“Sejauh ini pengobatan yang telah dilakukan oleh Rania sudah menunjukkan perkembangan yang cukup bagus.” Surya Wijaya menghela napas dalam-dalam, terlihat ada beban yang begitu berat menghimpit dadanya. “Saya yakin ini bukan karma, karena jika ini karma … seharusnya saya yang menderita penyakit ini, karena saya yang bersalah, saya yang berdosa.”Surya Wijaya yang biasanya tegas dan berwibawa kini terlihat sangat lemah dan rapuh. Sakit yang diderita oleh Rania terasa bagai pukulan berat. Sejak awal pertemuan, sejak dia merasakan cinta yang begitu mendalam kepada Rania, hanya kebahagiaan yang ingin dia persembahkan untuk wanita yang dia cintai tersebut. Tetapi sampai saat ini hanya luka dan penderitaan yang bisa dia berikan.Selama ini Surya Wijaya mengira dengan harta melimpah yang dia berikan kepada sang istri akan membuatnya bahagia. Tetapi tampaknya kerinduan yang mendalam kepada kedua anak yang dia lahirkan dari pernikahan terdahulu menjadi beban dan luka yang Rania pendam sendiri.
Tidak ada puasnya, seolah ingin mengulangi lagi dan lagi. Seandainya tidak mengingat jika saat ini telah tumbuh janin kecil buah hati mereka, mungkin Arum dan Danu masih melanjutkan pergumulan panas mereka."Aku takut, jika tiba-tiba Rahma datang lagi." Masih terekam jelas dalam ingatan Arum saat kedatangan Rahma, saat itu dia dan Danu baru saja memadu kasih, melepas kerinduan setelah Danu kembali dari Kalimantan.Danu semakin mempererat pelukannya, seolah jika longgar sedikit saja, Arum akan kembali meninggalkannya. Berulang kali dia mencium punggung mulus sang istri, tidak bisa dipungkiri jika dia juga merasakan ketakutan yang sama."Rasanya tidak mungkin dia datang ke sini," sahut Danu berusaha meyakinkan Arum. Meskipun dirinya sendiri tahu jika Rahma memiliki sumber uang yang sangat melimpah. "Lupakan Rahma, aku akan menyelesaikan semua masalah dengannya.""Bukan hanya papa dan Ageng yang menghubungiku untuk memberi penjelasan tentang Rahma tapi Mas Sel juga ikut-ikutan memberi pe
Surya Wijaya memandang Ari Nugraha dengan serius, pria paruh baya itu mengerutkan dahinya hingga membuat kedua alisnya hampir beradu."Jadi, Queen sudah memilihmu untuk menjadi pengacaranya?" tanya Surya Wijaya dengan suara yang berat dan penuh tekanan. Mereka duduk di bangku taman yang dikelilingi bunga-bunga yang bermekaran, suasana asri dan sejuk terasa kontras dengan topik percakapan mereka yang serius dan berat.Ari Nugraha, menatap balik Surya Wijaya dengan tenang. Pengacara muda yang juga merupakan sepupu Queen itu meletakkan kopi panas yang baru saja dia sesap."Sebenarnya saya mendampingi Queen lebih sebagai keluarga, daripada pengacara," jawab Ari Nugraha, suaranya terdengar lembut namun tegas. "Karena saya rasa sepertinya perceraian ini tidak akan pernah terjadi." Bukan hanya dugaan tetapi itulah harapan Ari Nugraha.Surya Wijaya terlihat kaget mendengar pernyataan Ari Nugraha. Tentu hal ini tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Meskipun dia melakukan semua ini untuk R
Rania harus menelan rasa kecewa saat Queen bersikap dingin saat mengiring kepulangannya. Sebenarnya Rania ingin lebih lama lagi menikmati waktu bersama Queen, tetapi dia harus segera kembali untuk melanjutkan pengobatannya.Sangat di luar dugaan, kebersamaan yang diharapkan akan mampu membuat hubungan antara ibu dan anak membaik, justru terasa semakin mempertebal jarak tak kasat mata di antara Queen dan Rania. Sampai saat ini pun Rania belum mengetahui penyebab perubahan sikap Queen yang terasa semakin menjauh.Perjalanan pulang terasa panjang dan sepi bagi Rania. Sopir pribadi yang sudah lama bekerja kepada mereka menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, karena mengetahui Kesehatan Rania yang kurang baik.Selama perjalanan Rania hanya diam, mencoba mengingat di mana lagi letak kesalahannya, hingga membuat Queen kembali bersikap dingin kepadanya. Padahal setelah mengetahui penyakit yang dideritanya saat ini Queen sudah menunjukkan perhatiannya. Rania memandang keluar jendela tanpa b
Sejak kepulangannya yang berpamitan hanya dengan secarik kertas, Ageng belum sekali pun menghubunginya, padahal Queen sudah membuka blokir pada nomor ponsel lelaki yang masih sah berstatus sebagai suami tersebut. Mungkin karena kesibukkannya Ageng jadi tidak sempat untuk menghubunginya, sedangkan untuk lebih dahulu menghubungi Queen merasa malu dan gengsi.Pada saat Queen sangat menantikan panggilan dari Ageng, justru Mike yang menghubungi. Sudah sejak tadi ponsel Queen meraung-raung berharap untuk segera diangkat tetapi Queen masih terlihat enggan. Ingin rasanya Queen mengabaikan panggilan dari Mike, tetapi sisi hatinya yang lain juga ingin mengetahui keadaan sang mama saat ini.“Halo!” Meskipun dengan berat hati, akhirnya Queen menjawab panggilan dari Mike.“Halo Queen,” jawab Mike melalui sambungan ponselnya. “Ternyata sudah lama kita tidak bertemu, kalau tidak salah sejak kamu resign dari percetakan waktu itu.”Queen menarik napas dalam-dalam berusaha untuk menenangkan diri.“Baga
Setelah perpisahan kedua orang tuanya, Queen merasa tidak percaya akan cinta dan pernikahan. Jika dia bisa menerima perjodohan dengan Ageng tanpa berpikir panjang itu semata hanya karena masalah materi. Queen merasa dengan menikah akan ada seseorang yang akan bertanggung jawab dan memenuhi segala kebutuhannya. Tidak harus bermewah-mewah, setidaknya dia tidak harus memikirkan sendiri bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup.Kenyataan jika Ageng menikahinya dengan maksud tujuan hanya untuk melancarkan impian dan cita-cita Davianna, semakin membuat Queen apatis segala urusan cinta dan pernikahan. Bagi Queen, selama kau punya uang, semua bisa diatur.Sekarang atau nanti perpisahan dengan Ageng hanya masalah waktu waktu saja. Untuk saat ini Queen yang bersikeras melepas Ageng dengan segala alasan dan dalih yang didukung bukti-bukti. Tetapi jika sampai Queen tetap bertahan, kelak Ageng yang akan melepaskan dirinya setelah kedatangan Davianna.Dalam situasi yang seperti ini seharusnya keh
“Jadi selama ini Ageng tahu tentang Rahma? Lalu mengapa dia tidak langsung memberitahukannya padaku?” Arum mengetatkan rahangnya merasa telah dibohongi dan dikhianati oleh adik kandungnya sendiri. Arum menatap Danu dengan mata penuh pertanyaan. “Mengapa Ageng harus menyembunyikan semuanya dariku? Aku berhak tahu sejak awal, bukan?”“Ageng ingin mencari bukti terlebih dahulu, dia tidak ingin gegabah dalam bertindak. Itu sebabnya dia mengirimku ke Kalimantan, agar bisa lebih leluasa dalam menyelidiki Rahma.”“Jadi dia sengaja mengirim kamu ke Kalimantan?” Bukannya tenang, tetapi hati Arum justru semakin memanas.“Ageng melakukan semua ini untukmu.” Danu mencoba memberi penjelasan kepada Arum, sekaligus meredam amarah yang sudah mulai tampak membumbung.“Dia tidak ingin menyakitimu, itu sebabnya dia mencari bukti terlebih dahulu sebelum menyampaikan semua ini padamu,” sambung Danu berusaha meyakinkan sang istri.“Aku rasa Ageng harus mendapat hukuman atas apa yang telah dia lakukan padak
Tidak ingin mengambil risiko yang bisa membahayakan keadaan istri dan calon anaknya, sebelum melakukan penerbangan Danu membawa Arum ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dan konsultasi. Danu ingin memastikan jika penerbangan akan aman untuk calon anak kedua mereka.Rasa khawatir itu tidak bisa hilang begitu saja di hati Danu. Seandainya sampai ada hal buruk yang terjadi dengan kandungan sang istri, Danu tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri saat bertemu dengan Arum setelah perpisahan mereka.“Aku sudah bilang kalau semua baik-baik saja. Dia masih menyatu dengan tubuhku, dan saat ini aku merasakan tubuhku baik-baik saja.” Arum meyakinkan Danu sesaat setelah keduanya keluar dari rumah sakit.“Kau kira aku bisa tenang setelah Om Adi mengatakan jika kau sering mengalami kram dan mual hebat?” Ini bukan pertanyaan, tetapi Danu sedang mengungkapkan isi hatinya yang berisi kekhawatiran kepada Arum yang sedang hamil muda.“Dia hanya kangen sama papanya,”
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l