Tidak ingin mengambil risiko yang bisa membahayakan keadaan istri dan calon anaknya, sebelum melakukan penerbangan Danu membawa Arum ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dan konsultasi. Danu ingin memastikan jika penerbangan akan aman untuk calon anak kedua mereka.Rasa khawatir itu tidak bisa hilang begitu saja di hati Danu. Seandainya sampai ada hal buruk yang terjadi dengan kandungan sang istri, Danu tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri saat bertemu dengan Arum setelah perpisahan mereka.“Aku sudah bilang kalau semua baik-baik saja. Dia masih menyatu dengan tubuhku, dan saat ini aku merasakan tubuhku baik-baik saja.” Arum meyakinkan Danu sesaat setelah keduanya keluar dari rumah sakit.“Kau kira aku bisa tenang setelah Om Adi mengatakan jika kau sering mengalami kram dan mual hebat?” Ini bukan pertanyaan, tetapi Danu sedang mengungkapkan isi hatinya yang berisi kekhawatiran kepada Arum yang sedang hamil muda.“Dia hanya kangen sama papanya,”
Arum dan Danu melangkah mantap memasuki area bandara, dengan perasaan campur aduk antara kebahagiaan dan kekhawatiran. Tidak banyak barang yang mereka bawa, bahkan oleh-oleh untuk Ardan pun terkesan seadanya. Pasangan suami istri itu tidak ingin ada drama dengan instansi yang saat ini sedang menjadi sorotan publik karena tingginya pajak untuk barang dari luar negeri.Senyum merekah di bibir Arum saat kakinya memasuki area bandara. Ya, sebentar lagi dia akan bertemu kembali dengan Ardan, putra pertamanya. Kabar kehamilannya diharapkan akan menjadi oleh-oleh yang paling berharga, karena itu artinya sebentar lagi Ardan akan memiliki adik.Berbeda dengan Arum yang penuh antusiasme, Danu masih terus memikirkan kondisi kehamilan sang istri. Perjalanan panjang yang bisa memakan waktu hingga tujuh belas hingga dua puluh jam, karena mereka harus transit di Singapura terlebih dahulu, tentu akan menguras tenaga Arum yang sedang hamil muda.“Aku harap kau bisa langsung istirahat setibanya di Indo
Mobil yang membawa Arum dan Danu sudah tiba di halaman rumah keluarga Wardana. Kebahagiaan dan kerinduan menjadi satu membuncah di hati pasangan suami istri tersebut. Sudah tentu Ardan lah tujuan utama mereka. Tetapi keduanya tidak mungkin mengabaikan Arya Suta dan Laras yang selama ini selalu memberi dukungan dan bantuan agar rumah tangga mereka tetap utuh.Di teras rumah, tampak Arya Suta dan Laras sudah menyambut kedatangan mereka dengan senyum yang merekah. Sementara itu, Ardan berdiri di depan oma dan opanya, terlihat sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan kedua orang tuanya. Begitu mobil berhenti, Ardan berlari menghampiri Arum dan Danu yang baru saja turun.Arum berjongkok dan merentangkan tangan, siap menyambut pelukan putranya. “Ardan, sayang! Mama kangen sekali sama kamu!” Ardan memeluk sang mama dengan begitu erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Arum saat ia merasakan kehangatan pelukan putranya.Rasa bisa dipungkiri jika ra
Suasana makan malam di rumah keluarga Wardana awalnya terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Mereka baru saja menyambut kepulangan Arum dan Danu dari London, yang akhirnya kembali bersama demi anak-anak mereka. Namun, momen bahagia ini perlahan berubah tegang saat Ageng, mulai berbicara tentang rencananya untuk berlibur."Mau liburan atau buang waktu untuk menemui Queen?" Pertanyaan Laras terdengar sangat sinis dan ketus. Bukan hanya ingin menunjukkan rasa tidak percayanya kepada Ageng tetapi juga hilanganya dukungan yang selama ini diberikan pada pernikahan putranya tersebut.Sampai saat ini Laras belum bisa memaafkan Queen yang telah menggunakan IUD selama pernikahannya dengan Ageng. Laras merasa apa yang dilakukan oleh menantunya tersebut adalah penghinaan besar kepada kelarga Wardana, seolah benih mereka tidak layak untuk tumbuh dan lahir sebagai manusia.Mendapati tanggapan sang mama yang terlihat secara terang-terangan sudah tidak mendukung pernikahannya dengan Queen lagi membuat
Beginilah nasib pekerja paruh waktu seperti Queen. Beberapa waktu yang lalu, dia mendapatkan banyak pekerjaan secara online hingga bisa menjadi lahan pelarian dari masalah yang sedang dia hadapi. Namun, setelah semua pekerjaan sudah dia selesaikan tepat waktu, dan tidak ada pekerjaan lagi, Queen menjadi pengangguran kembali.Uang bukanlah masalah bagi Queen. Tanpa bekerja pun, dia sudah memiliki banyak uang dari berbagai investasi miliknya. Namun, karena dirinya yang terbiasa sibuk dan bekerja, saat-saat seperti ini justru terasa sangat menyiksa. Tidak tahu apa yang harus dikerjakan, pikirannya dipenuhi oleh Ageng saja, suaminya yang sedang berada jauh darinya.Sebenarnya sejak masih bekerja di percetakan, Queen juga menerima pekerjaan secara online untuk menambah penghasilannya. Dahulu Queen bekerja paruh waktu tujuannya agar bisa memiliki tabungan, sedangkan penghasilan dari bekerja di percetakan bisa dia gunakan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.Sampai saat ini beberapa website
Setelah mendengar nasehat dari sang nenek, hati Queen akhirnya terketuk juga. Bukan mengharap keburukan terjadi pada sang mama, tetapi kemungkinan buruk itu tetap ada. Dan di sinilah Queen saat ini. Taksi yang dia pesan dari rumah Kartika, telah memasuki area parkir rumah sakit di mana Rania menjalani pengobatan.Begitu turun dari taksi, Queen merasakan campuran perasaan yang sulit diungkapkan. Ada kekhawatiran, rasa tidak nyaman, tetapi dia tetap berharapan bahwa kondisi sang mama akan semakin membaik.Sekelebat bayangan masa lalu menghampiri benak Queen, saat keluarganya masih utuh dan hidup bahagia. Rania adalah sosok mama yang sangat menyayangi anak-anaknya, dia mendedikasikan waktu dan hidupnya hanya untuk keluarga. Sampai saat ini Queen masih mengingat masa-masa itu, dan kadang timbul dalam hatinya ingin mengulangnya kembali. Queen sadar semua itu tidak lah mungkin terjadi, waktu tidak bisa diputar ulang, dan saat ini mereka telah memiliki kehidupan masing-masing.Dari dalam rum
Seandainya tidak mengingat jika keadaan sang mama saat ini sedang sakit, ingin rasanya Queen segera meninggalkan ruang tersebut. Benak yang sebelumnya Queen paksa hanya mengingat segala kebaikan Rania, kini harus kembali teringat dengan pilihan sang mama yang memilih meninggalkan dirinya sejak masih kecil.“Yang terpenting saat ini adalah kesehatan mama. Jadi … mama jangan terlalu membebani pikiran mama dengan hal-hal yang tidak penting.” Sebisa mungkin Mike mencoba untuk mengalihkan tema pembicaraan Rania.Tampaknya usaha Mike tidaklah mudah. Rania yang sedang bahagia atas kedatangan Queen, begitu terlena dan menjadi kurang peka dengan situasi yang ada.“Terima kasih atas perhatian kalian. Mama ingin memastikan jika kalian bisa saling menerima dan memberi dukungan, terutama … setelah mama tiada nanti,” ucap Rania dengan suara lirih yang membuat Suasana tiba-tiba menjadi sendu.Kata demi kata yang terlontar dari mulut Rania membuat Queen merasa tersudut. Bagaimana tidak, Rania terkesa
“Terima kasih,” ucap Queen sambil melepas sabuk pengaman saat mobil mnike sudah berhenti di depan hotel.Mike menatap Queen yang terlihat sedang sibuk sendiri. Ingin rasanya dia mendekat dan menahan agar Queen tidak keluar dari mobilnya. Pikiran jahat yang terlintas dalam benaknya saat ini adalah membawa kabur Queen ke apartemennya, atau mungkin ke tempat lain di mana tidak akan ada orang yang bisa menemukan keberadaan mereka.“Apa kau menyayangi mama?”Pertanyaan yang Mike lontarkan berhasil menahan Queen untuk tidak segera keluar dari mobilnya. Queen menatap lekat wajah Mike, berusaha untuk mengetahui arah pembicaraan pria yang duduk di sampinnya.“Saya bisa memaklumi jika sampai saat ini kamu masih marah pada mama, dan belum bisa memaafkan ….”“Dengan kedatangan saya saat ini, itu artinya saya sudah memaafkan mama,” sergah Queen dengan nada tegas. “Selama kami berpisah, kami sudah memiliki kehidupan masing-masing. Jadi … bukankah akan lebih baik jika kita tetap menghargai kehidupan
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l