Mirza masih memandang ibu dan istrinya bergantian, sampai akhirnya Nenek Agni menjawab, “Tidak ada apa-apa.”“Aksa dan Alina mau datang, jadi aku baru saja minta pelayan untuk menyiapkan makan malam,” ujar Nenek Agni menjelaskan, tetapi lirikan matanya tertuju pada Sasmita.“Benarkah?” Mirza sangat senang. “Ini bagus, aku juga mau membahas sesuatu dengannya,” ucap Mirza lagi.Mirza pergi ke kamar untuk membersihkan diri.Nenek Agni kembali menatap tak senang pada Sasmita, lalu meninggalkan menantunya itu.**Alina dan Aksa sudah berangkat menuju rumah keluarga Aksa. Sejak dari rumah sampai di perjalanan, Alina sangat gugup bahkan sampai meremas jemarinya.“Apa kita tidak perlu membelikan sesuatu untuk Nenek dan orang rumah?” tanya Alina merasa harus membawa buah tangan ketika bertamu.“Tidak usah,” jawab Aksa, “lagi pula orang rumah pasti sudah menyiapkan semuanya.”Benar juga. Alina terlalu gugup sampai tidak ingat jika di rumah Aksa, tidak mungkin kekurangan sesuatu. Andai membawa ba
Nenek Agni mengajak Alina duduk di sebelahnya. Di pangkuannya sudah ada album berisi foto masa kecil Aksa.“Lihat, dia itu kecilnya menggemaskan dan suka sekali tertawa. Waktu besar jadi galak sekali,” ujar Nenek Agni sambil memperlihatkan setiap foto yang terdapat di album itu.Alina menahan tawa sambil memperhatikan foto Aksa. Suaminya itu memang sangat lucu ketika masih kecil, bahkan Aksa ternyata lumayan gemuk sampai pipinya benar-benar terlihat menggemaskan.“Dulu Aksa segemuk ini, sekarang bisa sekurus itu,” ujar Alina.“Ini foto dia berumur lima tahun,” balas Nenek Agni, “dulu dia suka sekali makan makanan manis, makanya agak gemuk. Sampai-sampai giginya ada yang rusak dan dia harus keluar masuk rumah sakit untuk pemeriksaan, makanya setelah itu mengurangi makanan manis saat gigi susunya berganti.”Alina mengangguk-angguk. ‘Pantas saja sekarang Aksa tidak suka makanan yang terlalu manis,’ batin Alina.Sasmita hanya diam mengawasi, tetapi dia masih bisa mengondisikan ekspresi wa
Keesokan harinya. Alina mendapat pesan dari Kaira ketika baru saja selesai mengganti pakaian. [Al, aku benar-benar sudah tidak tahan. Papa benar-benar keterlaluan.] Alina terkejut membaca pesan dari Kaira. Dia bingung dan panik harus melakukan apa untuk sahabatnya itu. Aksa baru saja keluar dari kamar mandi. Dia menghampiri Alina yang tampak panik. “Ada apa?” tanya Aksa. Alina menoleh pada Aksa, lalu menjawab, “Kaira mengirim pesan. Dia benar-benar tertekan dengan sikap papanya.” “Bagaimana caranya biar Kaira bertahan? Aku tidak mau dia berbuat nekat jika merasa tak punya jalan lain,” ucap Alina dengan ekspresi wajah panik dan cemas. “Bilang padanya, aku dan Ilham sedang mencari bukti agar Kaira tidak menikah dengan Jefri, jadi suruh dia bersabar sebentar lagi dan menunggu. Ini tidak akan lama,” balas Aksa. Alina mengangguk. Dia segera mengirim pesan pada Kaira agar sedikit tenang. ** Siang harinya. Alina pergi ke butik bersama Bams. Dia mengecek stok barang bersama Mitha. Sa
Aksa dan Ilham melakukan kunjungan ke Radja Mall. Saat sampai di sana, Aksa mengajak Ilham untuk pergi ke tempat Alina lebih dulu.Mereka naik ke lantai dua lalu berjalan menuju butik Alina.“Ada apa di sana?” tanya Aksa karena melihat seperti ada keributan di butik Alina.“Entah, Pak.” Ilham menggeleng tidak tahu.Aksa dan Ilham bergegas ke butik, keduanya terkejut karena ada perkelahian di sana. Apalagi Bams melawan tiga orang, membuat Ilham langsung berlari untuk membantu Bams sekalian melerai perkelahian itu.“Jangan membuat keributan di sini!” Ilham menarik salah satu pria yang hendak menyerang Bams, dia terkejut ternyata pria itu Jefri.“Kamu di sini juga, sepertinya memang kamu yang menyembunyikan Kaira!” tuduh Jefri saat melihat Ilham di sana.“Apa?” Ilham bingung. Dia sampai menoleh pada Alina.Alina sendiri masih tidak terima karena Jefri kasar. “Untuk apa kamu masih mencari Kaira? Kamu itu psikopat, bahkan pada orang yang tak kamu kenal saja berani kasar!”“Kamu bilang apa,
Setelah memastikan di luar mall aman. Aksa dan yang lain membawa Kaira pergi dari sana. Mereka pergi ke rumah Aksa karena hanya di sana tempat teraman untuk Kaira.Jefri tidak mungkin berani ke sana, apalagi penjagaan di depan rumah Aksa sangat ketat.Saat sampai di rumah Aksa. Mereka duduk bersama di ruang keluarga untuk membahas masalah Kaira. Saat itu Kaira menangis sambil memeluk Alina.Alina mencoba menenangkan. Dia sampai menatap Aksa dan Ilham bergantian karena Kaira menangis sampai seperti itu.“Sudah, Kai. Kamu tenang dulu, ya.” Alina mencoba menenangkan.“Aku benar-benar sudah tidak tahan. Papa benar-benar keterlaluan karena dia malah membela Jefri setiap aku mencoba menunjukkan kalau pria itu jahat dan kasar,” ucap Kaira setelah agak tenang.“Kenapa papamu jadi begitu? Bagaimana bisa dia mengorbankanmu hanya untuk status dan harta? Ini tak masuk akal sekali. Anak dan keluarga itu lebih penting, kali ini papamu benar-benar keterlaluan,” geram Alina.Ilham mengepalkan telapak
“Sepertinya ayah Kaira tidak tahu soal kelakuan Jefri,” balas Ilham, “selama ini saya diam bukan karena tidak peduli, tapi saya sedang mencari bukti agar bisa adu argumen dengan ayah Kaira jika itu dibutuhkan,” imbuh Ilham.Alina mengangguk-angguk.“Sekarang buktinya sudah ada, jadi saya yakin ayahnya tidak akan kekeh menjodohkan Kaira dengan Jefri lagi,” ujar Ilham penuh percaya diri.“Benar,” balas Alina, “aku masih tidak mengerti, kenapa papanya makin tidak waras? Apa dia masih tidak terima karena gagal menjodohkan Kaira dengan Aksa, lalu dia berusaha tetap menjodohkan Kaira dengan pria kaya?” Alina benar-benar keheranan dibuatnya. Dia melirik Aksa yang hanya diam di sebelahnya.“Aku tidak ada urusan dengan itu,” balas Aksa saat melihat lirikan mata Alina. “Ya sudah, yang terpenting sekarang bukti sudah didapat. Untung saja rencana yang disusun Ilham berhasil,” ujar Aksa kemudian.“Memangnya bukti apa yang kalian dapat?” tanya Alina penasaran. Dia menatap Aksa dan Ilham bergantian
Wajah Kaira benar-benar sembab. Dia menatap kesal pada Dimas yang selalu memaksanya. “Kenapa Papa kejam padahal aku sangat sayang Papa? Papa tidak tahu ‘kan, apa yang mau dilakukan Jefri padaku? Apa aku harus mengatakannya di depan banyak orang soal itu, agar Papa sadar kalau pria itu sangat buruk!” Kaira bicara dengan lantang. Dia terus menatap pada Dimas untuk memperlihatkan kesedihan dan tekanan yang dirasakan karena keputusan ayahnya. Alina dan yang lain terkejut. Mungkinkah yang dimaksud Kaira seperti yang ada di pikiran mereka saat ini? Dimas diam mendengar semua ucapan Kaira. Dia menatap datar ke putrinya itu. “Aku hanya butuh kebebasan. Pilihanku juga tidak seburuk yang Papa kira, tapi kenapa Papa keras kepala? Apa Papa tidak ingin melihatku bahagia? Apa aku ini hanya anak yang bisa dijadikan sebagai alat kerjasama bisnis? Jika benar begitu, aku lebih baik mati. Andai tidak bisa mati, aku lebih baik memilih putus hubungan dengan Papa!” Kaira meluapkan semua emosinya. Menge
Alina begitu lega karena masalah Kaira akhirnya selesai. Dia ada di kamar bersama Aksa, duduk sambil menyandarkan kepala di pundak suaminya itu.“Akhirnya masalah Kaira selesai, ya meski Kaira harus melepas semuanya,” kata Alina lalu menghela napas panjang.“Itu resiko dalam sebuah keputusan dan tindakan,” balas Aksa.Alina mengangguk.“Setidaknya dia tidak dipaksa menikah lagi dan tidak dijodohkan dengan pria yang salah. Semoga saja Ilham bisa bahagiakan Kaira,” ujar Alina penuh harap.“Kalau Ilham tidak membahagiakan Kaira, hukum saja,” balas Aksa.Alina tertawa. Ternyata suaminya bisa juga bercanda? Atau sebenarnya Aksa serius?Aksa menautkan jemari mereka, lalu memandang jari Alina masih memakai cincin sederhana yang dipilih Alina.“Apa kamu tidak mau ganti cincin?” tanya Aksa sambil mengamati cincin sederhana itu.Alina ikut menatap pada cincin, lalu membalas, “Ini cincin pernikahan, jadi tidak boleh diganti.”“Tapi ini terlalu sederhana, bagaimana kalau diganti dengan cincin yan
Siang itu Alina membantu Daniel pindah ke apartemen. Alina juga membantu Daniel memilih perabot untuk mengisi apartemen, disesuaikan dengan kebutuhan Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.“Aku tidak perlu banyak barang, ini sudah cukup.” Daniel sampai menggaruk kepala. Padahal bisa saja tinggal pesan dan kirim, tetapi Alina memaksa untuk tetap memilih sendiri.Alina masih mengecek barang-barang yang dibutuhkan Daniel, baru kemudian merasa tenang jika semua sudah terbeli.“Bagaimana dengan pakaianmu?” tanya Alina setelah selesai melakukan pembayaran dan menggunakan jasa toko untuk mengangkut barang yang dibelinya ke apartemen.“Aku minta tolong sopirnya Bibi untuk mengemas dan mengantar ke sini. Jadi tidak usah boros dengan beli pakaian baru,” jawab Daniel.Alina mengangguk-angguk.“Mama, Alo lapal.” Arlo sejak tadi ikut Alina ke sana-kemari, membuat bocah kecil itu sekarang kelelahan.Alina dan Daniel menoleh bersamaan pada Arlo, mereka sibuk sampai lupa kalau bocah kecil itu ikut d
Naya melihat wanita itu seperti gemetar. Apa wanita itu tidak menerima kedatangan mereka, atau ada hal lain sehingga respon wanita itu seperti ini?Bams mendekat pada sang ibu. Dia lalu memeluknya.Dalam sekejap, Naya melihat wanita itu menangis begitu kencang sambil mengusap punggung Bams.“Kamu akhirnya mau pulang. Ibu pikir kamu membenci ibu dan hina jika menemui ibumu ini.”Naya melihat wanita itu meraung. Dia menatap Bams yang memeluk erat tubuh wanita tua itu.“Yang penting aku pulang sekarang.”Bams melepas pelukan. Dia menatap sang ibu yang masih menangis.“Aku hanya tidak mau menjadi masalah buat Ibu. Kalau aku membencimu, untuk apa aku memintamu pindah ke sini?”Wanita itu masih menangis meski Bams sudah menjelaskan.“Aku datang karena ingin mengenalkan Ibu dengan seseorang,” ucap Bams.Wanita itu menghentikan tangisnya. Dia menatap Bams dengan wajah masih penuh air mata.Bams menggeser posisi berdiri, lalu menunjuk pada Naya.Wanita tua itu menatap ke arah Bams menunjuk. Di
“Nona, ini sudah saya buat rincian pesanan desain. Ini juga jadwal undangan Anda untuk acara fashion show tema spring.” Naya memberikan tablet pintar berisi jadwal Alina.“Terima kasih, Nay.” Alina menerima tablet itu, lalu mengecek data di dalamnya.Naya menunggu Alina merespon, lalu atasannya itu memandang ke arahnya.“Kalian jadi pergi hari ini, kan?” tanya Alina.“Jadi, makanya saya berikan dulu rincian ini agar Anda bisa menyiapkan desainnya. Anda tahu ‘kan, Anda terkenal tepat waktu, jadi jangan sampai terhambat sehari dua hari karena saya pergi,” balas Naya.Alina melebarkan senyum.“Iya, kamu memang paling mengerti aku,” ucap Alina, “jika ada apa-apa hubungi aku, ya.” Alina bicara sambil mengusap lengan Naya.Naya tiba-tiba memeluk Alina, membuat wanita itu terkejut.“Terima kasih, Nona. Anda selalu ada untuk saya dan menjadi satu-satunya keluarga untuk saya selama dua tahun ini,” ucap Naya.Alina terkesiap. Dia tersenyum lalu membalas pelukan Naya.“Kalau aku ini keluargamu,
“Dani bilang masih ada urusan di luar, jadi kita tidak perlu menunggunya makan malam,” ujar Alina setelah membaca pesan dari Daniel.Aksa baru saja berganti pakaian. Dia kemudian mendekat pada Alina yang masih duduk di tepian ranjang.“Bagaimana kondisi Anya? Dia sudah lebih baik?” tanya Aksa.Aksa juga bersimpati pada kondisi mental Anya karena selama dua tahun harus melihat sang ayah yang melakukan kekerasan pada sang ibu.“Jika dilihat dari luar, ya dia baik-baik saja. Dia bermain bersama Arlo dengan riang, bukankah itu bagus? Hanya saja, Jia tetap akan membawa Anya ke psikolog, hanya untuk memastikan saja, apa benar Anya baik-baik saja atau ada gangguan mental,” ujar Alina panjang lebar menjawab pertanyaan Aksa.Aksa mengangguk-angguk paham.Mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama. Sudah ada Naya, Bams, dan Arlo di sana.“Mama.” Arlo berlari menghampiri Alina yang baru saja datang.Aksa menghela napas, dia harus pasrah jika Alina diambil alih Arlo.Alina menggandeng
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak