Ekstra part Liburan telah usai, saatnya kembali pada realita. Seperti yang sudah disepakati, aku dan Husniah bekerja di kantor cabang. Kami harus pergi ke lain kota, tak tinggal lagi di kota ini. Syifa kami tinggal di rumahku, karena dia bekerja di kantor itu."Hati-hati tinggal sendiri, ya. Jaga diri karena kamu wanita," pesanku pada Syifa sebelum kami pergi. Adik perempuanku itu mengiyakan. Ah, aku terlalu sibuk dengan diriku hingga lupa kalau adik perempuanku sudah cukup usia untuk menikah. Apa dia sudah memiliki kekasih, harusnya kami segera menikahkannya agar ada yang menjaganya.Di kota lain, sudah disiapkan rumah oleh Om Candra. Kami sudah sempat melihatnya. Rumah itu luas dan nyaman, lebih luas dari pada rumahku. Ada tiga kamar dan dua kamar mandi. Satu kamar mandi berada di dalam kamar pribadi seperti di rumahku. Rumah ini pun, terletak di komplek perumahan yang berada tak jauh dari kantor. Husniah bilang, dulu dia pertama kali bekerja di kantor ini. Husniah mengatakan ak
"Maafkan Kakak, Fa, kita seperti ini dulu. Ada banyak hal yang perlu kita saling fahami. Partner pernikahan tidak sama seperti partner kerja di kantor. Kita memang bisa bekerjasama saat di kantor, namun untuk berkeluarga dengan maksimal bersamamu, aku belum bisa. Kuharap kamu mengerti." Setelah acara pernikahan dadakan itu terjadi, mau tak mau aku membawa Syifa pergi bersamaku. Aku tak punya muka untuk berada satu rumah dengan Husniah dan suaminya, juga kedua orang tua Syifa yang mendadak menjadi mertuaku, begitu Syifa menjadi istriku. Lagipula, rumah itu tidak akan cukup di tinggali enam orang. Setidaknya malam ini, kami harus tidur dengan nyaman untuk menyongsong esok hari, dan memikirkan apa yang hendak dilakukan.Aku tidak membawa wanita itu ke rumahku, Papa dan Mama bisa syock jika aku menikah dengan sekretarisku dan aku mengikuti keyakinannya. Sejujurnya aku sudah tertarik sejak mengenal Husniah, tapi bukan begini cara yang aku inginkan saat memeluk agama yang sama dengan adik
Aku dan mama refleks menoleh ke arah sumber suara. Wanita itu tersenyum pada kami, berjalan perlahan menghampiri aku dan mama. "Syifa, ini mamaku," ucapku memperkenalkan mama pada wanita yang sudah menjadi istriku itu. Tapi kenapa caranya terdengar aneh seperti ini. "Halo, Tante, saya Syifa." Syifa memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangannya. Ah, dia memanggil mertuanya dengan sebutan tante. Mama menyambut uluran tangan Syifa, gadis itu mencium punggung tangan Mama setelah tangan mereka saling bertautan. "Duduklah, Syifa. Kita harus membicarakan semuanya," perintah Mama sambil menggeser duduknya. Memberi ruang pada Syifa untuk duduk di sampingnya. Syifa mengikuti perintah Mama, duduk di samping mertuanya. Aku sendiri duduk di bagian sofa lain, di depan mereka. "Kamu sudah mendengar pembicaraan kami tadi?" Mama bertanya. "Mungkin hanya sebagian saja, Tante," sahut Syifa. Mama terlihat nyaman saja dipanggil Tante oleh Syifa, tidak berniat untuk mengkoreksi panggilan menjad
"Buka pintunya! Buka!" Teriakan keras terdengar dari luar membuatku yang masih terbuai mimpi terbangun seketika. Antara sadar dan tak sadar, aku bangkit dari tidurku dan berjalan dengan mata setengah terpejam menuju pintu. Suasana masih gelap.Begitu pintu terbuka, orang-orang itu langsung menerobos masuk, tiga orang pria yang masih muda masuk rumah tanpa diminta. "Wah bener, mereka pasti melakukan perbuatan tak senonoh. Itu buktinya wanitanya baru keluar kamar mandi." Pria muda yang memakai kaos warna biru berteriak. Aku yang masih belum memahami situasi mengalihkan pandangan ke arah mereka. Syifa, kenapa dia ada di sini. Eh aku ada di mana ini. Seketika aku tersadar, ini rumah Husniah dan suaminya yang sudah hampir satu bulan ini hanya ditempati oleh Syifa. Hampir setiap sore aku mengantarkan gadis itu pulang ke rumah, bercengkrama dengannya sebentar, kadang menikmati masakannya lalu pulang. Namun hari ini aku dan dia sama-sama kelelahan. Setelah makan malam, Syifa berpamitan t
Wanita itu membuat sarapan dalam diam. Seakan begitu fokus dengan apa yang dia lakukan, entah fokus beneran atau sedang marah seperti yang aku pikirkan. Dia tak membiarkanku membantunya, tapi menyuruhku duduk di mini bar yang berada tepat di dekatnya memasak. Omelette makaroni dan segelas jus jeruk terhidang di meja setelah beberapa saat Syifa berkutat di dapur. "Mamamu bilang, Kakak harus makan yang sehat-sehat. Aku gak tahu ini termasuk makanan sehat atau tidak," ucap Syifa sambil duduk di sebrang meja. "Aku akan banyak belajar lagi dalam urusan dapur," sambungnya."Mamaku adalah mertuamu, kenapa kamu tak memanggilnya dengan panggilan mama juga?""Belum terbiasa, Kak. Cepat makan, kita harus segera pergi ke kantor." Benar yang dikatakan oleh Syifa, kami harus segera pergi ke kantor. Kemarin hari libur, biasanya setelah hari libur, jalanan jadi lebih macet dari biasanya. Entahlah hanya perasaan saja karena telah menikmati kenyamanan saat weekend, atau memang tingkat kepadatan kend
"Berhentilah kalian bertengkar, susulin Syifa, Kak. Jangan sampai kamu menyakiti wanita yang kamu nikahi. Jika tidak yakin dengan pernikahan itu, kamu harusnya menolaknya. Kita bisa melakukan cara lain untuk meredam kemarahan warga," turut Husniah panjang lebar. Aku menghela nafas dalam-dalam, apa aku memang keterlaluan? Aku hanya perhatian pada adik sepupuku. Apa salahnya? Tanpa menunggu dua kali Husniah menyuruhku, kususul juga akhirnya wanita yang sudah menjadi istriku itu. Aku turun ke bawah untuk mencarinya. Kuketuk pintu kamar mandi yang terdengar suara air gemericik dari dalam sana."Fa, jangan nangis di kamar mandi. Kalau mau nangis, dadaku nganggur nih." Aku berkata sambil mengetuk pintu. Tak lama berselang, pintu terbuka dan menyembullah wajah Syifa dari dalam sana. "Siapa bilang aku nangis?" Tanya Syifa begitu pintu terbuka. "Dua pasturi di atas sana. Mereka ngeyel kamu nangis gara-gara aku ngomongin bayi mulu dan terlalu peduli pada Husniah." "Enggak, Kak. Aku emang
Kuketuk pintu kamar Syifa, wanita itu langsung mengurung diri di dalam kamar setelah makan malam. Selama dalam perjalanan pulang, dia juga tak mengatakan apapun, dan saat makan malam pun, wanita itu tak berbicara sama sekali. Aku rasa ini karena perkataan Papa yang memintaku untuk kencan buta dengan putri temannya. "Fa, kamu udah tidur." Aku berteriak dari luar kamar. Tak ada jawaban sama sekali, apa iya dia tidur secepat ini. Bahkan tadi dia tak mengajakku untuk shalat Isya bersama. Tadi kami sempat sholat Maghrib di jalan sebelum pulang. Karena tak ada jawaban, aku memilih masuk begitu saja ke kamar tersebut. Bukankah ini kamar istriku, aku tak perlu ijin masuk bukan. Bahkan harusnya kami tinggal di kamar yang sama. Begitu kubuka pintu kamarnya, terlihat wanita itu masih mengenakan mukena. Ternyata dia baru selesai shalat. Kutunggu hingga dia selesai berdoa. "Ada apa, Kak?" Tanya Syifa sambil melipat mukenanya. "Kenapa diam saja sejak tadi, apa kamu marah padaku?""Marah untuk
Kutatap mata wanita di depanku ini, apa dia sedang bercanda atau serius. Bagaimana bisa dia mengatakan tertarik hanya dengan sekali bertemu. "Aku bukan tipe pria idaman, Carissa. Aku tak memiliki apapun selain milik orang tuaku. Aku juga bukan lulusan luar negeri, kegemaranku naik gunung. Kotor-kotoran, aku rasa akan jauh beda dengan dirimu," tuturku panjang lebar. Berusaha merubah sudut pandangnya tentang diriku. "Tapi kamu pria yang apa adanya, dan aku lebih suka yang seperti ini. Daripada yang berpura-pura, lalu saat bersama dalam satu rumah, terikat pernikahan, segala keburukannya akan terbongkar."Carissa begitu santai mengungkapkan perasaannya, tidak seperti kebanyakan wanita yang malu-malu, hanya memberi sinyal dan menunggu pria untuk mengungkapkan perasaan padanya. "Aku sudah menikah, Sa."Mata bening yang dihiasi eyeliner berwarna hitam itu membulat sempurna. Menatap dalam padaku, seperti mencari kejujuran dalam diriku. Lalu beberapa saat kemudian menutup mulutnya dan tert