Tok ... tokk ... took ...."Mas Harsa! Nanang mas, tolong!"Dewi terus menggedor pintu kamar kakaknya khawatir sang kakak sudah tidur karena tidak kunjung membukakan pintu untuknya.Ceklek ...."Kenapa kamu mengetuk pintu kamar mas seperti orang di kejar setan, Dewi?" tanya Harsa pada Dewi. Napas adiknya itu nampak kembang kempis kala akan menjelaskan sesuatu padanya."Nanang, Mas. Nanang!" ucap Dewi. Wanita itu terus menyebut nanangnya sambil menunjuk ke bawah dimana kamar nanangnya berada.Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari adiknya itu Harsa lekas berlari menuruni anak tangga. Pikiran pria itu saat ini sedang berkelana tidak jelas," semoga tidak terjadi hal buruk pada, nanang hamba ya Rob."Sampai di kamar sang Nanang, Harsa mendapati papanya itu tengah menangis terisak dalam mata yang terpejam. Dewi yang lebih tahu kondisi awal nanangnya itu tentu langsung bercerita tanpa diminta di sela kepanikan Harsa membangu
"Ada apa, Mbak?" tanya Galih pada Latifa. "Ini nanang mbak, masuk rumah sakit lagi. Padahal kemarin kata mas Harsa sudah habis kontrol dan sua kondisinya baik."Perempuan itu memang kadang memanggil papa mertuanya nanang kadang papa."Apa sebenarnya sakitnya, mbak?" tanya Galih.Emak Rodiah yang melihat kedua anaknya belum juga memulai sarapan mereka itu langsung menegurnya."Sudah ... sudah. Lebih baik kita doakan saja semoga, pak Yusuf lekas sehat seperti sedia kala.""Aamiinn," ucap Adam, Latifa dan Galih kompak"Sekarang lebih baik kalian sarapan dan lekas berangkat supaya tidak terlambat" saran emak Latifa.Kedua anak dan cucunya itu pun menurut untuk memulai santap pagi mereka."Bunda, besok minggu malam kata bu guru Adam mau tampil, lho," ungkap Adam. Anak sulung Harsa dan Latifa itu ternyata cukup aktif di taman kanak kanak sehingga sering terpilih mewakili sekolah mengikuti berbagai perlombaan."Oya? Memang akan lomba apa, Sayang?" tanya Latifa, menanggapi ungkapan anakny
Tidak banyak berkomentar Latifa lekas berkemas. 'Semenjak menjadi Bos dia jadi nyebelin, sih! Dulu saat di kelas perasaan dia paling damai, tidak banyak berulah.' Latifa menggerutu sambil tanganya bergerak terus mengemas barang pribadi miliknya yang memang tidak seberapa banyak.Entah apa pemicunya Latifa tiba-tiba membedakan kondisi Fadil dahulu saat masih menjadi teman sekelas dan saat ini sebagai CEO di tempatnya bekerja.Yang pasti saat ini Fadil di mata Latifa terlihat pemaksa dan tidak pernah mau dibantah keinginannya.Di ruangan Fadil saat ini tengah menerima telepon dari sang mama yang tinggal di luar negeri. Sang mama berniat ingin berkunjung ke apartemen Fadil membicarakan perjodohan dirinya yang terlampau betah menjomblo itu."Mamah kalo mau jodohkan Fadil lagi mending tidak usah datang, ya. Fadil mau pilih pasangan Fadil sendiri, Mah. Fadil sudah ada target calonya, kok. Nanti jika semua sudah siap Fadil janji secepatnya kabari mamah. Tidak-tidak Fadil akan kenalkan di
Latifa teguh dengan keinginannya. Selain merasa tidak enak dengan sekretaris lama Fadil. Latifa juga ingin belajar tugas seorang sekretaris sebenarnya pada Leni."Baiklah jika, kamu memaksa. Aku pun tidak kuasa menolaknya," goda Fadil. Pria itu enggan berdebat dengan Latifa. Latifa mau menuruti permintaan menggantikan sekretarisnya yang lama saja sudah sangat bersyukur. Fadil tidak ingin Latifa merasa tidak nyaman karena perlakuannya sehingga mencoba menarik ulur.'Gue memang salah nempatin hati sama perempuan bersuami. Tapi mau bagaimana sudah mencoba melupakan justru semakin tertantang memilikinya,' gerutu Fadil, dalam hati. Semua perasaan itu hadir sebab dirinya tahu hubungan Latifa dengan sang suami tengah tidak baik-baik saja saat ini.Akhirnya Fadil mengambil gagang telepon yang ada di mejanya meminta anak buahnya untuk menyiapkan tempat sementara untuk Latifa berada di samping meja kerja Leni."Pak, tolong siapkan meja kerja untuk Bu Latifa di samping meja kerja Bu leni, ya,"
"Bu Latifa, ada perlu dengan saya, Bu Leni," tutur Fadil. Pria itu masih terus melangkahkan kaki untuk mengikis jarak."Maaf, Pak. Kebetulan Bu latifa belum cerita."Ekor mata Leni melirik tajam pada Latifa. Genggaman tangan Leni pada Latifa sedikit ia tarik-tarik menuntut penjelasan."Jadi, bagaimana Bu Latifa? Apakah kita bisa kita pergi sekarang?" tanya Fadil pada Latifa. Pria itu memberi kode dengan mata elangnya untuk melepaskan tautan tangan antara Latifa dna Leni."Maaf, Mba. Siang ini saya lupa harus menemani pak Fadil dulu. Mbak, tidak mengapa jika makan siang sendiri?""Iya, silahkan, Pak di bawa Bu Latifa-nya."'Hih, Mbak Leni. Emang aku barang apa? Main di suruh bawa saja.'Latifa kemudian mengekor Fadil yang lebih dulu meninggalkan jejak menuju lift.Selama di lift keduanya hanya terdiam, sampai saat pintu lift akan terbuka barulah Fadil mengucap," tunggu di depan, saya ambil mobil dulu."Siang ini Fadil memang ingin pergi hanya berdua saja dengan Latifa sehingga dirinya
" Saya suka, Pak." Latifa lanjut menikmati hidangan Laut di hadapannya."Berarti lain waktu wajib dateng ke sini lagi berdua, ya," tutur Harsa. Ia dengan lugas mengutarakan maksud dan niatannya pada Latifa.'Lah, kenapa gue malah bilang suka segala, sih,' gumam Latifa. Hatinya saat ini sedang gelisah karena merasa sangat bersalah pada Harsa."Ini bagian dari pekerjaan kan, Pak?" Latifa bertanya dengan polosnya pada Fadil yang terang-terangan tengah ingin merebut hatinya.Fadil tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan Latifa," jika kamu menganggapnya seperti itu aku pun tidak masalah.""Hah? Maksud Pak Fadil gimana, ya?"Latifa di buat bingung sendiri dengan pertanyaan konyolnya.Meski Fadil sadar Latifa menganggap setiap momen bersamanya adalah bagian dari pekerjaan saja. Nyatanya Fadil tidak pernah mau lebih sakit hati mengakui hati Latifa yang belum berpihak padanya.Akhirnya Fadil memilih mengalihkan fokus Latifa," kita kembali ke kantor, yuk. Kamu sudah selesai makannya, kan?"
"Kamu dari mana, Fa? Pukul sekian baru kembali?" tanya Leni. Wanita itu sampai mencondongkan tubuh ke arah Latifa sambil berbicara setengah berbisik padanya.Ketika Latifa hendak menjawab terdengar suara langkah kaki mendekat. Dua wanita sama generasi itu menoleh ke sumber suara.Latifa dan Fadil tadi saat tiba memang sempat sepakat untuk tidak masuk kantor secara bersamaan."Leni, ke ruangan saya sekarang," titah Fadil."Dia, manggil Leni kebetulan ada yang mau dibahas atau sengaja?" tanya Latifa. Iya melihat kekesalan di wajah Leni yang gagal mendapat jawaban dari ku.*Di resto pinggir pantai tadi Viktor sudah berpisah dengan teteh yang datang ke sana bersamanya.Viktor yang hanya tinggal sendiri itu kembali teringat dengan pertemuan singkat antara dirinya dengan Fadil, tadi. Saat menjadi teman satu kelas dulu Viktor melihat Fadil sebagai Pria dingin penuh pesona. Banyak Gadis di sekolah yang mengejar-ngejar Fadil namun, pria itu terlihat tidak menanggapi satu pun dari mereka.
"Ada yang ingin menyingkirkan aku. Ia menaruh racun pada makanan yang akan aku santap namun, sebelum menyentuh makanan itu aku pergi ke toilet terlebih dahulu untuk mencuci tangan," ungkap sang Wanita pada Harsa."Jangan bilang, suamimu mencicipi lebih dulu makanan itu?" tanya Harsa."Sayangnya tebakan, Kamu benar adanya, Mas. Tidak lama setelah mencoba makanan yang seharusnya untuk aku itu, racun bereaksi. Suamiku jatuh pingsan dengan mulut penuh busa."Deg ...Harsa kembali teringat Latifa istrinya. Jika saat itu Latifa tidak mendesak untuk pulang ke rumah orang tuanya entah hal buruk apa yang akan kembali di alami. Mungkin kenyataan dirinya telah di fitnah juga belum pasti akan langsung terbongkar jika Latifa tidak nekat meminta pulang."Boleh aku ikut menjenguk, Suamimu?" tanya Harsa pada sang wanita. Entah mengapa Harsa sangat ingin ikut menjenguk suami sang Wanita yang baru di kenal itu."Tentu boleh. Nanti mengaku saja sebagai salah satu kerabat suamiku agar keluarga memberi
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok