“Bams, jalan saja. Mungkin wanita itu ada perlu dengan security atau pelayan rumah,” perintah Sasmita.Bams mengangguk, dia melirik Alina dari spion tengah, melihat bayangan majikannya dari pantulan cermin yang terlihat pucat.Alina melirik Sasmita yang tampak tenang. Dia lega karena Sasmita tidak curiga. Bukan maksud tak mau mengakui bibinya, tetapi dia tak ingin ada masalah lagi karena sikap bibinya yang serakah.Sasmita berusaha tenang. Dia melakukan itu agar tidak bertemu bibi Alina yang bisa saja membongkar masa lalu.Di depan pagar. Bibi Alina masih memaksa agar bisa bertemu Alina.“Ayolah, Pak. Katakan saja padanya kalau bibinya mau ketemu,” ucap wanita itu memaksa.“Maaf, sesuai dengan perintah Tuan, tidak ada yang boleh bertemu Nona sebelum membuat janji,” balas security tetap tidak mengizinkan.Bibi Alina mau menjelaskan, tetapi terdengar suara klakson yang membuatnya dan security memandang ke arah mobil yang baru datang.“Agak minggir, jangan halangi jalan,” kata security i
“Ambilkan minum!” perintah Sasmita pada pelayan yang menyambut mereka.Alina melihat Sasmita yang seperti panik, padahal tadi di mobil tampak tenang. Dia masih memperhatikan sampai pelayan memberikan minum dan mertuanya itu minum dengan tergesa-gesa.“Mama tidak apa-apa?” tanya Alina keheranan.Sasmita menoleh pada Alina, lalu memulas senyum.“Tidak apa-apa, tiba-tiba saja sangat haus, apa gula darah mama naik, ya.” Sasmita mencoba bersikap biasa.“Kalau kurang sehat, coba periksa, Ma. Jangan sampai abai,” ujar Alina tampak tenang, padahal dia juga panik karena melihat bibinya tahu rumah ini.“Benar juga, kalau begitu mama pulang dulu. Sekalian mampir ke rumah sakit buat periksa,” ujar Sasmita karena cemas kepanikannya terlihat oleh Alina.Alina mengangguk. Alina menghela napas lega setelah mengantar sang mertua sampai depan rumah. Dia juga sudah tidak melihat sang bibi di depan gerbang, membuatnya sedikit tenang. Alina duduk di samping rumah untuk sekadar bersantai sambil menikmati
Alina dan Aksa sudah di dapur karena Alina belum makan. Di dapur tidak ada lauk, sehingga mau tidak mau harus membuat makanan baru.“Bagaimana kalau roti?” tanya Aksa menawari.Ini sudah terlalu malam, Alina melarang Aksa membangunkan pelayan untuk membuatkan makan malam.“Aku tidak mau roti,” jawab Alina.Aksa membalikan badan, lalu menatap Alina yang berdiri di dekat lemari pendingin.“Lalu mau makan apa?” tanya Aksa.“Aku mau makan mie, bolehkan?” Alina tersenyum untuk membujuk suaminya.“Apa boleh makan mie? Itu tidak baik buat kesehatanmu,” ujar Aksa mencemaskan kondisi kandungan Alina.Alina langsung memasang wajah cemberut, bahkan siap menangis.“Baiklah.” Aksa tidak bisa melihat Alina seperti ini. “Di sini tidak ada mie, aku akan keluar membelinya.”“Ikut.” “Al, ini sudah malam. Aku akan beli dan segera pulang,” ujar Aksa membujuk.Alina lagi-lagi memasang wajah cemberut, membuat Aksa hanya bisa menghela napas kasar.Akhirnya Aksa mengajak Alina pergi membeli mie di minimarket
Hari pesta perayaan naiknya jabatan Aksa pun tiba. Alina berada di kamar bersama MUA yang dipanggil khusus untuk mendandaninya, tentu saja Aksa ingin sang istri tetap terlihat cantik meski sedang hamil.“Sudah,” ucap MUA sambil menatap penampilan Alina, “wajahmu ini selalu saja mudah dirias jadi tidak susah menentukan warna make up dan sebagainya,” ujar MUA itu.“Terima kasih,” ucap Alina.Alina memakai dress yang dipilihkan Sasmita. Bagian perut tidak ketat, meski tidak terbuka dan mencolok, tetapi gaun itu sangat indah dipakai Alina.“Sudah selesai?” tanya Aksa yang baru saja masuk ke kamar.“Sudah dong, lihat saja sendiri,” jawab MUA yang dulu pernah merias Alina di acara konferensi pers waktu itu.MUA dan asistennya keluar dari kamar karena tugas mereka sudah selesai.Aksa menghampiri Alina yang berdiri di depan cermin besar. Dia memandang penampilan Alina yang sangat cantik, bahkan perut yang sedikit menyembul dari balik gaun terlihat menggemaskan.“Kamu sangat cantik,” puji Aksa.
Alina dan Aksa langsung pulang setelah pesta selesai. Sesampainya di kamar, Alina melepas highheels yang membuatnya pegal.“Mana hadiahku?” tanya Aksa menagih hadiah yang dikatakan Alina saat di pesta.Alina menoleh Aksa, lalu tersenyum manis.“Tunggu, aku siapkan. Atau kamu mau mandi dulu?” tanya Alina.Aksa mengerutkan dahi. Dia memilih ke kamar mandi lebih dulu membersihkan diri lalu melihat hadiah apa yang Alina siapkan untuknya.Aksa berada di kamar mandi selama beberapa menit, lalu akhirnya dia keluar dari kamar mandi dan melihat istrinya sudah berdiri di dekat ranjang.Kelopak mata Aksa mengerjap beberapa kali ketika melihat penampilan Alina saat ini. Dia sampai mengulum bibir, sepertinya Aksa sudah bisa menebak, hadiah apa yang Alina maksud.Alina malu karena Aksa menatapnya seperti itu. Namun, itu sudah jadi keputusannya, lagi pula dia yakin Aksa tidak akan menolak.“Aku sudah konsultasi dengan dokter. Dokter bilang kamu sudah boleh menjenguknya jika ingin. Aku tahu, pasti be
Keesokan harinya. Aksa sudah bersiap ke kantor sedangkan Alina masih tertidur pulas. “Al.” Aksa mengusap lembut rambut Alina untuk membangunkan. “Hm ….” Alina mencoba membuka kelopak mata tetapi terasa berat. “Aku harus ke kantor pagi,” ucap Aksa. Alina membuka kelopak mata, menatap Aksa yang sudah berpakaian rapi. “Iya, hati-hati,” balas Alina dengan suara masih berat, “aku mau jalan-jalan di sekitar komplek boleh, kan? Kakiku sepertinya agak bengkak karena selama ini jarang berjalan dan lebih banyak di kasur,” ucap Alina. “Boleh, tapi Bams harus mengawalmu,” balas Aksa. Alina mengangguk-angguk. Aksa mencium kening Alina, lalu segera pergi tanpa menunggu Alina bangun mengantarnya sampai depan. Setelah Aksa pergi. Alina mengumpulkan sisa kesadaran agar bisa bangun dan bersiap jalan-jalan pagi. Selama beberapa bulan ini dia hanya di ranjang dan tak bisa berjalan-jalan layaknya ibu hamil pada umumnya, sehingga membuat kedua kaki Alina sedikit bengkak dan itu membuatnya tak nyama
Suara langkah kecil itu terdengar menggema di ruang IGD rumah sakit. Suara isak dari gadis kecil berumur dua belas tahun dan sepuluh tahun itu memenuhi ruang IGD yang baru saja mereka masuki.“Sus, apa ada korban kecelakaan yang dibawa ke sini?” tanya seorang wanita berumur 30 tahunan.“Iya, satu korban kritis dan satu lagi meninggal dunia.”Jawaban perawat itu membuat gadis kecil mempererat genggaman tangannya pada tangan sang adik, sedangkan wanita yang bersama gadis kecil itu terkesiap dengan bola mata membulat lebar.Mereka diarahkan ke sebuah brankar yang terdapat di salah satu ruangan. Terlihat tubuh yang terbaring di sana dan sudah ditutup dengan kain putih.Alina kecil berlari ke brankar dan memberanikan diri membuka kain penutup tubuh yang sudah terbaring kaku di sana sehingga memperlihatkan wajah sang papa.“Papa!” teriak Alina histeris.Tangisnya semakin pecah. Dia memeluk tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa setelah sebelumnya mengalami insiden kecelakaan mobil.Dani mena
“Kamu ingat, kan? Kamu ingat bagaimana mamamu meninggal? Semua karena keluarga suamimu itu. Mamamu meninggal karena terlambat mendapat donor darah, darah yang seharusnya diberikan untuk mamamu, diambil oleh wanita itu. Wanita yang sekarang jadi mertuamu!”Alina hampir limbung mendengar ucapan sang bibi. Apa itu semua benar?“Bibi jangan mengarang cerita!” Alina mencoba mengelak meski bibirnya bergetar.“Mengarang? Kamu bilang aku mengarang? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Wanita itu mengancam dokter yang menangani kondisi mamamu. Aku lihat dua kantong darah itu diambil dari tangan perawat. Dia kaya dan punya kuasa, bahkan dokter setuju dan tidak melakukan perlawanan saat wanita itu mengambil darah yang seharusnya diberikan ke mamamu. Tebak untuk siapa darah itu? Untuk anaknya yang kini jadi suamimu!”Alina syok dengan rasa tak percaya. Saat itu sang bibi pergi untuk mengecek kenapa dokter lama mengambil darah, lalu setelahnya dia tidak tahu apa yang terjadi. Alina merasa tub
Siang itu Alina membantu Daniel pindah ke apartemen. Alina juga membantu Daniel memilih perabot untuk mengisi apartemen, disesuaikan dengan kebutuhan Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.“Aku tidak perlu banyak barang, ini sudah cukup.” Daniel sampai menggaruk kepala. Padahal bisa saja tinggal pesan dan kirim, tetapi Alina memaksa untuk tetap memilih sendiri.Alina masih mengecek barang-barang yang dibutuhkan Daniel, baru kemudian merasa tenang jika semua sudah terbeli.“Bagaimana dengan pakaianmu?” tanya Alina setelah selesai melakukan pembayaran dan menggunakan jasa toko untuk mengangkut barang yang dibelinya ke apartemen.“Aku minta tolong sopirnya Bibi untuk mengemas dan mengantar ke sini. Jadi tidak usah boros dengan beli pakaian baru,” jawab Daniel.Alina mengangguk-angguk.“Mama, Alo lapal.” Arlo sejak tadi ikut Alina ke sana-kemari, membuat bocah kecil itu sekarang kelelahan.Alina dan Daniel menoleh bersamaan pada Arlo, mereka sibuk sampai lupa kalau bocah kecil itu ikut d
Naya melihat wanita itu seperti gemetar. Apa wanita itu tidak menerima kedatangan mereka, atau ada hal lain sehingga respon wanita itu seperti ini?Bams mendekat pada sang ibu. Dia lalu memeluknya.Dalam sekejap, Naya melihat wanita itu menangis begitu kencang sambil mengusap punggung Bams.“Kamu akhirnya mau pulang. Ibu pikir kamu membenci ibu dan hina jika menemui ibumu ini.”Naya melihat wanita itu meraung. Dia menatap Bams yang memeluk erat tubuh wanita tua itu.“Yang penting aku pulang sekarang.”Bams melepas pelukan. Dia menatap sang ibu yang masih menangis.“Aku hanya tidak mau menjadi masalah buat Ibu. Kalau aku membencimu, untuk apa aku memintamu pindah ke sini?”Wanita itu masih menangis meski Bams sudah menjelaskan.“Aku datang karena ingin mengenalkan Ibu dengan seseorang,” ucap Bams.Wanita itu menghentikan tangisnya. Dia menatap Bams dengan wajah masih penuh air mata.Bams menggeser posisi berdiri, lalu menunjuk pada Naya.Wanita tua itu menatap ke arah Bams menunjuk. Di
“Nona, ini sudah saya buat rincian pesanan desain. Ini juga jadwal undangan Anda untuk acara fashion show tema spring.” Naya memberikan tablet pintar berisi jadwal Alina.“Terima kasih, Nay.” Alina menerima tablet itu, lalu mengecek data di dalamnya.Naya menunggu Alina merespon, lalu atasannya itu memandang ke arahnya.“Kalian jadi pergi hari ini, kan?” tanya Alina.“Jadi, makanya saya berikan dulu rincian ini agar Anda bisa menyiapkan desainnya. Anda tahu ‘kan, Anda terkenal tepat waktu, jadi jangan sampai terhambat sehari dua hari karena saya pergi,” balas Naya.Alina melebarkan senyum.“Iya, kamu memang paling mengerti aku,” ucap Alina, “jika ada apa-apa hubungi aku, ya.” Alina bicara sambil mengusap lengan Naya.Naya tiba-tiba memeluk Alina, membuat wanita itu terkejut.“Terima kasih, Nona. Anda selalu ada untuk saya dan menjadi satu-satunya keluarga untuk saya selama dua tahun ini,” ucap Naya.Alina terkesiap. Dia tersenyum lalu membalas pelukan Naya.“Kalau aku ini keluargamu,
“Dani bilang masih ada urusan di luar, jadi kita tidak perlu menunggunya makan malam,” ujar Alina setelah membaca pesan dari Daniel.Aksa baru saja berganti pakaian. Dia kemudian mendekat pada Alina yang masih duduk di tepian ranjang.“Bagaimana kondisi Anya? Dia sudah lebih baik?” tanya Aksa.Aksa juga bersimpati pada kondisi mental Anya karena selama dua tahun harus melihat sang ayah yang melakukan kekerasan pada sang ibu.“Jika dilihat dari luar, ya dia baik-baik saja. Dia bermain bersama Arlo dengan riang, bukankah itu bagus? Hanya saja, Jia tetap akan membawa Anya ke psikolog, hanya untuk memastikan saja, apa benar Anya baik-baik saja atau ada gangguan mental,” ujar Alina panjang lebar menjawab pertanyaan Aksa.Aksa mengangguk-angguk paham.Mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama. Sudah ada Naya, Bams, dan Arlo di sana.“Mama.” Arlo berlari menghampiri Alina yang baru saja datang.Aksa menghela napas, dia harus pasrah jika Alina diambil alih Arlo.Alina menggandeng
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak