"Karin. Aku ada di gang depan." Pesan yang Frans kirim kepada sang istri."Iya, sebentar," balas Karin. Saat ini memang dia sudah siap mau pergi. Setelah membalas pesan dari sang suami, dia keluar dari kamar berjalan sambil menautkan tali tas selempangnya di atas pundak."Udah mau berangkat?" tanya sang ibu, Siti. Saat ini beliau sedang di dapur, merapikan piring di dalam rak.Sambil berjalan menghampiri Siti, Karin menjawab dengan jawaban bohong tentunya. "Iya, Bu. Si bos kewalahan pesenan.""Ya udah, hati-hati, ya." Siti berdiri, mereka berdua berjalan menuju pintu utama. Dia kembali mengajukan pertanyaan sambil berjalan. "Kapan ke sini lagi?""Mudah-mudahan setiap minggu aku bisa pulang." Karin melingkarkan tangan pada lengan Siti."Kalau bisa jangan sampai per dua minggu deh pulangnya, kasian Rafa.""Karin usahakan ya, Bu.""Iya, Rin."Sampai di teras rumah, Rafa yang sedang berlari menghampiri Karin, lalu memeluk pinggangnya. "Ibu. Mobilan aku lebih bagus dari temen-temen, katany
Karin diam tidak menjawab, lalu Frans bertanya, "Kok diem? Kenapa? Kamu nggak mau?""Bukan nggak mau. Tapi ....""Ya udah kalau nggak mau. Aku nggak akan paksa kamu." Fans bicara sambil tersenyum. Dia kembali mengecup punggung tangan Karin, lalu mengangkat tangan kanannya untuk mengusap lembut pipi Karin.Di luar dugaan, Karin berpikir Frans akan marah ketik dirinya menolak ajakan tidur bersama. Misalnya memaksa, mengajaknya pulang, menyeretnya masuk ke dalam mobil, atau mungkin disekap di dalam gudang. Tapi ini, jangankan melakukan itu semua, menunjukkan ekspresi marah saja tidak."Oh, iya. Ceritakan keseruan kamu seharian sama Rafa. Pasti banyak cerita." Frans merubah topik pembicaraan untuk mencairkan suasana."Bukan banyak lagi, banyak banget malah. Kemaren Rafa bilang sama aku kalau dia sangat berterimakasih banget sama orang yang menggaji aku, sampai aku bisa beliin dia mobil-mobilan itu. Dia juga doain kamu loh.""Oh, ya?"Karin mengangguk. "Iya, dia bilang semoga usaha kamu la
"Iya kenapa?""Ada apa sama Bella?" tanyanya lagi."Tadi itu temennya yang telepon, kata dia Bella mabuk dan nggak mau pulang dianter sama yang lain kalau bukan aku." Setelah menjawab pertanyaan Karin, sambil menenteng laptopnya Frans berjalan menuju kamar."Kenapa harus kamu?" Karin mengikuti langkah kaki suaminya dari belakang."Karna aku tunangannya.""Oh, tunangannya, ya? Lalu aku?"Fans menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh ke belakang. "Kamu istri aku.""Kalau aku bilang kamu nggak boleh pergi, apa yang akan kamu lakukan?""Aku tetap pergi," jawab Frans dengan cepat."Kenapa? Apakah tunangan kamu itu lebih penting dari aku, istri kamu?""Karna nggak ada alasan kenapa kamu larang aku pergi."Karin diam tidak menjawab. Bahkan dia sendiri saja bingung kenapa dia bisa bicara seperti itu kepada Frans. Bukan hanya bicara, Karin merasakan sendiri saat ini jantungnya berdebar-debar seperti sedang menahan luapan emosi yang sebetulnya sedang ia tahan."Kenapa diem?""Ng–nggak apa-apa
"Maaf ya, Bel. Aku bukan Frans seperti yang dulu lagi. Aku berubah sekarang." Frans bicara kepada Bella yang saat ini masih tertidur pulas di atas ranjang, sedangkan dirinya berdiri di tepian ranjang.Tubuh Bella menggeliat, dia merubah posisi tidurnya menjadi miring. Frans melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. "Aku harus pulang." Dia mengambil kunci mobil di atas nakas, lalu pergi meninggal Bella di hotel.Menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya ia pun sampai di tempat tujuan, yaitu apartemen tempat tinggalnya bersama Karin.Frans menekan sandi pintu, lalu masuk ke dalam unit seraya melepaskan sepatu, menyimpan sepatu tersebut di tempat yang sudah disediakan dekat pintu."Sepi amat," gumam Frans sambil berjalan masuk. Tidak ada suara televisi, hanya ada suara piring beradu dengan sendok, lalu ia pun berjalan ke arah sumber suara, yaitu ruang makan."Karin," panggil Frans terus berjalan menaiki dua anak t
"Ini konyol. Lepaskan aku!" Karin berhasil mengendalikan diri, dia mendorong tubuh Frans hingga akhirnya dia berhasil terlepas dari kungkungannya."Kenapa kamu nggak mau jawab? Kamu pasti merasakan apa yang aku rasakan? Kamu mulai mencintai aku kan, Rin. Jujur deh nggak usah bohong." Senyum Frans menyeringai."Apaan sih, kepedean banget jadi orang.""Aku nggak kepedean, itu memang kenyataannya, kan?"Karin menggelangkan kepalanya, lalu membuka pintu kamar. Saat Karin akan masuk, Frans menahan dengan menarik tangannya. "Mau ke mana?""Mau buang air, mau ikut?""Boleh kalau diizinkan.""Dasar gila," pekik Karin. Dia mengibaskan tangan Frans, lalu masuk ke dalam kamar sekaligus mengunci pintunya dari dalam."Loh, kok dikunci? Baju kerja aku di dalam loh.""Bodo amat!" teriak Karin dari dalam.Frans membiarkan Karin berdamai dengan keadaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dia membiarkan sang istri tetap di dalam, sedangkan dirinya lebih memilih duduk di sofa depan televisi."Dasa
Karin memanfaatkan kesempatan saat tidak ada Frans dengan menemui Dani di kontrakan. Dia pergi menggunakan angkutan umum dan baru saja Karin turun dari mobilnya, berjalan sambil menautkan sling bag di pundaknya. Seorang wanita kisaran usia Lima puluh tahunan menyapa, "Wih, Karin baru keliatan. Ke mana aja, Rin?"Karin menghentikan langkahnya untuk menjawab pertanyaan ibu itu dengan ramah. "Eh, ibu. Ada aja, nggak ke mana-mana, kok.""Makin kece ya sekarang. Makin glowing mukanya." Ibu itu memuji sambil berjalan menghampiri Karin, menenteng keresek belanjaan."Bisa aja, Bu Ani," balas Karin sambil tersenyum."Iya. Kamu semenjak bercerai sama si Dani sekarang makin glowing, bagus itu. Jujur aja dari dulu saya setujunya kalian pisah aja, kelakukan si Dani nggak bener, kamu pantes bahagia sama pria lain."Memang sejak dulu Dani dikenal oleh warga sekitar kelakuannya kurang baik. Suka pergi sama perempuan lain, bercanda sama perempuan lain, judi, mabuk, pendapatan nggak seberapa. Bukan tid
"Rin, kita mau trus berpelukan di luar seperti ini? Orang lewat pada liatin kita loh. Kalau kamu udah nggak tahan, ayo kita masuk sekarang," goda Frans.Karin melonggarkan pelukannya, lalu memukul dada bidang Frans. "Dasar omes.""Loh, kok omes sih?" Walaupun Karin sudah melepaskan pelukannya, tetapi tidak dengan Frans yang masih melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Karin."Udah ah, lepasin tangan kamu!" Karin berusaha melepaskan diri dengan mendorong tubuh Frans dengan kedua tangannya."Nggak bisa. Kalau udah kayak gini nggak bisa dilepas," tolak Frans malah semakin mengeratkan pelukannya dan Karin masih meletakkan kedua tangannya di dada."Malu diliatin orang.""Kamu yang duluan peluk aku.""Iya, tapi peluknya sebentar aja. Jangan lama-lama."Ada dua remaja melintas berjalan sambil menunduk, lalu tertawa saling berbisik satu sama lain setelah melewati mereka."Tuh, kan? Udah ah lepasin," pinta Karin, Akhirnya Frans pun melepaskan pelukannya."Mereka tuh ketawa malah kepengen t
Sudah sejak lama Karin tidak merasakan berada di atas puncak gunung Himalaya. Pasalnya sejak sejak beberapa bulan terakhir sebelum bercerai, Dani tidak pernah memikirkan kebahagiaan Karin, yang dia pikirkan hanyalah kebahagiaannya sendiri. Namun, saat bersama Frans, Karin mendapatkan segalanya.Selesai dengan kegiatan olah raga malam, dengan nafas yang masih memburu, Frans mencium kening Karin seraya mengucapkan ucapan terima kasih. "Terima kasih kamu mau memberikan apa yang aku inginkan.""Sama-sama, Mas. Maaf kalau kamu menunggu lama." Karin menatap lekat-lekat wajah sang suami dari jarak yang sangat dekat."Nggak apa-apa, penantian aku selama berbulan-bulan sudah berbuah manis."Karin tersenyum, Frans menatap wajah sang istri sambil mengusap pipinya dengan lembut."Maaf, boleh aku tanya sampai kapan kamu ada di atas aku?""Sampai besok boleh?" goda Frans yang malah membuat pergerakan aneh sehingga membuat Karin merasa malu sendiri."Mas Frans." Suara Karin menggeram sambil melotot.
Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan
Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa
Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan
Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap