnya telah kempes. Menyugar rambutnya, Maira berdecak kesal. "Ck, ada-ada aja, sih." Seketika Maira menjadi panik. Memijat pelan pelipisnya yang berdenyut nyeri sambil menyandarkan punggung di badan mobil. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Jalanan pagi itu cukup ramai karena memang jam berangkat kerja. Namun, dia tidak mendapati orang yang mungkin bisa dimintai bantuan.Membuka pintu mobil dan mengambil ponsel yang ia letakkan di dashboard. Maira mulai menggulir layar ponselnya. Bimbang harus menghubungi siapa. Sejenak Maira kembali menyandarkan tubuhnya di badan mobil sambil mengutak-atik ponselnya. Lalu nomor sang suami muncul di deret paling atas. Tanpa sadar mulutnya mengerucut membaca nama kontak itu. "Nggak, jang
Tiba di ruangannya, Tanpa mengulur waktu lagi. Rendi langsung menyuruh asistennya untuk memanggil pasien yang sudah mendaftar dari urutan teratas. Asisten itu mengangguk dan segera keluar dari ruangan. Tidak sampai semenit, wanita berseragam putih polos itu kembali masuk dengan membawa buku KIA. Seorang wanita hamil berjalan di belakangnya."Silakan duduk, Bu. Ada keluhan apa?" tanya Rendi, menatap pasien yang duduk di depan mejanya. Lalu membuka buku KIA yang diletakkan di meja oleh asistennya."Saya masih sering pusing dan mual, Dok. Apa ini wajar? Kadang juga sering lemas kalau berdiri terlalu lama," adu wanita hamil itu sambil mengelus perutnya yang sedikit buncit."Usia kandungan memasuki trimester kedua ya, Bu? Sebenarnya ini masih wajar. Tapi jangan sampai tidak makan. Walaupun mual harus tetap makan, ya. Perbanyak konsumsi sayuran hijau, kacang-kacangan, sesekali juga bisa mengkonsumsi daging merah supaya janin tumbuh dengan sehat," jelas Rendi sambil membaca buku catatan kes
Rendi merasakan jantungnya seperti nyaris melompat dari tempatnya. “Saya bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang Anda lihat.” saking gugupnya pria sampai tidak menyadari, kata-kata itu tidak seharusnya ia ucapkan. Untuk apa dia menjelaskan pada orang lain yang tidak ada hubungannya dengan hal yang ia lakukan? Sedetik kemudian Rendi merutuki kebodohannya.Bryan mematung, tatapannya menelisik ke arah Rendi dan Mita secara bergantian. Lalu saat matanya tak sengaja melihat tisu bekas di tangan Mita. Bryan mendengkus.Bryan berjalan mendekat lalu duduk tepat di kursi sebelah Rendi. Mengabaikan wajah Mita yang terlihat seperti orang bodoh. Bryan kembali bersuara. “Saya tidak menyangka, dokter Rendi yang selama ini terlihat selalu menjaga jarak dengan wanita, bisa sedekat ini dengan—” Bryan tidak melanjutkan ucapannya, dia hanya mengerling pada wanita yang diam membisu berdiri tidak jauh dari meja mereka. Lalu Bryan mengerucutkan bibirnya. “Saya kasihan dengan Bu Maira.”Kalimat terakhir yang
“Mita?” ulang Maira. Lalu otaknya kembali berputar pada kejadian semalam. Bukankah tadi malam suaminya juga menyebutkan sebuah nama. Maira mengerutkan dahinya, lalu menggeleng kecil. “Yang namanya ‘Mita’ nggak cuma satu,” gumamnya.“Apa?” Wanita yang duduk di sampingnya melayangkan tatapan heran padanya.“Ah, nggak apa-apa, Mbak. Mari kita ukur dulu untuk ukuran gaunnya supaya pas di badan.” ajak Maira ke sebuah ruangan khusus untuk pengukuran badan. “Maaf, tadi kamu bilang apa?” Wanita itu seperti tidak puas dengan jawaban Maira.“Bukan apa-apa, Mbak.” Maira mulai mengambil meteran dan mengukur tubuh wanita itu agar gaun yang dipesan sesuai dengan ukuran tubuhnya.“Jangan lupa, Sabtu saya ambil, ya.”“Iya, siap, Mbak.” Maira tersenyum dan mengangguk. Baru sekali itu rasanya dia melihat wajah secantik wanita di depannya. Putih mulus tanpa cela. Bulu mata lentik alami, tulang hidung yang tinggi, bibir yang kecil namun penuh, rambut bergelombang menggantung di bawah. Benar-benar cantik
Rendi melirik istrinya yang terlihat santai saja ketika mendengar ocehan mamanya. Wanita itu dengan santai mengambil piring, dan mengisinya dengan nasi juga lauk pauk serta sayur yang tertata di meja. Tidak terpengaruh sama sekali.“Jangan cuma dilirik! Tapi diajak bicara, Ren!” perintah Bu Rani membuat Rendi tersentak. Maira pun menoleh ke arahnya. Alisnya yang tebal dan rapi terangkat.“Kenapa?” tanya Maira sambil meletakkan satu piring nasi yang sudah lengkap dengan sayur dan lauknya itu ke hadapan Rendi.“Eng–enggak apa-apa,” kata Rendi menahan gugup, lalu memusatkan perhatiannya pada sepiring nasi yang sudah disiapkan istrinya. Maira memang pintar mencari perhatian Mama. Dia bisa terlihat biasa saja di depan Mama dan berubah dingin ketika berhadapan denganku. batin Rendi. Pukul tujuh lebih dua puluh menit. Mereka makan bersama di meja makan yang besar dengan suasana dingin. Hanya bunyi sendok garpu dan piring beradu yang terdengar. Dua anak kecil yang biasanya akan ramai di me
Rendi dan Bu Rani saling melempar pandangan. Terlihat sekali Rendi tidak nyaman berada di situasi itu.“Tidak ada yang perlu dikatakan. Ini sudah malam, sebaiknya kita semua segera istirahat,” kata Rendi dengan tegas. Beranjak dari kursi dan langsung meninggalkan ruang dapur. Apakah ini sama dengan pengecut? Batin Rendi meronta saat ia meninggalkan dua wanita itu di dapur. Bukan, ini hanya belum saatnya ia bicara dengan mamanya soal Maira. Dia tidak boleh gegabah. Lagi, hatinya sangat mencintai wanita berwajah teduh itu. Apalagi, saat ini di antara mereka sudah ada Raihan. Seharusnya dengan adanya anak itu, hubungan mereka akan semakin erat.Bu Rani melihat wajah Maira semakin murung. “Sabar ya, Mai. Namanya orang berumah tangga itu pasti ada saja ujiannya. Mama percaya, kamu pasti bisa melaluinya.” Bu Rani berjalan mengitari meja dan berhenti di sebelah Maira. Wanita paruh baya itu mengusap-usap punggung Maira untuk memberikan dukungan.Maira merasa dirinya sudah lelah lahir dan bat
“Tidak boleh,” sahut Rendi cepat-cepat. Ia merasa tertohok oleh ungkapan hati Maira itu. Beranjak dari ranjang lalu duduk bersimpuh di depan Maira. Meraih jemari lentik itu, kemudian mengecupnya berkali-kali. Hari itu, Rendi memutuskan untuk berdamai dengan rasa cemburunya. Lagian, Maira sudah mengatakan, dia bisa bertanya pada Dokter Bryan. Apalagi yang bisa membuatnya ragu?“Sayang, maafin Mas, kalau Mas udah banyak salah sama kamu. Tolong … jangan pergi ke mana-mana dulu. Kita harus menenangkan diri kita masing-masing. Mas janji kalau hati kamu sudah lebih tenang, nanti kita bisa ke rumah Bapak Ibu.” kata Rendi panjang lebar dengan tatapan menghiba.Maira menghela napasnya, hatinya sedikit lebih lega. Bagaimana pun, dia sangat mencintai pria di hadapannya itu. Dia lah pahlawannya. Pria itu pernah bertaruh nyawa untuk menyelamatkannya. Dan itu selalu membuat Maira jatuh cinta berkali-kali pada suaminya itu. Kesalahan-kesalahan kemarin, sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan de
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter