Aku memeluk Aksen, rasanya nyaman sekali berada dipelukannya. Dia menenangkanku yang mulai labil ini. Aksen memang lebih dewasa menangani masalah. Padahal usia kami bedanya tidak jauh, tapi caranya mengatasi masalah sangat bijak."Tenang sayang, semuanya pasti baik-baik saja," ucap Aksen yang terus membelaiku."Apa aku ibu yang tidak baik?""Bukan, Sayang. Biarkan Arvian bersama ayahnya. Sejauh kemanapun dia melangkah, dia pasti akan mencari ibunya."Ucapan Aksen membuatku benar-benar tenang. "Dia bersama ayahnya, seorang ayah yang sudah berjuang hingga putusan pengadilan berpihak padanya.""Kenapa abang seyakin itu, sementara aku tidak yakin.""Karena Brayen ayah yang baik, Sayang. Entah mengapa aku yakin dia mulai menyadari banyak hal.""Darimana abang tahu?""Kalau abang cerita, istriku marah gak?" "Gak, Bang.""Beneran, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bang. Janji." Aksen sepertinya mengetahui sesuatu."Ketika kamu di rumah sakit, ayahnya Arvian datang ...." Aksen menjeda ucapannya. Ak
Hari terus berganti, setiap kami mencoba. Aksen selalu gagal sebelum klimaks. Aksen bahkan mulai tertutup meski semua kebutuhan dan keinginanku dicukupinya. Jujur, aku sedikit frustasi melihat sikap Aksen seperti memiliki dua kepribadian ganda. "Bang aku izin bertemu dengan sahabatku, ya," ujarku padanya yang sedang sibuk dengan banyak laporan."Aku antar, ya, Sayang," balasnya. Dia memang seromantis itu."Aku diantar supir saja, Abang lanjutkan kerjaannya."Dia justru menarikku dalam pelukannya. Aku menyukai hal ini, hal yang tidak kudapatkan pada mantan suamiku dulu. Namun, tetap saja kebutuhan batinku memaksaku untuk meminta lebih dari ini."Apa kamu mulai bosan denganku, Sayang?" Aksen bertanya seperti mengetahui isi pikiranku."Bosan kenapa?""Kita belum seperti pasangan suami istri yang lainnya," jawabnya lagi."Sayang harus mengubah pola pikir, harus rileks agar Abang tidak stress." Dia seperti anak kecil yang menangis dipelukanku. "Thank you, Beb. Aku pasti berjuang untuk hu
"Kamu harus bersabar, karena tak ada yang instan di dunia ini," ucap Diana menasehatiku."Iya, Din.""Lihat saja, kalau dia sudah kembali dengan rasa percaya dirinya, mungkin kamu dibuat kewalahan," kata Diana."Huhu, takut ...."Akhirnya aku dan Diana pamitan, tak ingin Aksen curiga karena aku pulang kelamaan. "Mon, botol minummu jan lupa bawa," ucap Diana yang memberiku botol minuman. Perasaan aku tidak membawa botol."Tadi ada di tasmu, aku tidak bawa botol," ucap Diana lagi. Mungkin Aksen yang menaruh botol karena dia selalu menjaga kesehatannya. Pulang curhat dari Diana, aku langsung mengatur strategi. Selain itu aku kepikiran dengan ucapan Diana, bisa jadi hasil tes dipalsukan. Apa, iya Aksen punya kelainan? Jujur aku kepikiran dengan masalah Aksen ini. Apalagi Aksen orang yang begitu teliti menjaga kesehatannya."Sudah pulang sayang?" tanya Aksen yang langsung merangkulku. Dari segi romantis bisa dikatakan dia sangat normal, tapi mengapa dia selalu menyerah ketika sedang di
POV Aksen."Sampai kapan kamu akan anggurkan istrimu?" tanya Fatih yang biasa menanganiku setiap hari di rumah sakit. Hari ini kami bertemu di restoran dekat dengan kantorku."Aku ingin, tapi kenapa milikku tak bisa normal seperti yang lainnya.""Waktu muda kamu sangat menjaga kesehatanmu, tentu ini tidak masuk akal," jawab Fatih. Dia saja tidak percaya, aku pun juga tidak percaya."Aku sudah kesana kemari untuk berobat, bahkan beberapa hari ini aku lebih mengurung diri. Aku malu sama Monica.""Kenapa harus malu, ini masih manusiawi. Kalian dokter pasti tahu cara menanganinya."Benar kata Fatih, tapi mengapa aku mulai tidak percaya diri. Ditambah dengan hasil medisku, secara kasat mata aku bahkan begitu terlihat normal. Apakah ini bentuk teguran yang diberikan Tuhan padaku. "Berusahalah, kalian itu masih muda. Masih kuat.""Entahlah, Fatih. Aku mulai putus asa." "Kamu sudah mencoba obat kuat?" ha? obat kuat? ada-ada saja dokter Fatih."Aku takut pakai obat gituan, kita dokter pasti
Ternyata Aksen perkasa juga, Aku tak menyangka minuman yang diberikan Diana ternyata obat kuat? Diam-diam Diana ternyata menyiapkan minuman yang tidak pernah kupikirkan itu. Seperti bayi, Aksen kelelahan. Namun, ada kepuasan dan binar di wajahnya. Kepercayaan dirinya mulai muncul."Ternyata abang kuat juga," kataku sambil membelainya, dia sedang tertidur pulas di dipelukanku. Rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Cinta tentunya semakin melekat."Sudah bangun?" Tanya Aksen yang masih merangkulku. "Sudah dari tadi, abang seperti bayi.""Anggap aku bayimu," jawab Aksen sambil mencium keningku."Coba cek air di botol itu apakah habis?" tanyanya nyengir. Aku juga ikut tertawa karena yang memberikan botol itu adalah Diana. Ternyata itu air sakti yang dikasih Diana. Kalau tahu begini aku meminta botol yang besar dari Diana."Terima kasih karena bersabar denganku," ucapnya lagi."Aku yang berterima kasih padamu sayang," balasku sambil memeluknya. Rasanya nikmat sekali setelah mele
Sampai lokasi acara, tamu undangan sudah mulai hadir. Aksen terus menggandengku tanpa malu. Aku pun juga tak mau kalah, kapan lagi digandeng laki-laki tampan seperti Aksen, jangan tanya bagaimana tatapan banyak orang pada kami. "Kalau begini, tiap hari ajak istri kondangan.""Tapi aku malas, Bang, ikut acara ginian. Males cari muka.""Hahaha ... ada-ada saja istriku, makin cinta," bisiknya. Dia kalau begini pasti agak lain."Hooh, sampe pesan seribu botol di Diana, baguuus!""Hahaha ... Ketahuan, ah, temanmu cepet bocorin!""Iya, itu karena aku pesan seratus botol, eh, ternyata ada yang lebih banyak." Ya Allah, Aksen sampai menahan perutnya menahan ketawa.Ini mungkin definisi jodoh se-frekuensi, bisa gokil dimana-mana."Helo, Mr. Aksen. Bahagia sekali!" Salah satu tamu undangan mendekati kami, mereka langsung bersalaman. Sementara Aku tetap menjaga marwahku tidak bersalaman dengan laki-laki."Ini siapa?" tanya Salah satu dari mereka. Aksen seperti takut lepas, dia terus menggandeng
Aksen menggandengku, aku pun menggandengnya dengan penuh percaya diri. Seperti sebuah kekuatan Aksen terus menatapku tak henti. Kupu-kupu semakin berterbangan di hatiku."Kamu istriku, Nyonya Aksen. Jangan merendah begitu," bisiknya."Aksen," sapa mempelai wanitanya. Dia nampak terkejut karena Aksen terus menggenggamku. Sekarang kami seperti artis yang ditonton oleh seluruh tamu undangan. Jangan tanya bagaimana wajahnya Berlian melihat keromantisan kami."Apa kabar?" tanya Olive mempelai wanitanya. tatapannya jujur membuatku risih.Aksen langsung menyapa mempelai pria, mempelai wanitanya bernama Oliv seperti tidak menghargai suaminya. Dia terus menatap Aksen, tahu begini aku tampil maksimal bila perlu perawatan dulu."Selamat, ya, Oliv dan suami," ujar Aksen lembut. Aku terus tersenyum, apalagi Aksen benar-benar begitu menawan menggandengku. "Saya Monica, istrinya Aksen Andara," balasku ramah. Olive langsung terdiam. lebih anehnya Aksen seperti tidak memedulikan. Entah mengapa pua
Aksen terus merangkulku di dalam mobil. Aku pun juga heran dengan tingkahku yang tidak jelas seperti ini. "Kenapa senyum-senyum begitu?" aku bertanya karena Aksen tak berhenti tersenyum."Sering-sering begini, abang suka."Aneh saja melihatnya begitu terlihat bahagia."Kangen sama daddy, besok kita ke sana, ya?" ajak Aksen."Besok aku janjian sama Mona, Sayang.""Janjian dimana?" tanya Aksen penasaran."Di restoran dekat rumah sakit," balasku."Abang anter, ya, nanti abang mampir ke daddy dan bunda.""Tumben, Bang.""Sejak kemarin abang kepikiran, pasti mereka kesepian karena tidak ada Arvian," balas Aksen.Sebut nama Arvian, jujur aku sangat merindukannya. Bagaimana kabarnya saat ini. Namun, Aksen selalu mengingatkan agar ikhlas karena Arvian bersama ayah kandungnya."Arvian baik-baik saja, Sayang. Jangan khawatir." Dia seperti tahu isi hatiku."Abang selalu lebih tahu.""Demi istri, Abang akan lakukan apa saja agar bahagia," balasnya.Diam-diam Aksen sudah mengirim intel untuk mel
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s