Aksa mengajak Mira ke ruang kerja. Dia membawa kotak obat, lalu duduk di samping Mira.
Mira hanya diam. Dia merasa canggung karena terjebak di situasi yang tidak pernah dia bayangkan sama sekali.
Aksa memperhatikan perban yang membalut lengan Mira, lalu mulai membuka perlahan.
“Kamu bisa mengganti perban?” tanya Mira berbasa-basi hanya untuk sekadar mengurai kecanggungan yang dirasakannya.
“Bisa meski aku bukan dokter,” jawab Aksa tanpa menatap pada Mira. Dia lebih fokus ke perban yang dibukanya dengan perlahan.
“Bagaimana dengan luka tanganmu yang dulu, bukankah itu lebih parah dari luka yang aku dapatkan?” tanya Mira lagi.
Aksa melirik ke tang
Mira mengajak Kaira duduk bersama. Dia melihat kondisi Kaira yang kurang sehat.“Sudah periksa ke dokter? Wajahmu masih pucat,” kata Mira.“Sudah, tapi sepertinya obat dokter tidak bekerja dengan baik,” seloroh Kaira.Mira tersenyum, lalu memandang pada Arlo yang sedang bermain.“Sepertinya rumah ini akan dijaga ketat lagi,” gumam Kaira.Ini mengingatkan Kaira saat Alina ditahan Aksa, sekarang Mira di sini dan pengamanan diperketat lagi.Mira memandang ke arah Kaira menatap, lalu berkata, “Sepertinya karena kasus kecelakaan wanita bernama Karissa itu.”Kaira langsung menatap kesal mendeng
Mira ada di teras bersama Kaira, keduanya masih memperhatikan Arlo bermain.Mira menoleh pada Kaira yang terus memandang pada Arlo, membuatnya tiba-tiba merasa penasaran dengan hubungan antara Kaira dan Alina.“Omong-omong, kamu sudah kenal sangat lama dengan Alina, kan? Dia wanita seperti apa di matamu?” tanya Mira sambil menatap antusias.Kaira agak terkejut, tetapi tentunya memaklumi karena Mira tidak ingat. “Kami kenal sejak saat masih sekolah. Alina itu orangnya cerdas dan baik hati, bahkan dia tidak segan mendahulukan orang lain ketimbang dirinya. Jika bisa dijabarkan panjang lebar, mungkin akan sangat lama menjelaskannya,” jawab Kaira lalu diakhiri tawa kecil karena candaan di akhir kalimat.Mira tersenyum mendengar candaan Kaira.“Papanya Arlo pasti sangat mencintai Alina, kan?” tanya Mira lalu menatap pada Arlo.Kaira memandang Mira. Apa dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk sedikit mengingatkan Mira pada masa lalu?“Kalau mencintai, pastilah mencintai meski kadang sikap
“Bagaimana tadi?” tanya Mira saat menemui Aksa yang baru saja pulang melayat.“Seperti dugaanku, ayah Karissa tetap tidak menerima kematian anaknya,” jawab Aksa.Mira mengangguk-angguk, wajar jika orang tua tidak bisa menerima kepergian anaknya. Akan tetapi mau bagaimana lagi, memang anaknya yang jahat lebih dulu.“Tapi, apa itu akan jadi masalah buat kamu?” tanya Mira cemas karena secara tak langsung, ini bisa berimbas pada bisnis Aksa.Aksa menatap pada Mira. Apa Mira sedang mencemaskan dirinya?“Selama tidak ada bukti yang memperlihatkan aku sengaja mencelakai Karissa, aku tidak akan takut apa pun,” jawab Aksa.Mira mengangguk paham.“Papa!” Arlo berlari menghampiri Aksa. Dia baru saja dari kamar mandi dan sudah melihat papanya pulang.Aksa langsung menggendong Arlo yang baru saja melompat ke dalam pelukan.“Papa, apa Papa tahu, tadi Bibi Kai ke sini, tapi Bibi sepeltinya sakit,” celoteh Arlo.Aksa mengerutkan alis.“Iya, dia tadi datang karena mencemaskan Arlo, tapi waktu kami men
Kaira berada di apartemen merasa mual saat baru saja makan malam. Dia berada di kamar mandi dan memuntahkan semua yang tadi dimakan.“Kai, kamu baik-baik saja??” tanya Ilham sambil mengetuk pintu kamar mandi.Tidak ada balasan dari Kaira, hal itu membuat Ilham kebingungan dan panik.“Obatmu dari dokter masih? Apa kamu lupa meminumnya?” tanya Ilham karena beberapa hari yang lalu Kaira sakit dan harus mengonsumsi obat.Masih tidak ada balasan dari Kaira, sampai akhirnya pintu kamar mandi terbuka lalu Kaira keluar dari sana.Ilham menatap cemas. Dia segera membantu Kaira berjalan ke sofa, kemudian mengambilkan air putih untuk istrinya itu.“Apa tidak cocok dengan makanannya, makanya sampai muntah?” tanya Ilham saat menunggu Kaira minum.Kaira memberikan gelas kosong pada Ilham setelah minum, lalu membalas, “Entah, aku merasa mual sejak tadi dari menjenguk Arlo.”Ilham menatap cemas, lalu berkata, “Besok periksa ke dokter lagi saja, takutnya ada obat yang tidak cocok sehingga sakitmu tida
Aksa panik ketika melihat Mira seperti kesakitan, apalagi Mira menekan kepala dengan sangat keras.“Mira, kamu baik-baik saja?” tanya Aksa lagi untuk memastikan.Aksa terus memperhatikan Mira, sampai akhirnya wanita itu melepas tangan yang menekan kepala lalu mulai membuka mata.“Ada apa? Kepalamu sakit?” tanya Aksa.Mira menatap pada Aksa yang terlihat begitu cemas. Lalu dia menggeleng pelan.“Tidak apa-apa, hanya tiba-tiba pusing saja,” jawab Mira mencoba tersenyum meski wajahnya agak pucat.Aksa diam. Dia benar-benar panik jika sampai Mira mengalami tekanan di saraf seperti yang pernah Restu katakan. Aksa tidak memaksakan masa lalu pada Mira, kenapa wanita itu kesakitan?Mungkinkah apa yang baru saja Aksa lakukan membuat Mira mengingat sesuatu? Aksa baru ingat, dia pernah melakukan ini pada Alina.“Jika kamu tidak bisa lanjut makan, tidak apa-apa. Istirahat sajalah,” ucap Aksa tak ingin memaksa. Dia takut jika Mira kesakitan seperti tadi.Mira memandang mie itu, lalu kembali mengam
Aksa diam karena ucapan Mira, andai dia bisa bilang kalau Arlo anak Mira dan dia adalah suaminya, mungkin itu akan sangat melegakan baginya, daripada mendengar Mira merasa tak ada yang mencintai.Mira menatap pada Aksa yang hanya diam. Dia tiba-tiba merasa kalau Aksa pasti tersinggung karena dia malah iri pada Alina.“Maaf kalau ucapanku salah. Sebenarnya aku hanya merasa, kenapa tidak bisa ingat apa pun dan tiap ingin mengingatnya, kenapa rasanya begitu sakit. Aku hanya bertanya-tanya, jika dulu aku pernah dicintai, apakah pria itu mencariku karena aku menghilang?”Mira merasa canggung setelah terlalu jujur pada Aksa.Aksa masih memperhatikan Mira, lalu berkata, “Kenapa kamu harus iri jika memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Dan, Arlo juga anakmu karena kamu menyusuinya, meski tidak secara langsung bukankah tetap sama, susu yang dia dapat berasal darimu.”Mira terkesiap. Dia menatap Aksa yang baru saja selesai bicara.“Kamu tidak keberatan? Padahal aku ini mirip istrimu, bukanka
Keesokan harinya. Mira dan Naya sudah ada di ruang makan bersama Arlo yang siap sarapan. Lalu beberapa saat kemudian Aksa datang dan bergabung dengan mereka.“Sebelum kamu berangkat kerja, aku ingin bicara sebentar,” kata Mira.“Kenapa tidak sekarang sekalian?” tanya Aksa keheranan.Mira melirik pada Arlo, membuat Aksa langsung paham.Mereka akhirnya sarapan lebih dulu, setelah sarapan Naya mengajak Arlo ke kamar untuk gosok gigi agar Mira bisa bicara berdua dengan Aksa.“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Aksa.“Aku harus pulang, tapi tidak mungkin bicara ini pada Arlo, jadi aku bicara dulu denganmu,” jawab Mira sedikit ragu saat bicara.Aksa terlihat tenang, tetapi sebenarnya dalam hatinya terkejut. Apa Mira ingin pulang karena pembahasan semalam? Namun, apa pun alasan Mira, Aksa tidak mungkin mencegah.“Tentu,” ujar Aksa karena tak bisa melarang sebab saat ini dia bukan siapa-siapa Mira.Mira bernapas lega mendengar balasan Aksa.“Tapi, bagaimana dengan Arlo? Dia tidak mungkin mem
Arlo duduk di mobil bersama Aksa. Dia bingung kenapa hari ini diajak ke perusahaan.“Papa, kenapa Alo disuluh ikut ke pelusahaan?” tanya Arlo sambil menatap sang papa.“Karena Mama sedang tidak sehat,” jawab Aksa berbohong tanpa menoleh pada Arlo.“Mama sakit? Kalau sakit halusnya Alo nemenin Mama, bukannya malah diajak ke pelusahaan,” protes Arlo.Aksa menghela napas kasar, lalu menatap pada Arlo.“Biar Mama istirahat sehari saja, Arlo pasti paham, kan?”Arlo melihat tatapan papanya yang begitu serius, membuatnya menunduk lalu menganggukkan kepala.**Kaira pergi ke rumah Aksa setelah dari rumah sakit, sedangkan Ilham harus tetap pergi ke perusahaan. Saat sampai di sana, Kaira melihat Bams memasukkan koper ke bagasi mobil, membuat Kaira penasaran, lalu mendekat menghampiri Bams.“Siapa yang mau pergi?” tanya Kaira.Bams tidak menjawab, tetapi menoleh ke belakang.Kaira menatap ke belakang, lalu melihat Mira dan Naya berjalan bersama ke arah mereka.“Kamu mau pulang?” tanya Kaira deng
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser