Aksa diam karena ucapan Mira, andai dia bisa bilang kalau Arlo anak Mira dan dia adalah suaminya, mungkin itu akan sangat melegakan baginya, daripada mendengar Mira merasa tak ada yang mencintai.Mira menatap pada Aksa yang hanya diam. Dia tiba-tiba merasa kalau Aksa pasti tersinggung karena dia malah iri pada Alina.“Maaf kalau ucapanku salah. Sebenarnya aku hanya merasa, kenapa tidak bisa ingat apa pun dan tiap ingin mengingatnya, kenapa rasanya begitu sakit. Aku hanya bertanya-tanya, jika dulu aku pernah dicintai, apakah pria itu mencariku karena aku menghilang?”Mira merasa canggung setelah terlalu jujur pada Aksa.Aksa masih memperhatikan Mira, lalu berkata, “Kenapa kamu harus iri jika memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Dan, Arlo juga anakmu karena kamu menyusuinya, meski tidak secara langsung bukankah tetap sama, susu yang dia dapat berasal darimu.”Mira terkesiap. Dia menatap Aksa yang baru saja selesai bicara.“Kamu tidak keberatan? Padahal aku ini mirip istrimu, bukanka
Keesokan harinya. Mira dan Naya sudah ada di ruang makan bersama Arlo yang siap sarapan. Lalu beberapa saat kemudian Aksa datang dan bergabung dengan mereka.“Sebelum kamu berangkat kerja, aku ingin bicara sebentar,” kata Mira.“Kenapa tidak sekarang sekalian?” tanya Aksa keheranan.Mira melirik pada Arlo, membuat Aksa langsung paham.Mereka akhirnya sarapan lebih dulu, setelah sarapan Naya mengajak Arlo ke kamar untuk gosok gigi agar Mira bisa bicara berdua dengan Aksa.“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Aksa.“Aku harus pulang, tapi tidak mungkin bicara ini pada Arlo, jadi aku bicara dulu denganmu,” jawab Mira sedikit ragu saat bicara.Aksa terlihat tenang, tetapi sebenarnya dalam hatinya terkejut. Apa Mira ingin pulang karena pembahasan semalam? Namun, apa pun alasan Mira, Aksa tidak mungkin mencegah.“Tentu,” ujar Aksa karena tak bisa melarang sebab saat ini dia bukan siapa-siapa Mira.Mira bernapas lega mendengar balasan Aksa.“Tapi, bagaimana dengan Arlo? Dia tidak mungkin mem
Arlo duduk di mobil bersama Aksa. Dia bingung kenapa hari ini diajak ke perusahaan.“Papa, kenapa Alo disuluh ikut ke pelusahaan?” tanya Arlo sambil menatap sang papa.“Karena Mama sedang tidak sehat,” jawab Aksa berbohong tanpa menoleh pada Arlo.“Mama sakit? Kalau sakit halusnya Alo nemenin Mama, bukannya malah diajak ke pelusahaan,” protes Arlo.Aksa menghela napas kasar, lalu menatap pada Arlo.“Biar Mama istirahat sehari saja, Arlo pasti paham, kan?”Arlo melihat tatapan papanya yang begitu serius, membuatnya menunduk lalu menganggukkan kepala.**Kaira pergi ke rumah Aksa setelah dari rumah sakit, sedangkan Ilham harus tetap pergi ke perusahaan. Saat sampai di sana, Kaira melihat Bams memasukkan koper ke bagasi mobil, membuat Kaira penasaran, lalu mendekat menghampiri Bams.“Siapa yang mau pergi?” tanya Kaira.Bams tidak menjawab, tetapi menoleh ke belakang.Kaira menatap ke belakang, lalu melihat Mira dan Naya berjalan bersama ke arah mereka.“Kamu mau pulang?” tanya Kaira deng
Kaira langsung menghampiri Arlo. Dia berjongkok di depan Arlo lalu mencoba menenangkan.“Arlo, dengerin Bibi Kai dulu, ya.” Kaira mencoba membujuk.Aksa hanya diam. Baru kali ini dia tidak tahu harus bagaimana bersikap.“Mamanya Alo hilang. Mama bilang nggak akan ninggalin Alo, kok sekarang pelgi ninggalin Alo.” Arlo bicara sambil menangis sesenggukan.“Iya, Bibi tahu. Tapi Mama pergi karena ada alasannya,” kata Kaira.Arlo masih menangis sambil menatap Kaira, bahkan kini wajahnya basah karena banjir air mata..“Mama harus pulang dulu karena sedang nggak sehat. Tapi nanti, kalau sudah selesai diperiksa, Mama akan pulang,” ucap Kaira penuh kelembutan.“Tapi kenapa nggak ajak Alo. Mama sudah janji kalau mau ajak Alo,” rengek Arlo tetap tidak mau menerima penjelasan Kaira.“Kan Mama mau ke rumah sakit, harus periksa. Nggak boleh ajak Arlo, kalau Arlo ikutan sakit gimana?” Arlo diam setelah mendengar penjelasan Kaira.Kaira tersenyum melihat Arlo agak tenang, lalu kembali berkata, “Mama
Awalnya Mira terkejut ketika melihat pria yang menghalangi langkahnya, tetapi sedetik kemudian dia tersenyum saat tahu siapa pria itu.“Apa kamu sakit?” Mira menggeleng saat mendengar pertanyaan pria itu lagi.“Tidak, Tuan Gabriel. Saya hanya baru saja melakukan check up,” jawab Mira.“Ah, begitu ya.” Pria bernama Gabriel itu mengangguk-angguk mengerti.Mira sopan kepada pria itu karena Gabriel juga selalu sopan setiap kali bertemu dengannya.“Anda sendiri, apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Mira.“Aku … baru saja menjenguk klien yang dirawat di sini lalu melihatmu berjalan sendirian,” jawab Gabriel.Mira mengangguk-angguk paham.“Kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Mira.Gabriel mengangguk, lalu membiarkan Mira pergi. Dia memperhatikan Mira yang berjalan menuju pintu keluar, lalu menoleh pada asisten yang berdiri di sampingnya sejak tadi.“Apa informasi yang kamu berikan sudah kamu pastikan kebenarannya?” tanya Gabriel.“Sudah, Pak.”Gabriel diam. Dia masih terus memandang pada
Keesokan harinya. Aksa benar-benar mengajak Arlo ke rumah Nenek Agni. Sesampainya di sana Arlo langsung berlari mencari nenek buyutnya.“Senangnya lihat Arlo di sini,” ucap Nenek Agni dengan senyum merekah penuh kebahagiaan.Aksa baru saja masuk dan melihat Arlo sudah bersama Nenek Agni.“Nenek Uyut, Mamanya Alo pelgi. Masa Alo ditinggal,” keluh Arlo pada Nenek Agni.Nenek Agni langsung menatap pada Aksa, dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.“Pergi? Pergi ke mana lagi?” tanya Nenek Agni dengan tatapan cemas.“Dia ada urusan, aku tidak mungkin menghalanginya pergi,” jawab Aksa sambil meletakkan tas milik Arlo di sofa..Saat itu Sasmita baru saja turun dari lantai atas, dia begitu senang melihat Arlo datang ke rumah. Dia langsung memeluk bocah itu.Aksa melihat sang mama yang bahagia karena kedatangan Arlo, meski begitu dia tetap saja memasang wajah datar.“Arlo mau di sini seharian, jika kalian tidak keberatan, aku akan meninggalkan Arlo di sini,” ujar Aksa.Sasmita menol
Aksa menggendong Arlo ke kamar, lalu membaringkan di ranjang agar bisa segera tidur.“Kenapa Mama belum pulang-pulang? Apa Mama akan pelgi lama sepelti dulu?” tanya Arlo sambil menatap sendu.Arlo menatap penuh harap pada papanya. Sorot matanya benar-benar menunjukkan kegelisahan dan ketakutan jika kehilangan sang mama lagi.Aksa mengusap lembut rambut Arlo, lalu berkata, “Mama tidak akan pergi lagi, Arlo tidak perlu takut.”“Kalau tidak pelgi lagi, kenapa tidak pulang-pulang?” tanya Arlo.Aksa mencium kening Arlo, lalu menjawab, “Karena Mama masih ada urusan, seperti Papa kalau ke luar kota untuk mengurus bisnis.”“Lusa papa juga harus ke luar kota untuk urusan bisnis. Arlo mau di rumah Bibi Kaira atau di rumah Nenek?” tanya Aksa karena kali ini tidak bisa mengajak Arlo.“Kalau Papa pelgi, nanti pulangnya bawa Mama pulang sekalian, ya.” Arlo menatap penuh harap. Dia tidak bisa lama-lama berjauhan dari Mira.Aksa diam sejenak, lalu membalas, “Papa tidak janji.”**Di tempat Mira. Dia
Aksa pergi ke kota tempat undangan acara akan diadakan. Namun, dia pergi sendiri karena Ilham tidak ikut. Asistennya itu harus mengurus Kaira yang sedang hamil muda dan kondisi fisiknya kurang baik.Aksa menginap di hotel yang akan dijadikan tempat pesta. Kini dia duduk di tepian ranjang sambil menatap pada ponselnya. Aksa sedang ragu, membuatnya terus memandangi benda pipih itu, tanpa tahu harus berbuat apa.Sampai akhirnya Aksa mengetik pesan, lalu dikirimkan ke Mira.[Kamu sedang sibuk?]Aksa menunggu balasan dari Mira, tetapi ternyata pesannya sama sekali belum dibalas.“Apa dia sibuk?” Aksa bertanya-tanya sambil terus berpikir.Aksa masih gelisah, terutama karena
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser