Bab 23"Tenangkan hatimu Pak, duduklah dulu." bujuk Ibu mertua kepada kekasih hatinya itu.Ibu mertua memberi kode agar jangan terpancing emosi, dengan menggelengkan kepala dan wajah yang memelas sambil mengusap dada Bapak mertua lembut.'Maaf Amang, Riska minta maaf karena tidak bisa mengontrol emosi,' batinku menoleh ke arah Bapak mertua."Sekarang, puas Kau kan Riska, gara-gara Kau rumah ini jadi ajang keributan, kalau Kau ngak datang ke rumah ini, rumah ini aman dan tentram." ucap kak Susi lantang serta bertolak pinggang sok jago.Ingin rasanya merobek mulut Kak Susi, tapi melihat, wajah Bapak yang tidak seperti biasa, aku hanya mengelus dada dan tidak mau lagi menjawab omongan pedas Kak Susi."Makanya jadi orang tua, Amang dan Inang harus adil dong, jangan memihak ke satu orang menantu saja. Begini jadinya, jangan menasehati orang saja Amang dan Inang bisa, tapi bersikap adil buat anak-anak kalian tidak bisa." Mata kak Susi seperti mau menelan Amang dan Inang saja. "Sekarang kat
Bab 24"Maaf buat semuanya, kalau keberadaan Aku di keluarga ini sering membuat ketidaknyamanan, Kak Susi benar, jujur Amang, Inang, tidak ada keluhan ku tentang Amang dan Inang. Karena semenjak Aku jadi menantu di rumah ini, Aku selalu disayang oleh Amang dan Inang layaknya anak sendiri. Begitu juga sebaliknya, Aku selalu menganggap Amang dan Inang sebagai orang tuaku kandung. Tapi, yang menjadi keluhan ku adalah kakak-kakak yang dua, yaitu Kak Susi dan Kak Desi, aku tidak tau kesalahanku dimana sehingga Kak Susi dan Kak Desi seakan menganggap aku musuh di keluarga ini. Kalau salah, tolong dikasih tahu, agar aku bisa instrospeksi diri ke depan, dan komunikasi kita tetap terjaga baik, itu saja terimakasih." suaraku tenang, aku berusaha tidak gugup agar kedua istri Abang ipar ku ini jangan sampai mengira aku ini takut kepada mereka."Baiklah, sekarang kalau kalian bertiga anak lelakiku, adakah yang mau kalian sampaikan sebelum Bapak dan Mamak menjawab keluhan para menantuku disini?" Ib
Bab 25Semua kami mendekat ke arah Bapak, kecuali kak Desi yang tetap duduk di tempatnya.Bapak tiba-tiba pucat, wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar gelap. "Sakit Mak!" ucapnya lemas menoleh pada Ibu mertua."Linggom pegangin bapakmu, biar Mamak ambil dulu obat bapak di kamar." Bang Linggom mengambil alih kepala bapak di letakkan di pahanya, ibu segera bangkit mengambil obat."Ti-tidak usaah Mak, mungkin sekarang sudah ajal ku, duduklah dulu, Bapak mau bicara." bapak meraih tangan ibu agar duduk kembali."Iya, tapi biar kuambil dulu obatmu." ucap ibu dengan mata berkaca-kaca menahan tangis."Sepertinya hidupku tidak lama lagi, sabar lah sebentar, du-duduklah dulu di dekatku." Bapak seperti memohon kepada ibu.Ya Tuhan, tolong jangan ambil nyawa mertuaku. Sembuhkan beliau dari segala penyakitnya Tuhan. Ampuni hamba atas semua kesalahan hamba, tolong sembuhkan bapak mertuaku ini Tuhan, doaku dalam hati.Air mataku mengalir tanpa bisa dibendung lagi, aku tak sanggup melihat ke
Bab 26"Kumpulkan bajumu, Aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu, tunggu surat cerai dariku di sana" jelas Bang Tigor mengulangi ucapannya. "Akh kamu Bang Tigor, dikit-dikit cerai! Aku perhatikan bela kali Kau sama adik iparmu itu ya? Sudah masuk juga peletnya sama Kau?" tantang Kak Desi tidak mau diam."Aku masih bicara baik-baik ini ya Desi! Kalau Kau tidak mau ku permalukan di kampung ini lekas kumpulin pakaianmu agar ku antar Kau pulang kepada orangtuamu." Wajah Bang Tigor sudah merah padam tandanya marah telah menguasai dirinya."Sudah deh Bang, jangan diperpanjang lagi. Lebih baik nanti Abang dan Kak Desi bicara setelah berdua saja." pinta Bang Linggom memohon."Kau pilih, Kau ku antar atau Kau pulang sendiri kepada orang tuamu?" Bang Tigor tidak menggubris ucapan Bang Linggom.Aduh, bakal perang lagi ini kayaknya, kak Desi kenapa ya tidak ada capek-capek nya nyari masalah terus."Aku heran sama Kau Bang! Harusnya, kak Susi lah yang di usir dari rumah ini, bukan malah
Bab 27Sepanjang perjalanan pulang, Ibu mertua hanya diam saja. Sesekali bersuara saat kami bertanya sesuatu. Ibu Bahkan tidak mau makan, minum hanya sedikit, kelihatan bangat wajahnya lelah dan capek, bahkan yang biasa dia sangat akrab sama Dinda, sama sekali pemandangan itu tidak terlihat, Ibu hanya melirik sesaat saat Dinda menangis minta susu, Ibu sama sekali tidak berniat untuk sekedar menghibur Dinda, kasihan ibu, pasti hatinya sangat sedih sekarang."Yok Mak, kita sudah nyampai." Suara Bang Linggom membuatku terjaga, setelah 14 jam menempuh perjalanan, dari kampung ke Bagan Batu ini."Kita sudah nyampai Dedek, kita turun yok sayang." Aku bicara kepada putri kecil kami yang ada dalam gendonganku.Aku turun dari mobil, dan membawa tas tempat baju-baju Dinda. Sementara Ibu mertua juga turun dari pintu sebelahku."Inang dapat tidur ngak tadi di mobil Nang?" tanyaku sekalian mencairkan kekakuan."Tidak bisa aku tidur Nak." jawab Ibu masih saja tidak ada gairah, dapat dimaklumi, cap
Bab 2810 tahun kemudian."Lae, ladang orang Lae yang 4 hektar, sudah perlu racun dan pupuk. Tolong Kirimkan uangnya ya Lae, sekalian saja sama upah kerjanya." Saut suami Mitha pagi ini telpon kepada Bang Linggom suamiku."Oke, baiklah Lae, nanti biar ku suruh di kirim oleh Mama nya Dinda," ucap Bang Linggom mengakhiri pembicaraannya di telepon.Saut suami Mita adalah makelar tanah di Ujung Batu, terhitung dari 5 tahun yang lalu kami membeli 10 hektar ladang disana. Kebetulan karena Saut makelar tanah jadi selalu dapat informasi tanah yang dijual cepat oleh pemiliknya.Yang 4 ha tadi adalah pertama kali kami beli, katanya saat ini sudah dalam tahap buah pasir, tapi sampai saat ini belum pernah ada hasilnya yang kami terima, karena menurut Mitha dan suaminya buah pasir itu belum laku dijual. Sementara pupuk, racun dan juga upah pekerja selalu rutin kami berikan. Pekerjaan kami yang tidak bisa kami tinggalkan sehingga kami percayakan penuh ladang itu kepada Mitha dan suaminya, lagipula
Bab 29Aku mencoba menghubungi Bang Linggom, tapi nomor tadi, yang dia pakai telpon sudah tidak aktif lagi. Aku juga heran kenapa nomor Bang Linggom tidak aktif, kemana sebenarnya ponselnya dan apa yang terjadi disana?"Dinda, darimana Kakak tahu kalau Ayah hendak dibunuh?"Rasa penasaran ku memaksa mulut ku untuk bertanya."Amangboru itu tadi yang telpon aku Ma, katanya Mama harus kesana karena malam ini Ayah mau di bunuh, Bou Mitha juga ikut berkata demikian Ma, terus aku bilang, Mama lagi sakit."Tanpa bertanya lagi, aku lihat jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, berarti aku pingsan tadi lumayan lama juga. Soalnya anak-anak selesai kerjakan PR masih aku lihat sekitar pukul 8 malam tadi sebelum aku terima telpon dari Bang Linggom.Kalau seandainya aku berangkat sekarang, bagaimana anak-anak? Kalau aku disini menunggu, bagaimana nasib suamiku?, tidak ada yang membantunya. Paling tidak kalau aku ada disana emosi Bang Linggom bisa terkontrol. Uh... Rasanya jadi serba salah. Tuhan,
Bab 30Aku melihat suamiku dikerumuni warga, mukanya sudah bonyok dengan lebam dimana-mana. Aku bahkan bisa melihat goresan luka sabet di lengan kanannya. Kakinya juga penuh dengan darah-darah segar."Ayah..." Sayup-sayup kudengar suara Feri memanggil ayahnya. Tapi aku tidak melihat dari arah mana suara anakku itu datang.Mataku tertuju kepada Mitha dengan tangisan yang pilu. Lalu aku lihat suami Mitha masih berusaha lepas dari pelukan seorang orang tua yan berusaha menenangkannya. Ku tatap mereka berdua bergantian, meski aku tidak tau awal mula permasalahannya, tapi menurutku sudah tidak lagi wajar, kalau satu membawa pedang dan satunya dengan tangan kosong.Perlahan tapi pasti, aku berjalan mendekati suaminya Mitha. "Katakan padaku! apa yang sedang Kau lakukan kepada Ayah dari anak-anakku?"Aku sama sekali tidak lagi menghargainya sebagai saudara, kemarahan ku telah membuat dia terlihat kecil di mataku, bahkan sekecil biji korek api, aku terus mendekatinya, ilmu bela diri yang dulu