“Nggak mau!” teriak bocah kecil itu sambil berurai air mata. “Aku mau ikut Kak Daffa.” Maira bimbang harus menyusul Daffa atau menenangkan Raihan dulu. Akhirnya ia berdiri dari kursinya lalu menghampiri Raihan. “Sayang, udah. Nggak boleh teriak-teriak seperti itu sama Papa.” Maira memeluk tubuh anaknya dan mendekapnya erat-erat.Bocah itu masih sesenggukan. “Ihan mau sama Kak Daffa, Ma,” rengeknya berusaha melepaskan diri. “Iya Sayang, ya udah, kita susul Kak Daffa sekarang, ya.” bujuk Maira sambil mengecup kepala Raihan berkali-kali. Dapat Maira rasakan kepala anak itu mengangguk dalam dekapannya. “Ma, Mas … aku susul Daffa dulu, ya,” pamit Maira pada suami dan mertuanya. “Iya Mai.” balas Bu Rani dengan tatapan sendu. Sementara Rendi terlihat beberapa kali menghela napas besar. Pria itu menatap nanar ke arah punggung istrinya yang berlalu dari meja makan bersama Raihan dalam gendongannya. “Apa masalah kalian sudah selesai?” tanya Bu Rani tiba-tiba. Rendi mengangguk ragu-ragu. Se
“Dokter Rendi?” Suara perempuan yang tidak asing lagi menyapa telinga mereka pagi itu. Sepasang suami-istri itu menoleh ke belakang. Dan seketika wajah Rendi menjadi tegang. “Dia, kan—” Maira berkata lirih yang hampir serupa bisikan. Namun terdengar menakutkan di telinga Rendi. Pria itu buru-buru menoleh pada istrinya. “Kamu kenal sama dia?” tanya Rendi dengan dahi berkerut. Belum sempat Maira menjawab, wanita itu sudah lebih dulu berbicara.“Wah … kebetulan ketemu di sini, ini anak-anak kamu?” Wanita itu menatap Rendi sebentar, lalu melihat Daffa dan Raihan dengan mata berbinar. Lalu tangan putih mulusnya mengusap pelan puncak kepala keduanya. Mengabaikan Maira yang menatapnya dengan sorot mengerikan. “Iya, Mbak … mereka anak-anak kami,” balas Maira. Mengukir senyum di bibir tipisnya namun sorot matanya tajam seperti siap menusuk lawannya. “Oh … iya … iya,” wanita itu mengangguk mengerti, dan membalas tatapan Maira sedikit sungkan.Maira mengerling pada Rendi dengan mimik muka p
Tiba di ruangannya, Gunawan langsung menghentakkan berat tubuhnya di atas kursi kebesarannya. Pria paruh baya itu menghembuskan napasnya dengan kuat. “Tolong panggilkan Dokter Rendi agar menemui saya,” titah Gunawan sambil memutar kursi kebesarannya. Menatap jendela yang meneruskan pandangannya ke arah luar. Hal yang selalu menjadi favorit pria paruh baya itu, yaitu menatap pemandangan kota dari lantai teratas. Seseorang yang selalu mendampinginya mengangguk patuh dan berkata, “Siap, Pak.” Lalu pria itu segera membalikkan badannya dan keluar dari ruangan Gunawan.“Tidak akan aku biarkan tangismu sia-sia, putriku,” gumam Gunawan. Matanya menerawang jauh ke depan.Tidak berapa lama, pintu ruangannya diketuk sebanyak tiga kali. Lalu seorang yang tadi disuruh memanggil Dokter Rendi masuk bersama Rendi yang berjalan di belakangnya. “Pak, ini Dokter Rendi sudah datang,” ujar pria tadi. “Baik, terima kasih. Kamu boleh keluar.” Setelah Gunawan mengatakan itu, pria tadi langsung keluar dari
“Kalau Papa tetap memaksa, lebih baik aku kembali ke luar negeri saja!” gertak Mita.Gunawan terhenyak. Tidak boleh, itu tidak boleh terjadi. Apapun itu, Mita harus tetap tinggal bersamanya. Harapannya kini hanya Mita yang bisa meneruskan mengurus rumah sakit mereka. Anak bungsunya sudah menyerah lebih dulu dan lebih memilih meneruskan usaha mertuanya. Gunawan menghela napas panjang-panjang. “Jangan lakukan itu Mita!” Pria itu menautkan pandangannya pada sang putri. “Jangan pergi lagi. Papa tidak akan memaksakan jodoh untukmu. Tapi … Papa mohon, jangan ganggu Rendi. Dia pria beristri, Nak.” Sorot mata Gunawan sudah sangat sendu ketika mengatakan itu. Dia berharap Mita mau mendengarkannya. Dia juga tidak mau putri kesayangannya menyakiti perasaan sesama wanita. Mita diam tidak menyahut. Tapi, di dalam hatinya, dia menolak usulan sang Papa. Obsesinya terhadap Rendi akan sangat sulit untuk dilenyapkan. Dia sudah mengagumi pria itu sejak lama. Tidak mudah bagi Mita untuk sampai pada tit
Maira cepat-cepat menyelesaikan sapuan bedaknya sebelum Rendi benar-benar sampai di dekatnya. Kini ia memoleskan lip tint berwarna peach ke bibirnya yang sudah merona. “Aku dandan begini biar kamu nggak malu punya istri sepertiku, Mas.” kata Maira, memutar tubuh tanpa beranjak dari kursinya.Rendi berhenti tepat di depan wanita itu. Matanya mengerjap berkali-kali. Lalu sedikit menunduk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Maira. “Aku nggak pernah malu punya istri sepertimu, Sayang.” Mendengar gombalan seperti itu sudah membuat Maira merasakan pipinya memanas. “Gombal, ah! Nanti kalau aku nggak dandan takutnya kamu lirik sana lirik sini.” Bibir Maira mengerucut. Tapi matanya melirik ke wajah suaminya. “Udah, ah, jadi berangkat nggak ini?” Maira mendongakkan wajahnya dengan ekspresi yang masih sama. “Ya jadi, dong. Ayok!” Rendi menegakkan tubuh lalu mengulurkan tangannya pada sang istri. Maira tersenyum menyambut tangan Rendi. Wanita cantik itu berdiri lalu menyambar tas tangan yang
“Bu Maira?” Kelopak mata Maira sedikit terangkat. Sebisa mungkin ia menetralkan ekspresi terkejutnya. “Ya,” balas Maira sambil mengulas senyum terbaiknya di depan wanita yang tidak lain adalah Mita. “Perawatan di sini juga?” tanya Maira dengan mempertahankan senyuman di bibirnya. Mita menganggukkan kepalanya. “Ya, baru mau mencoba. Kata teman-teman saya, perawatan di sini hasilnya sangat memuaskan.” Mita juga tersenyum pada Maira, seakan di antara mereka tidak pernah ada apa-apa. “Bu Maira sendirian?”Maira sudah menyandarkan punggung kembali menoleh. “Oh, nggak. Saya bersama suami dan anak-anak.” jawab Maira dengan tenang dan elegan.Mita mengangkat alisnya. Wanita cantik dengan rambut bergelombang itu tampak mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi salon.“Suami saya sedang menemani anak-anak main di Timezone.” celetuk Maira, mengerti dengan sikap Mita yang terlihat seperti tengah mencari seseorang.“Oh ….” Mita tergagap kemudian mengangguk. Dalam hati, wanita itu menyayangkan,
“Mas!” tegur Maira dengan mata melebar. Merasa tidak enak hati dengan Bryan atas perkataan Rendi yang dirasa tidak pantas. Apalagi, kedua anak mereka ikut mendengar.Bryan terkekeh-kekeh. “Memangnya boleh, ya, seperti itu?” sahut Bryan dengan santai. Wajah Rendi semakin muram. Kalau tidak anak-anaknya sedang ikut menyaksikan, bisa dipastikan Rendi akan memberikan pelajaran berharga untuk pria bermata sipit itu.“Saya hanya bercanda, Dokter Rendi. Jangan diambil hati,” kata Bryan kemudian. Pria berwajah oriental itu lalu maju beberapa langkah dan menepuk pundak Rendi. “Saya permisi dulu, Dok. Sepertinya sudah malam dan saya juga belum menemukan apapun untuk dibawa pulang.” Lalu Bryan kembali menoleh Maira. “Saya permisi, Bu Maira,” pamitnya sambil sedikit membungkuk dan tersenyum tipis.Setelah Bryan terlihat turun menggunakan eskalator. Rendi langsung menggendong Raihan. Sambil mengambil tubuh kecil itu, Rendi berkata. “Jangan dekat-dekat sama dia. Mas nggak suka!” bisiknya di dekat
Rendi menganggukkan kepalanya. “Oke, deal, ya.” katanya seraya mengulurkan jari kelingking. Maira mencebikkan bibirnya. “Seperti anak kecil, deh, Mas!” Namun, ia tidak menolak untuk menautkan jari kelingkingnya juga. Rupanya, janji tinggal lah janji. Pagi itu, Rendi baru saja masuk ke dalam ruangannya. Baru saja ia duduk di kursinya sambil memeriksa ponsel, bermaksud mengirimkan pesan pada sang istri.Tanpa mengetuk pintu, Mita langsung membuka daun pintu ruangannya dan nyelonong masuk. Randi tersentak, ponsel mahal di tangannya nyaris terjatuh ke lantai.“Biasakan kalau masuk ruangan orang lain, ketuk pintu dulu!” Rendi berbicara tanpa menatap wanita cantik yang telah duduk di hadapannya. “Ehm, iya, Maaf.” Mita duduk dengan wajah tanpa rasa bersalah. “Mau apa lagi? Kalau tidak berkepentingan. Tolong jangan ganggu saya. Sebentar lagi jam praktek, saya buka.” tegas Rendi masih dengan kepala menunduk memperhatikan rekapan daftar pasien. “Ini.” Mita menyodorkan sebuah kertas kecil b
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter