Keesokan harinya. Alina mendapat pesan dari Kaira ketika baru saja selesai mengganti pakaian. [Al, aku benar-benar sudah tidak tahan. Papa benar-benar keterlaluan.] Alina terkejut membaca pesan dari Kaira. Dia bingung dan panik harus melakukan apa untuk sahabatnya itu. Aksa baru saja keluar dari kamar mandi. Dia menghampiri Alina yang tampak panik. “Ada apa?” tanya Aksa. Alina menoleh pada Aksa, lalu menjawab, “Kaira mengirim pesan. Dia benar-benar tertekan dengan sikap papanya.” “Bagaimana caranya biar Kaira bertahan? Aku tidak mau dia berbuat nekat jika merasa tak punya jalan lain,” ucap Alina dengan ekspresi wajah panik dan cemas. “Bilang padanya, aku dan Ilham sedang mencari bukti agar Kaira tidak menikah dengan Jefri, jadi suruh dia bersabar sebentar lagi dan menunggu. Ini tidak akan lama,” balas Aksa. Alina mengangguk. Dia segera mengirim pesan pada Kaira agar sedikit tenang. ** Siang harinya. Alina pergi ke butik bersama Bams. Dia mengecek stok barang bersama Mitha. Sa
Aksa dan Ilham melakukan kunjungan ke Radja Mall. Saat sampai di sana, Aksa mengajak Ilham untuk pergi ke tempat Alina lebih dulu.Mereka naik ke lantai dua lalu berjalan menuju butik Alina.“Ada apa di sana?” tanya Aksa karena melihat seperti ada keributan di butik Alina.“Entah, Pak.” Ilham menggeleng tidak tahu.Aksa dan Ilham bergegas ke butik, keduanya terkejut karena ada perkelahian di sana. Apalagi Bams melawan tiga orang, membuat Ilham langsung berlari untuk membantu Bams sekalian melerai perkelahian itu.“Jangan membuat keributan di sini!” Ilham menarik salah satu pria yang hendak menyerang Bams, dia terkejut ternyata pria itu Jefri.“Kamu di sini juga, sepertinya memang kamu yang menyembunyikan Kaira!” tuduh Jefri saat melihat Ilham di sana.“Apa?” Ilham bingung. Dia sampai menoleh pada Alina.Alina sendiri masih tidak terima karena Jefri kasar. “Untuk apa kamu masih mencari Kaira? Kamu itu psikopat, bahkan pada orang yang tak kamu kenal saja berani kasar!”“Kamu bilang apa,
Setelah memastikan di luar mall aman. Aksa dan yang lain membawa Kaira pergi dari sana. Mereka pergi ke rumah Aksa karena hanya di sana tempat teraman untuk Kaira.Jefri tidak mungkin berani ke sana, apalagi penjagaan di depan rumah Aksa sangat ketat.Saat sampai di rumah Aksa. Mereka duduk bersama di ruang keluarga untuk membahas masalah Kaira. Saat itu Kaira menangis sambil memeluk Alina.Alina mencoba menenangkan. Dia sampai menatap Aksa dan Ilham bergantian karena Kaira menangis sampai seperti itu.“Sudah, Kai. Kamu tenang dulu, ya.” Alina mencoba menenangkan.“Aku benar-benar sudah tidak tahan. Papa benar-benar keterlaluan karena dia malah membela Jefri setiap aku mencoba menunjukkan kalau pria itu jahat dan kasar,” ucap Kaira setelah agak tenang.“Kenapa papamu jadi begitu? Bagaimana bisa dia mengorbankanmu hanya untuk status dan harta? Ini tak masuk akal sekali. Anak dan keluarga itu lebih penting, kali ini papamu benar-benar keterlaluan,” geram Alina.Ilham mengepalkan telapak
“Sepertinya ayah Kaira tidak tahu soal kelakuan Jefri,” balas Ilham, “selama ini saya diam bukan karena tidak peduli, tapi saya sedang mencari bukti agar bisa adu argumen dengan ayah Kaira jika itu dibutuhkan,” imbuh Ilham.Alina mengangguk-angguk.“Sekarang buktinya sudah ada, jadi saya yakin ayahnya tidak akan kekeh menjodohkan Kaira dengan Jefri lagi,” ujar Ilham penuh percaya diri.“Benar,” balas Alina, “aku masih tidak mengerti, kenapa papanya makin tidak waras? Apa dia masih tidak terima karena gagal menjodohkan Kaira dengan Aksa, lalu dia berusaha tetap menjodohkan Kaira dengan pria kaya?” Alina benar-benar keheranan dibuatnya. Dia melirik Aksa yang hanya diam di sebelahnya.“Aku tidak ada urusan dengan itu,” balas Aksa saat melihat lirikan mata Alina. “Ya sudah, yang terpenting sekarang bukti sudah didapat. Untung saja rencana yang disusun Ilham berhasil,” ujar Aksa kemudian.“Memangnya bukti apa yang kalian dapat?” tanya Alina penasaran. Dia menatap Aksa dan Ilham bergantian
Wajah Kaira benar-benar sembab. Dia menatap kesal pada Dimas yang selalu memaksanya. “Kenapa Papa kejam padahal aku sangat sayang Papa? Papa tidak tahu ‘kan, apa yang mau dilakukan Jefri padaku? Apa aku harus mengatakannya di depan banyak orang soal itu, agar Papa sadar kalau pria itu sangat buruk!” Kaira bicara dengan lantang. Dia terus menatap pada Dimas untuk memperlihatkan kesedihan dan tekanan yang dirasakan karena keputusan ayahnya. Alina dan yang lain terkejut. Mungkinkah yang dimaksud Kaira seperti yang ada di pikiran mereka saat ini? Dimas diam mendengar semua ucapan Kaira. Dia menatap datar ke putrinya itu. “Aku hanya butuh kebebasan. Pilihanku juga tidak seburuk yang Papa kira, tapi kenapa Papa keras kepala? Apa Papa tidak ingin melihatku bahagia? Apa aku ini hanya anak yang bisa dijadikan sebagai alat kerjasama bisnis? Jika benar begitu, aku lebih baik mati. Andai tidak bisa mati, aku lebih baik memilih putus hubungan dengan Papa!” Kaira meluapkan semua emosinya. Menge
Alina begitu lega karena masalah Kaira akhirnya selesai. Dia ada di kamar bersama Aksa, duduk sambil menyandarkan kepala di pundak suaminya itu.“Akhirnya masalah Kaira selesai, ya meski Kaira harus melepas semuanya,” kata Alina lalu menghela napas panjang.“Itu resiko dalam sebuah keputusan dan tindakan,” balas Aksa.Alina mengangguk.“Setidaknya dia tidak dipaksa menikah lagi dan tidak dijodohkan dengan pria yang salah. Semoga saja Ilham bisa bahagiakan Kaira,” ujar Alina penuh harap.“Kalau Ilham tidak membahagiakan Kaira, hukum saja,” balas Aksa.Alina tertawa. Ternyata suaminya bisa juga bercanda? Atau sebenarnya Aksa serius?Aksa menautkan jemari mereka, lalu memandang jari Alina masih memakai cincin sederhana yang dipilih Alina.“Apa kamu tidak mau ganti cincin?” tanya Aksa sambil mengamati cincin sederhana itu.Alina ikut menatap pada cincin, lalu membalas, “Ini cincin pernikahan, jadi tidak boleh diganti.”“Tapi ini terlalu sederhana, bagaimana kalau diganti dengan cincin yan
Hari berikutnya. Alina dan Aksa pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter yang akan membacakan hasil tes mereka.Keduanya sudah ada di ruangan dokter, menunggu dokter yang sedang membaca hasil laboratorium.“Secara keseluruhan semuanya baik. Baik Pak Aksa atau Bu Alina sama-sama subur, jika memang belum diberi keturunan, itu hanya masalah waktu saja.”Alina langsung menggenggam telapak tangan Aksa. Dia sangat senang, bahkan senyum kelegaan terpampang di wajahnya.Aksa menatap Alina yang begitu lega, dengan begini sang istri tidak akan cemas dengan masalah kesuburan lagi.“Jadi kami tidak perlu mencemaskan apa pun?” tanya Aksa memastikan. Ini demi Alina agar tidak khawatir dengan kondisi tubuhnya sendiri.“Tidak perlu. Kondisi Bu Alina juga sangat baik, tidak ada tanda-tanda kista, miom, atau yang lainnya. Dia sangat sehat dan memang mungkin Tuhan saja belum memberi,” kata dokter, “jika Pak Aksa dan Bu Alina memang buru-buru ingin segera memiliki momongan, kalian bisa ikut program keha
“Baiklah, Nek. Kami pulang dulu,” pamit Alina lalu mencium punggung tangan Nenek Agni sebelum kemudian memeluknya.“Iya, hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa kabari nenek, ya.”Alina mengangguk paham. Dia masuk mobil lalu melambai pada Nenek Agni yang masih menunggu sampai mereka pergi.Aksa melajukan mobil meninggalkan rumah sang nenek.Nenek Agni masih berdiri menatap mobil Aksa pergi, lalu menghela napas kasar. Ternyata karena ucapan belum pasti bisa membuatnya panik sampai ketakutan. Dia bersyukur karena Aksa dan Alina meyakinkan jika keduanya sehat. Andai Tuhan tidak memberi keturunan, Nenek Agni juga tidak akan menyalahkan Alina karena dia memiliki tujuan sendiri, kenapa memaksa Aksa menikahi Alina. Di mobil. Alina masih memikirkan Nenek Agni.“Apa kamu merasa kalau sikap Nenek agak berbeda?” tanya Alina merasa ada yang janggal.“Ya, aku merasakannya,” balas Aksa memiliki pemikiran sama dengan Alina, “tapi apa pun itu, selama Nenek masih baik pada kita dan tidak marah, berarti
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.