Seperti mendapat mainan baru Bryan dan Selo Ardi secara bergantian memberi pukulan kepada Zachary yang sudah tidak bisa lari lagi. Setelah merasa puas, tatap mata Bryan memindai seisi ruangan, dia belum menemukan keberadaan Victoria. Bryan segera berlari keluar, mencoba mencari di kamar yang lain.Sementara itu, dengan amarah yang mengelegak Erick langsung menarik tubuh Davianna yang masih berada di atas Ageng. Rasa kecewa Erick terhadap Davianna semakin membumbung saat melihat jika ternyata Ageng dalam keadaan tidak sadar.“Aku benar-benar tidak percaya, perempuan secerdas dirimu bisa melakukan hal sekonyol dan sehina ini,” ucap Erick penuh amarah dan tatap mata jijik ke tubuh molek Davianna yang hanya dibalut dengan lingerie warna merah menyala.Saking marah dan jengkelnya Erick, dia juga ingin melampiaskan amarahnya. Hingga dia pun ingin mendaratkan tangannya kepada Davianna, tanpa menyadari jika yang dia lawan adalah seorang perempuan.“Erick! Jangan menambah masalah lagi,” seru C
"Kak, mereka ... mereka mencoba ..." isak Victoria, memeluk tubuh Bryan semakin erat."Ssh, Vicky. Kamu aman sekarang. Aku di sini," bisik Bryan, mengusap rambut Victoria dengan lembut berharap mampu memberi ketenangan. "Kita harus keluar dari sini."Tangis Victoria justru semakin menjadi, dan juga dia semakin menenggelamkan kepalanya dalam dada bidang Bryan. Gadis belia itu merasa nyaman di sana. Penuh harap, Victoria mendamba ini akan menjadi pelabuhan terakhir hatinya.“Kau baik-baik saja,” tanya Bryan yang terlihat semakin khawatir dengan keadaan Victoria, apalagi gadis itu baru saja menggelengkan kepala. “Kau bisa jalan?” tanya Ageng lagi untuk memastikan.Tidak ada jawaban. Merasa tidak nyaman dengan kondisi ruangan yang sangat kotor dan pengap, Bryan pun berinisiatif untuk mengangkat tubuh Victoria, menggendongnya ala bridal style. Victoria pun langsung mengalungkan kedua tangannya ke leher Bryan, sambil menikmati wajah tampan yang sudah membuatnya kasmaran dan patah hati secar
Meskipun sejak semalam sudah mendapat kabar tentang keadaan Ageng yang harus menjalani perawatan di rumah sakit, tetapi baru pagi harinya Queen boleh untuk mengunjungi Ageng.Dengan di antar Pak Sutar, Queen mendatangi rumah sakit yang letaknya di pinggiran kota, cukup jauh dari kediaman keluarga Wardana. Baru saja mobil berhenti di area parkir, Queen bergegas keluar dan berlari memasuki rumah sakit.“Mbak Queen!” teriak Pak Sutar yang merasa khawatir melihat Queen lari. Apa lagi perutnya sekarang sudah mulai menunjukkan kehamilannya. “Kalau sampai ada apa-apa sama Mbak Queen, aku yang disalahin.” Pak Sutar hanya bisa menggelengkan kepala, sambil berdoa semoga semua baik-baik saja.Seolah lupa jika saat ini dirinya sedang dalam keadaan hamil, Queen berlari menyusuri lorong rumah sakit agar bisa sesegera mungkin sampai di ruang perawatan Ageng. Queen sudah tidak sabar ingin mengetahui keadaan suaminya.Queen membuka pintu ruangan, dilihatnya Ageng yang masih dalam keadaan terlelap di a
Ageng mengerutkan alisnya, mencoba mengingat lebih jelas tentang kejadian yang membuatnya terkapar di rumah sakit. Tetapi, setiap kali dia berusaha mengingat, hanya rasa sakit dan teka teki yang tidak terjawab.“Siapa … yang telah melakukan ini, Queen?” tanya Ageng dengan suara terbata-bata. Ingatan Ageng tertuju saat dia merasakan ada orang yang memukulnya dari belakang.Queen menggeleng lemah. Sampai saat ini, dia belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya. Ayah mertuanya masih diam dan tidak ada lagi yang bisa dia tanyai. Bahkan Victoria pun langsung di amankan oleh Mike, tanpa memberi penjelasan apa pun kepadanya.“Nanti kita tanya sama papa,” jawab Queen, yang juga ingin mengetahui kejadian sebenarnya. Sesuatu yang sampai saat ini masih dirahasiakan oleh mertuanya.Arya Suta memasuki ruang perawatan Ageng bersama dokter dan beberapa tenaga medis yang menjadi asistennya. Dokter melakukan pemeriksaan kepada Ageng secara menyeluruh, memastikan bahwa Ageng dalam kondi
Setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif di rumah sakit, akhirnya Ageng diizinkan untuk pulang. Selama ini dia menahan rasa ingin tahunya, dengan tetap fokus pada pemulihannya tubuhnya.Namun, kini dia sudah berada di rumah. Setelah menyelesaikan makan malam. Ageng pun langsung mengajak sang papa untuk membicarakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ageng sudah tidak bisa menahan rasa penasaran di hatinya.Arya Suta menatap Queen yang terlihat sedang asik berbincang dengan Laras. Hanya dengan kode tatap mata, Arya Suta bergegas berdiri dan diikuti oleh Ageng menuju ke ruang kerja.Ageng duduk dengan tegang di ruang kerja ayahnya, Arya Suta. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya, penuh tanda tanya dan prasangka. Ia menatap wajah ayahnya, berharap mendapatkan penjelasan yang lebih rinci."Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?" tanya Ageng, dengan suara yang terdengar penuh dengan rasa penasaran yang tak tertahankan.Arya Suta menghela napas panjang sebelum memulai penjelasannya.
Kejahatan itu dilakukan secara bersama-sama, tetapi saat ini yang mendekam dalam tahanan hanya Rey seorang. Semantara yang lainnya bisa bebas dengan jaminan orang-orang terdekat.Davianna dijamin oleh kedua orang tuanya, Zachary pun dijamin oleh Mike, adiknya. Sementara Victoria, di sini justru dianggap sebagai korban. Bekas luka dan lebam di wajahnya membuatnya dianggap dalam tekanan saat menghubungi Queen. Dan kini adik tirinya itu justru dalam perlindungan dari pihak yang berwajib.Sedangkan Rey, dia harus menghadapi sendiri masalah ini. Istrinya benar-benar tidak berguna, satu keahliannya hanya berbelanja saja. Sebenarnya Rey masih memiliki orang yang bisa menjaminnya, Queen. Tetapi dia tidak bisa menghubungi Queen, semua akses tertutup untuknya. Dan kalau pun bisa menghubungi adiknya tersebut, belum tentu juga Queen akan bersedia menolongnya, setelah semua yang dia lakukan.Kini Rey merana sendiri, tidak ada bantuan, tidak ada dukungan. Rey duduk sendirian di dalam sel tahanannya
“Semudah itu mereka lepas?” Ageng tampak geram mendengar informasi dari Cyrus.Ageng menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya. Kabar bahwa para pelaku bisa bebas begitu saja benar-benar menghancurkan ketenangannya. Baginya, keselamatan Queen adalah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti wanita yang sangat dia cintai itu. Namun, mendengar apa yang dikatakan Cyrus, Ageng merasa perlu berpikir lebih strategis daripada sekadar marah-marah.“Lu punya uang, lu punya kuasa. Tampaknya itu yang menjadi prinsip mereka,” sahut Cyrus mencoba memberi gambaran keadaan saat ini."Jadi, mereka pikir mereka bisa lolos begitu saja hanya karena uang?" tanya Ageng, matanya menyipit, mencoba menahan amarah.Cyrus mengangguk pelan. "Ya, itulah realitas yang kita hadapi. Saya tidak mengatakan Jika kamu tidak punya uang, tapi jika kita menggunakan cara yang sama, ambisi dan obsesi kita bisa dimanfaatkan oleh mereka yang memperjualbelikan hukum.
Di dalam kamar yang dipenuhi cahaya temaram dari lampu yang berada di nakas, suasana terasa tenang tapi penuh ketegangan. Tirai tebal menutup rapat jendela, memisahkan mereka dari hiruk-pikuk dunia luar. Hanya ada kehangatan dan kedekatan yang terasa di antara Ageng dan Queen. Namun juga ada sesuatu yang berat untuk diungkap, sebuah kebenaran yang penuh dengan kepahitan karena kebencian dan dendam.Ageng duduk di tepi ranjang, menatap Queen yang berbaring dengan nyaman di sampingnya. Perut Queen yang semakin membesar menandakan kehamilan yang semakin matang, namun raut wajahnya menyiratkan keresahan yang tak bisa disembunyikan. Ageng tahu, dia tidak bisa lagi menunda pembicaraan ini.“Habis ngomongin apa saja sama Cyrus?” Queen sebenarnya menaruh curiga yang sangat besar kepada semua orang, termasuk Ageng dan juga kedua mertuanya. Dia merasa ada sesuatu hal yang sangat penting yang mereka sembunyikan dari dirinya.“Sepertinya sangat serius,” sambung Queen yang terlihat sangat penasara
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l