Ternyata Aksen perkasa juga, Aku tak menyangka minuman yang diberikan Diana ternyata obat kuat? Diam-diam Diana ternyata menyiapkan minuman yang tidak pernah kupikirkan itu. Seperti bayi, Aksen kelelahan. Namun, ada kepuasan dan binar di wajahnya. Kepercayaan dirinya mulai muncul."Ternyata abang kuat juga," kataku sambil membelainya, dia sedang tertidur pulas di dipelukanku. Rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Cinta tentunya semakin melekat."Sudah bangun?" Tanya Aksen yang masih merangkulku. "Sudah dari tadi, abang seperti bayi.""Anggap aku bayimu," jawab Aksen sambil mencium keningku."Coba cek air di botol itu apakah habis?" tanyanya nyengir. Aku juga ikut tertawa karena yang memberikan botol itu adalah Diana. Ternyata itu air sakti yang dikasih Diana. Kalau tahu begini aku meminta botol yang besar dari Diana."Terima kasih karena bersabar denganku," ucapnya lagi."Aku yang berterima kasih padamu sayang," balasku sambil memeluknya. Rasanya nikmat sekali setelah mele
Sampai lokasi acara, tamu undangan sudah mulai hadir. Aksen terus menggandengku tanpa malu. Aku pun juga tak mau kalah, kapan lagi digandeng laki-laki tampan seperti Aksen, jangan tanya bagaimana tatapan banyak orang pada kami. "Kalau begini, tiap hari ajak istri kondangan.""Tapi aku malas, Bang, ikut acara ginian. Males cari muka.""Hahaha ... ada-ada saja istriku, makin cinta," bisiknya. Dia kalau begini pasti agak lain."Hooh, sampe pesan seribu botol di Diana, baguuus!""Hahaha ... Ketahuan, ah, temanmu cepet bocorin!""Iya, itu karena aku pesan seratus botol, eh, ternyata ada yang lebih banyak." Ya Allah, Aksen sampai menahan perutnya menahan ketawa.Ini mungkin definisi jodoh se-frekuensi, bisa gokil dimana-mana."Helo, Mr. Aksen. Bahagia sekali!" Salah satu tamu undangan mendekati kami, mereka langsung bersalaman. Sementara Aku tetap menjaga marwahku tidak bersalaman dengan laki-laki."Ini siapa?" tanya Salah satu dari mereka. Aksen seperti takut lepas, dia terus menggandeng
Aksen menggandengku, aku pun menggandengnya dengan penuh percaya diri. Seperti sebuah kekuatan Aksen terus menatapku tak henti. Kupu-kupu semakin berterbangan di hatiku."Kamu istriku, Nyonya Aksen. Jangan merendah begitu," bisiknya."Aksen," sapa mempelai wanitanya. Dia nampak terkejut karena Aksen terus menggenggamku. Sekarang kami seperti artis yang ditonton oleh seluruh tamu undangan. Jangan tanya bagaimana wajahnya Berlian melihat keromantisan kami."Apa kabar?" tanya Olive mempelai wanitanya. tatapannya jujur membuatku risih.Aksen langsung menyapa mempelai pria, mempelai wanitanya bernama Oliv seperti tidak menghargai suaminya. Dia terus menatap Aksen, tahu begini aku tampil maksimal bila perlu perawatan dulu."Selamat, ya, Oliv dan suami," ujar Aksen lembut. Aku terus tersenyum, apalagi Aksen benar-benar begitu menawan menggandengku. "Saya Monica, istrinya Aksen Andara," balasku ramah. Olive langsung terdiam. lebih anehnya Aksen seperti tidak memedulikan. Entah mengapa pua
Aksen terus merangkulku di dalam mobil. Aku pun juga heran dengan tingkahku yang tidak jelas seperti ini. "Kenapa senyum-senyum begitu?" aku bertanya karena Aksen tak berhenti tersenyum."Sering-sering begini, abang suka."Aneh saja melihatnya begitu terlihat bahagia."Kangen sama daddy, besok kita ke sana, ya?" ajak Aksen."Besok aku janjian sama Mona, Sayang.""Janjian dimana?" tanya Aksen penasaran."Di restoran dekat rumah sakit," balasku."Abang anter, ya, nanti abang mampir ke daddy dan bunda.""Tumben, Bang.""Sejak kemarin abang kepikiran, pasti mereka kesepian karena tidak ada Arvian," balas Aksen.Sebut nama Arvian, jujur aku sangat merindukannya. Bagaimana kabarnya saat ini. Namun, Aksen selalu mengingatkan agar ikhlas karena Arvian bersama ayah kandungnya."Arvian baik-baik saja, Sayang. Jangan khawatir." Dia seperti tahu isi hatiku."Abang selalu lebih tahu.""Demi istri, Abang akan lakukan apa saja agar bahagia," balasnya.Diam-diam Aksen sudah mengirim intel untuk mel
Mendengar Aksen berteriak, aku langsung berlari memeluknya, tak peduli dengan reaksi Suseno yang diam membisu. "Ma ... aaf, tuan," katanya terbata-bata. Puas aku melihatnya yang gugup. "Lain kali jaga sikapmu, aku tidak segan-segan memberimu pelajaran!" tegas Aksen. Suseno ingin melanjutkan ucapannya. Namun, Aksen memotong, dia tidak peduli dengan permintaan dari Suseno. "Aku tidak punya waktu meladenimu," ucap Aksen lagi. Ternyata seram juga melihat Aksen marah. Dia menggandengku untuk jogging bersama. Aku yang melihatnya hanya bisa senyum tidak jelas."Lain kali kalau tidak sama abang jangan jogging." Aksen masih terlihat begitu marah."Tenryata bisa marah.""Untung tidak aku tembak kepalanya," balas Aksen. Aku bergidik ngeri mendengar Aksen yang seperti mafia kalau marah.Sampai rumah, Aksen belum terima perlakuan si Suseno. Dia terus mengomel tidak jelas."Sudah, Sayang. Jangan diladenin," kataku menenangkannya."Lain kali kalau kemana-mana sama Abang," balasnya."Memangnya a
"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku. Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat. Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju. "Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya." "Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?" Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan
"Daddy ngapain di kamar ini ...?" syukur akhirnya aku terselamatkan. Brayen nyelonong ke kamar persis seperti Daddy nya. Anak dan bapak kelakuannya sama saja. Si Reza jadi salah tingkah, emang enak."Ini Daddy mau cek saja. Agar tamu kita nyaman." Bingung kan mau jawab apa. Oke sip, aku dibilang tamu disini."Ayok ke kamar, Brayen ingin cerita." si bocah mengajak Reza untuk menemaninya tidur."Siap, komandan." Akhirnya dia keluar juga. Dan secepat kilat aku langsung kunci pintu jangan sampai kebablasan yang kedua kali. Sudah duda, punya anak, sok keren lagi itu orang. Besok adalah babak baru bagiku. Aku harus menyiapkan amunisi selama disini. Selain itu, sepertinya aku harus buat perjanjian dengan si Reza agar tidak semena-mena denganku. Meski berasal dari desa setidaknya aku harus punya strategi untuk mengalahkan musuh. Semangat, Nina!***Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Bangun tidur aku langsung salat tahajud dilanjutkan tilawah dan salat subuh. Setelah ini aku akan langsung m