Ilham bekerja seperti biasa. Siang itu dia pergi ke restoran menemui perwakilan klien dari perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan Aksa. Ilham hendak memberikan berkas yang sudah dijanjikan. Saat Ilham mengikuti pelayan untuk menuju meja yang sudah disiapkan. Dia tidak sengaja melihat Kaira yang sedang duduk bersama Jefri. Ilham melihat Kaira memasang wajah kesal. Mungkinkah Kaira tidak senang? Ilham tidak memedulikan keberadaan Kaira dan mencoba bersikap biasa, dia memilih terus berjalan menuju mejanya tanpa menyapa Kaira. Di meja Kaira. Dia benar-benar merasa tidak suka dengan Jefri. Saat dia menoleh ke kiri, Kaira terkejut karena melihat Ilham yang berjalan di belakang pelayan. Dia sampai menegakkan badan dengan tatapan terus tertuju pada Ilham. “Kamu lihat apa, hah?” tanya Jefri dengan tatapan tidak senang. Dia ikut menoleh ke arah Kaira melihat. Ekspresi wajahnya berubah ketika melihat Ilham. Kaira mengabaikan pertanyaan Jefri. Dia sedih karena berpikir jika Ilham
Aksa memperhatikan Alina yang sedang menyiapkan makan malam. Dia hanya bisa duduk karena tidak diperbolehkan membantu memasak. Bahkan ingin membantu mengupas bawang saja tidak diizinkan. Mereka mendapat satu ikan dari hasil memancing seharian. Aksa meminta Alina untuk memasak ikan itu karena ingin tahu rasanya ikan hasil tangkapan sendiri. Sekarang Alina sibuk mengurus ikan yang diinginkan Aksa. “Kamu yakin tidak mau aku bantu?” tanya Aksa memastikan karena dia bosan. “Tidak usah, salah-salah jarimu yang tergores pisau,” balas Alina benar-benar memperlakukan Aksa seperti anak kecil tidak bisa apa-apa. Aksa menghela napas. Saat kebosanan melanda, Aksa mendapat panggilan dari Ilham. “Ilham menghubungiku, aku jawab sebentar,” kata Aksa lalu keluar dari dapur. “Apa ada masalah?” tanya Aksa saat menjawab panggilan dari Ilham. “Pak, maaf menghubungi Anda yang sedang liburan.” “Ada apa? Katakan saja!” perintah Aksa. “Saya mau membahas soal Kaira.” Aksa diam. Dia mendengarkan apa yan
Aksa masih menunggu di ruang perapian. Dia penasaran apa yang dilakukan Alina sampai memintanya tetap di sana. “Dia sedang apa?” Aksa mulai tak sabar. Aksa berdiri lalu berjalan menuju kamar. Sesampainya di depan pintu, Aksa mengetuk lebih dulu. Jangan sampai dia salah bertindak lalu terkena amukan Alina. “Al, sebenarnya kamu sedang apa? Setengah jam kamu di kamar, apa kamu tertidur?” tanya Aksa. “Masuklah!” Aksa lega Alina mempersilakan masuk. Dia membuka pintu lalu masuk, dia terkejut melihat Alina sampai kelopak matanya mengerjab. Alina menggigit bibir bawah melihat Aksa malah diam. “Aneh, ya? Kalau aneh, aku tidak akan memakainya lagi,” kata Alina agak canggung. “Siapa bilang?” Aksa membalas dengan cepat. Dia berjalan menghampiri Alina. Alina mengusap tengkuk. Dia malu tetapi sudah terlanjur melakukannya karena ingin menyenangkan suaminya, mumpung mereka liburan. Alina memakai lingerie merah lengkap dengan kimono tipis. Dia butuh setengah jam hanya untuk meyakinkan, apak
Alina dan Aksa akhirnya pulang setelah berlibur beberapa hari. Aksa langsung berganti pakaian begitu sampai rumah.“Kamu mau langsung ke perusahaan?” tanya Alina keheranan padahal mereka baru sampai.“Iya, hanya sebentar untuk mengecek sesuatu. Tidak apa-apa, kan?” Aksa bertanya sambil berhenti mengancingkan manik kemeja.Alina mengangguk, mana mungkin dia melarang suaminya yang notabene gila kerja.“Aku mau ke butik, ya. Kasihan Mitha tidak aku tengok sama sekali,” kata Alina meminta izin.“Boleh,” balas Aksa, “tapi Bams harus ikut denganmu,” imbuh Aksa.Alina mengangguk.Alina pergi bersama Bams setelah Aksa berangkat. Mereka langsung ke butik begitu sampai di mall.“Liburannya sudah selesai, Bu?” tanya Mitha menyapa.“Iya,” jawab Alina, “maaf sudah bikin kamu repot dan kerja sendiri,” ucap Alina.“Ah, Ibu. Kenapa minta maaf, sudah tugas saja juga buat mengurus toko, Bu.”Alina tersenyum.“Bagaimana penjualannya?” tanya Alina.“Sangat bagus, Bu,” jawab Mitha penuh semangat, “bahkan
Di perusahaan Aksa. Dia sedang membahas rencana yang Ilham sampaikan sebelumnya.“Saya sudah mengumpulkan ini, Pak.” Ilham memberikan beberapa kertas berisi informasi pada Aksa.Aksa mengambil kertas itu, lalu membacanya dengan teliti.“Saya mau menggunakan informasi itu untuk membebaskan Kaira. Saya benar-benar tidak bisa melihat Kaira diperlakukan kasar,” ujar Ilham.Aksa masih membaca sambil memasang wajah datar.“Sepertinya ini masih kurang. Jika dilihat dari watak Pak Dimas, dia tidak akan memercayai jika hanya melihat informasi sepertinya. Dia malah akan menuduhmu memfitnah,” ujar Aksa.“Karena itu, saya butuh bantuan Anda. Tanpa wewenang dan kekuasan Anda, saya tidak bisa mendapatkan bukti lebih banyak kebusukan pria itu,” ujar Ilham.“Mudah, tentu saja aku akan membantu,” balas Aksa sambil meletakkan kertas di meja.Ilham mengembangkan senyum, lalu memuji dengan berkata, “Anda memang terbaik, Pak.”Aksa menatap datar.Ilham diam. Dia melipat bibir, lupa kalau atasannya tidak su
Shinta menatap suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Ternyata yang kamu katakan benar,” kata Shinta.Restu menatap ke istrinya itu, lalu menghampiri Shinta yang duduk di tepian ranjang.“Karena itu aku mencari tahu. Aku tenang kamu memahami dan mendukungku,” ujar Restu sambil duduk di samping Shinta. Dia meraih tangan istrinya itu lalu menggenggamnya erat.“Sekarang sudah tahu, lalu bagaimana? Apa rencanamu?” tanya Shinta penasaran.Restu menghela napas kasar, lalu menjawab, “Aku butuh memastikan sesuatu lagi. Setelahnya baru mengambil keputusan.”Shinta mengangguk-angguk pelan.“Aku akan tetap di sini sementara waktu sambil mengurus pabrik, kamu tidak masalah jika pulang lebih dulu, kan?” tanya Restu.“iya,” jawab Shinta.**Keesokan harinya. Aksa dan Alina pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis untuk melakukan pengecekan apakah Alina subur atau tidak.Aksa sebenarnya tidak mau melakukan ini, tetapi karena Alina terus cemas dan membahasnya, membuat Aksa terpa
Siang hari berikutnya. Alina pergi ke kafe untuk membeli kopi sebelum ke butik. Saat akan mengantri untuk memesan, Alina tidak sengaja berpapasan dengan Bima yang baru saja mengambil pesanan. Alina melihat Bima yang terkejut, sama seperti dirinya yang tak menyangka bertemu mantan kekasihnya itu di sana. Alina bersikap biasa seperti tak pernah ada masalah dengan pria itu. Bima tersenyum pada Alina, lalu ingin melewati wanita itu begitu saja. “Tunggu!” Siapa sangka Alina malah mencegah Bima pergi. Bima berhenti melangkah, lalu menoleh pada Alina. “Ada yang mau kubicarakan denganmu,” kata Alina. Bima tampak ragu, tetapi melihat Alina yang serius, dia akhirnya mengangguk mengiyakan. Mereka duduk saling berhadapan. Awalnya mereka hanya diam, sampai akhirnya Alina yang membuka percakapan. “Apa kamu yang memberitahu Aksa jika aku berada di bandara waktu itu?” tanya Alina memastikan karena merasa aneh saja tiba-tiba anak buah Aksa sudah sigap menculiknya. Bima melipat bibir,
Aksa baru saja pulang saat sore hari. Dia tidak melihat Alina di lantai bawah ketika baru saja masuk rumah, hanya ada pelayan yang menyambutnya.“Di mana Alina?” tanya Aksa.“Nona di kamar sejak tadi, Tuan. Dia belum terlihat turun sama sekali,” jawab pelayan dengan agak menundukan kepala.Aksa pergi ke kamar untuk menemui Alina. Saat sampai di kamar, Aksa melihat Alina yang ternyata tertidur di sofa. Dia mendekat lalu berjongkok tepat di depan Alina. Dia memandang wajah sang istri yang tidur dengan lelap sampai membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.Aksa menyadari sesuatu. Sekarang, dia mungkin takkan bisa tanpa Alina.Saat masih memperhatikan wajah Alina, tiba-tiba saja istrinya itu bangun dan terkejut melihat Aksa yang terus memandang.“Kamu sudah pulang, sejak kapan?” tanya Alina sambil mengumpulkan sisa kesadaran yang masih berada di alam mimpi.“Baru saja dan lihat kamu tidur di sofa,” jawab Aksa.“Iya, aku ketiduran,” ucap Alina.Alina bangun sambil mengucek mata. Dia h
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.