Semua urusan tentang investasi sudah Queen selesaikan. Yang Queen rasa paling merepotkan adalah saat dia harus memasuki lima bank yang berbeda untuk mendepositokan uangnya seperti arahan dari Naya. Berurusan dengan banyak berkas sungguh membuat kepalanya menjadi pusing. Namun, bagi Queen ini lebih baik, daripada dia menghambur-hamburkan uangnya, karena dia tidak tahu bagaimana nasib hidup kedepannya. Apalagi kalau Ageng sudah benar-benar menceraikan dirinya.Memasuki apartemen dengan keadaan lampu yang sudah menyala, membuat Queen yakin jika Ageng sudah lebih dahulu pulang. Tidak ada hal penting yang harus dia bicarakan dengan lelaki yang bergelar suami itu, sehingga membuat Queen langsung menuju ke kamarnya. Seperti biasanya setelah membersihkan diri dia akan mengistirahatkan tubuhnya.Istirahat tenang Queen mulai terganggu saat berulang kali panggilan meraung-raung di ponselnya. Sebenarnya Queen ingin mengabaikannya karena dari nada deringnya sepertinya bukan nada dering khusus bagi
Suara kecapan dan desahan terasa masih menyapa gendang telinga Ageng. Bahkan bayang-bayang dua orang yang berdiri bermesraan di depan pintu seakan sulit hilang dari ingatan Ageng. Di bawah guyuran shower, Ageng seolah sedang menghukum dirinya yang sempat mabuk, hingga tidak tahu apa yang terjadi semalam dengan Queen. Suara desahan merdu Queen benar-benar mengganggu pikirannya sampai saat ini. "Mau kemana?" tanya Ageng dengan nada ketus saat melihat Queen yang sudah berpakaian rapi. "Kerja, cutiku sudah habis," jawab Queen apa adanya. Bos tempat kerja Queen memberi kelonggaran cuti panjang. Kebaikan hati ini tentu bukan tanpa sebab, jiwa bisnis yang sang bos menganggap ini adalah bentuk investasi. Berharap kelak Queen bisa merayu Ageng untuk menanam sedikit modal pada bisnis percetakan mereka yang saat ini harus bersaing ketat dengan beberapa perusahaan baru yang sudah menggunakan teknik cetak dengan teknologi yang modern. "Apa yang terjadi tadi malam?" Ageng langsung menghadang l
“Queen tidak mengantarmu?” tanya Arum yang merasa aneh saat melihat adiknya pergi tanpa diantar oleh sang istri, padahal mereka masih pengantin baru yang sedang hangat-hangatnya.“Bisa-bisa nggak jadi berangkat kalau dia ikut antar ke bandara,” jawab Ageng sambil tertawa. “Tadi saja dia sudah nangis-nangis nggak mau ditinggal sendiri.” Dengan terpaksa Ageng harus berbohong kepada Arum untuk lebih meyakinkan sandiwaranya.“Kamu nggak sayang ninggalin dia sendiri? Kalian masih pengantin baru lho?”Dalam benak Arum sebenarnya berpikir, mengapa bukan Ageng dan Queen yang saat ini pergi ke Kalimantan sekaligus bulan madu ke dua. Sementara itu Danu tetap mengurus proyek-proyek yang selama ini sudah menjadi tanggung tawabnya.Sebenarnya Arum sangat kesal dengan keputusan Ageng yang secara tiba-tiba mengirim Danu ke Kalimantan. Ardan yang selama ini begitu dekat dengan sang papa sering bertanya dan sangat merindukannya. Apalagi sinyal yang masih sangat terkendala membuat Ardan tidak bisa deng
“Mantan pacar?” tanya Bryan di sela-sela menikmati potongan demi potongan daging steak di hadapannya.“Bukan, dia anak pemilik restaurant ini,” jawab Queen yang terlihat tidak ambil pusing dengan pertanyaan yang baru saja Bryan lontarkan. Bahkan dia terlihat tetap lahap menikmati steak tenderloin kesukaannya.“Wow, tidak menyangka saja jika ternyata kamu kenal dengan salah satu anak dari Surya Wijaya.”Sebagai calon penerus perusahaan keluarga, Bryan pun sudah diperkenalkan dengan begitu banyak relasi dan juga rekanan dari sang papa, dan salah satunya Surya Wijaya. Yang dia tahu, restaurant steak tempat mereka makan sekarang adalah usaha yang dikelola oleh sang istri, bukan bisnis utama dari Surya Wijaya.“Sepertinya dia tadi sangat patah hati saat mendengar jika kau sudah menikah.” Masih lekat dalam ingatan Bryan bagaimana ekspresi wajah Mike yang terlihat terluka dan kecewa.“Ya nggak mungkin lah!” sanggah Queen yang langsung menghentikan makannya. “Kami tidak punya hubungan apa-apa
Ageng memberi kesempatan kepada sang kakak untuk menikmati kebersamaan bersama sang suami dan putra semata wayangnya. Sehingga saat ini dia yang langsung menuju ke tempat proyek untuk melakukan control dan pengawasan. Selain itu dia bisa lebih puas dalam menganalisa hasil laporan dari orang-orang kepercayaan yang telah menyelidiki perempuan yang tinggal di dekat apartemen Davianna.“Setelah sumber dana aku hentikan, kini kau tidak bisa menghidupi simpananmu lagi,” gumam Ageng saat mengetahui jika perempuan itu sudah tidak tinggal di apartemen tersebut lagi. “Kau harus mengganti setiap rupiah uang dari keluarga Wardana yang kau keluarkan untuk menghidupi simpananmu itu.”Ageng kembali menyimpan hasil laporan yang sudah dia dapatkan sejak sebelum keberangkatannya ke Kalimantan bersama sang kakak. Ageng berharap dengan hanya berbicara berdua, nantinya Danu, bisa berbicara jujur tentang hubungannya dengan perempuan itu. Hingga Ageng bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk sang kakak.
Queen sungguh tidak menduga jika dia akan diajak ke sebuah butik ternama. Butik yang selama ini hanya menyediakan gaun pesta dan gaun malam dengan harga yang cukup fantastis.“Ageng belum memberi tahumu jika kalian harus menghadiri acara penting minggu depan?” tanya Laras sambil memilih-milih model terbaik yang dia anggap paling pas di tubuh mungil menantunya.“Belum, Ma!” jawab singkat Queen. Sejak keberangkatan Ageng ke Kalimantan, mereka sangat jarang berkomunikasi. “Mungkin karena sinyal yang kurang bagus, jadi A … Mas Ageng belum memberi tahu apa-apa.”“Bagaimana menurutmu?” tanya Laras sambil menempelkan sebuah gaun malam mewah di tubuh Queen.“Apa tidak berlebihan, Ma?”“Tidak ada kata berlebihan untuk keluarga Wardana,” sahut Laras yang terlihat sangat puas dengan gaun pilihannya.Queen mematung menatap gaun malam tersebut dari pantulan bayangan di cermin. Bukan tentang harga yang membuat Queen sepertinya enggan untuk menggenakan busana tersebut, tetapi dia merasa tidak sesuai
Tidak ada yang salah, Ageng sangat yakin dengan perasaan saat ini jika dia memang benar-benar merindukan harum tubuh Queen. Namun, melihat reaksi penolakan yang diberikan oleh Queen tentu membuat Ageng harus bersandiwara di hadapan gadis yang telah dia nikahi tersebut. Tentu Ageng tidak ingin dipermalukan oleh Queen jika gadis itu sampai tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini.“Sesusah itu sinyal di sana?” tanya Queen dengan tatap mata memelas tertuju ke arah Ageng. “Jadi kau juga tidak bisa menghubungi Davi dari sana?” tanya Queen lagi seolah ingin mengungkapkan rasa turut prihatin kepada Ageng yang tidak bisa melepas rindu kepada sang kekasih.“Nggak juga sih, hanya terlalu sibuk saja, jadi tidak sempat menghubungi siapa-siapa. Termasuk untuk kasih kabar ke kamu kalau ada undangan gala dinner,” ucap Ageng sambil menyeruput kopi buatan Queen.“Kartu kreditku masih kamu bawa, kan?” tanya Ageng saat bangkit dari duduknya.“Masih, aku ambilkan dulu,” jawab Queen yang menduga jika Age
Ageng langsung membuang muka saat melihat Bryan yang datang menghampiri. Apalagi saat dia melihat senyum lebar Bryan yang terlihat sangat bahagia karena akan bertemu dengan Queen.“Aku harap kau tidak kecentilan di sini!” Meskipun berbisik, tetapi tegas Ageng memberi peringatan kepada Queen. “Bagaimana pun kau harus tetap menjaga kehormatan keluarga Wardana.”“Kau tidak perlu khawatir,” sahut Queen dengan tetap memasang senyum indah di bibirnya.“Satu hal lagi yang harus kau ketahui, Mama punya banyak mata-mata untuk mengawasimu.”Queen tentu sadar akan hal itu, memasuki keluarga dari golongan atas tentu ada banyak konsekuensi logis yang harus Queen terima, termasuk tidak bisa sebebas dan semerdeka dahulu lagi. Jangankan di luar, di apartemen pun Queen yakin jika Ageng memasang banyak CCTV di sana.“Aku tahu, untuk bisa mendapatkan yang kakap, aku juga harus bisa menunjukkan tindak tanduk yang berkelas. Tidak bisa dengan sikap grasak grusuk dan murahan.” Queen mengakhiri kalimatnya de
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l