Malam harinya. Aksa duduk di ruang keluarga menunggu Mira keluar dari kamar Arlo. Saat melihat Mira keluar, Aksa langsung menghampiri. “Mira!” panggil Aksa. Mira menghentikan langkah. Dia menoleh ke arah Aksa datang. Naya yang bersamanya juga ikut berhenti dan melihat Aksa berjalan menghampiri mereka. “Bisa bicara sebentar?” tanya Aksa lalu melirik pada Naya. Naya langsung paham. Dia pamit pergi ke paviliun lebih dulu. “Mau bicara apa?” tanya Mira. Aksa mengajak Mira bicara di ruang kerjanya agar lebih privasi karena ini menyangkut soal masalah pribadi. “Kamu ingin membahas apa?” tanya Mira penasaran karena Aksa sampai mengajaknya ke ruang kerja. “Aku sudah mendapatkan informasi tentang pelaku yang berniat menculikmu, benar dugaanku kalau dua pelaku itu hanya orang suruhan,” ujar Aksa. Mira terkesiap sampai menegakkan badan. “Apa kamu kenal dengan pria bernama Raffan?” tanya Aksa kemudian. “Raffan?” Mira syok. “Ya, aku kenal. Terakhir kali aku bertemu dengannya di pesta sa
Hari berikutnya. Aksa di kamar bersiap-siap untuk ke kantor. Arlo ada di kamar Aksa sambil memasang wajah cemberut.“Kalau Papa kelja, telus Mama pelgi gimana?” tanya Arlo dengan tatapan cemas.Aksa sedang mengikat dasi. Dia memutar tubuh lalu memandang Arlo yang tampak cemas. Aksa berjalan menghampiri Arlo, lalu berjongkok di depan putranya itu.“Arlo mau Mama tetap di sini?” tanya Aksa sambil menggenggam kedua telapak tangan Arlo.Arlo mengangguk-angguk.“Kalau begitu, jangan sampai Mama pergi. Bagaimanapun caranya, Arlo harus bikin Mama tetap di sini, bagaimana? Mama sayang sama Arlo, jadi dia akan menuruti keinginan Arlo,” ujar Aksa memprovokasi karena hanya Arlo yang bisa menahan Mira tetap di sana.Arlo melebarkan senyum, lalu menganggukkan kepala dengan cepat. Dia berpikir papanya akan menasihati agar tidak menahan Mira, tetapi ternyata malah sebaliknya.“Oke, Deal. Kita harus bikin Mama betah dan tinggal terus di rumah ini.” Aksa mengangkat tangan untuk melakukan tos.“Deal, P
Arlo sedang bermain mobil bersama Naya di halaman depan. Arlo sangat senang karena sekarang memiliki teman dan tidak bermain sendirian.“Mama, ayo main!” ajak Arlo saat menghampiri Mira yang duduk di kursi.Mira ingin berdiri, tetapi dia mendapat panggilan lebih dulu.“Arlo main dulu, ya. Aku jawab panggilan ini dulu,” kata Mira lalu segera menjawab panggilan dari Daniel.Arlo tak langsung pergi, dia memperhatikan Mira yang menerima telepon.“Ya, aku masih di sini. Entah, aku belum tahu akan pulang kapan. Nanti aku kabari kalau mau pulang,” ujar Mira.Arlo menatap tak senang mendengar Mira membahas soal pulang. Dia diam berpikir, papanya bilang agar menahan sang mama untuk tak pergi, jadi Arlo harus berusaha membuat Mira tetap tinggal di rumah itu.“Oke, nanti aku hubungi lagi,” ucap Mira lalu mengakhiri panggilan itu.Mira menoleh ke arah taman, dia terkejut karena ternyata Arlo masih ada di sampingnya.“Kok nggak main lagi?” tanya Mira.Arlo memasang wajah sedih, lalu bertanya, “Mam
Naya terkejut melihat Mira berlari. Dia ikut mengejar karena ada orang mencurigakan berlari ke arah Arlo.“Arlo!” Mira berlari sekuat dia bisa untuk menggapai Arlo.Karissa melihat Mira ingin melindungi Arlo. Dia mengarahkan belati untuk menusuk bocah kecil itu, tepat saat Mira berhasil meraih tubuh kecil itu.Mira memeluk Arlo, melindungi anak itu menggunakan tubuhnya, sehingga saat belati yang dihujamkan mengarah ke mereka, ujung belati itu menggores lengan Mira.“Mama!” teriak Arlo panik dan ketakutan.Mira meringis menahan sakit. Dia terjatuh di rerumputan sambil memeluk Arlo.Tatapan mata Karissa begitu emosi melihat Mira melindungi Arlo. Dia hendak menusuk sekalian Mira, tetapi tangannya dicekal Naya.“Tolong!” Naya berteriak sambil menahan tangan orang yang hendak menusuk Mira.Karissa memberontak, tetapi Naya menggenggam tangan Karissa kuat, bahkan belati yang Karissa pegang akhirnya jatuh di rumput.Naya berusaha terus menahan Karissa agar tidak lepas, meski sadar jika nyawan
Setelah mengantar Mira dan yang lain pulang ke rumah. Aksa pergi bersama Bams ke rumah Rudi untuk mencari Karissa.Saat sampai di rumah pria itu. Aksa turun dengan sikap arogan, masuk tanpa menunggu dipersilakan sehingga membuat pelayan di rumah Rudi panik.“Sepertinya kamu lupa, apa namanya itu sopan santun.” Rudi menemui Aksa setelah pelayan memberitahu kedatangan pria itu ke rumahnya.Aksa tersenyum miring.“Kamu terlalu munafik, atau aku yang terlalu baik padamu selama ini? Kamu berucap soal sopan santun, bagaimana dengan putrimu?” Aksa menatap tajam ketika bicara.Rudi terkesiap, tetapi dia berusaha untuk tenang.“Di mana dia, serahkan dia padaku
Aksa pergi ke kamar Arlo setelah Mira dan Naya kembali ke paviliun. Saat sampai di kamar, ternyata Arlo bangun dan sedang menangis.“Mama mana?” tanya Arlo sambil menangis karena tidak melihat Mira di kamar.Aksa langsung mendekat, lalu memeluk Arlo. Dia bisa merasakan tubuh Arlo yang gemetar.“Mama di kamarnya, mau istirahat,” jawab Aksa sambil menenangkan Arlo.Arlo masih menangis, lalu berkata, “Kalau mamanya Alo mati gimana? Nanti Alo nggak punya mama. Kenapa olang tadi jahat sekali mau nyakitin mamanya Alo.”Arlo masih trauma, dia syok karena kejadian yang terjadi begitu cepat.Aksa terus mengusap punggung Arlo, lalu membalas, “Mama b
Sesaat sebelumnya. Karissa panik karena wajahnya terlihat. Dia ingin pulang, tetapi tahu kalau Aksa pasti akan mencarinya di rumah, membuat Karissa memilih mengambil uang tunai, lalu pergi ke bandara.“Carikan tiket pesawat ke mana pun yang terbang sekarang juga!” perintah Karissa begitu panik.“Maaf, tidak ada penerbangan dalam satu jam ke depan dan empat jam ke depan baru ada penerbangan domestik,” ujar petugas saat melayani Karissa.Karissa gemetar, dia sudah panik dan kebingungan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya dia membeli tiket pesawat yang tadi disebutkan petugas. Dia menunggu di bandara, tetapi bersembunyi sampai jadwal keberangkatan penerbangan tiba.“Sialan, harusnya kubunuh sekalian dia!” gerutu Karissa.Sekarang dia menjadi buronan, padahal hanya sedikit melukai wanita yang dia anggap sebagai Alina.Karissa menunggu di bandara cukup lama, sampai akhirnya ada panggilan untuk masuk ke ruang tunggu keberangkatan sebelum jadwal penerbangan tiba. Ketika Karissa berj
Mira tidak istirahat setelah Arlo tidur. Dia duduk di depan paviliun, menunggu sampai Aksa pulang.Mira tadi melihat Aksa pergi karena sesaat setelah menutup pintu, Mira masih memperhatikan Aksa yang berjalan terburu-buru lalu melihat mobil sport di garasi meluncur pergi.“Dia ke mana?”Mira mendadak cemas. Entah kenapa dia merasa gelisah.Saat Mira masih menunggu sambil terus memandang ke gerbang, dia melihat mobil Aksa memasuki gerbang rumah. Secara impulsif Mira berdiri lalu berjalan cepat menghampiri mobil Aksa yang berjalan mengarah ke garasi.Bams segera membawa Aksa pulang. Dia tidak ingin Aksa mendapat masalah jika terlihat di tempat Karissa mengalami kecelakaan. “Kenapa dia belum istirahat?” Aksa menegakkan badan saat melihat Mira berjalan mengarah pada mobil mereka.Bams menoleh ke arah Aksa memandang, lalu berkata, “Mungkin Bu Alina mencemaskan Anda.”Bams menyebut nama Alina karena dia lebih nyaman memanggil dengan nama itu.Aksa menoleh sekilas pada Bams, lalu segera tur
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.