“Mau sampai kapan kita nampung Kak Alina? Aku tuh nggak bebas. Mau apa-apa ngerasa nggak enak, mau beli ini takut diceramahi, mau jalan-jalan takut dinasihati. Lama-lama aku tuh nggak nyaman ada dia di sini. Kakak kamu itu sudah berumur kenapa nggak nikah? Jadi beban saja! Pantas saja Tuhan belum kasih kita momongan, soalnya kita masih ada beban Kak Alina!”“Kenapa kamu ngomong seperti itu? Bukankah dulu sebelum kita nikah, kamu setuju serumah dengan Kak Alina?”Alina berhenti mengulurkan tangan menyentuh gagang pintu saat mendengar suara adik iparnya. Dia mendengar iparnya mempermasalahkan dirinya tinggal di sana lagi. Ini bukanlah yang pertama kali Alina mendengar iparnya berdebat dengan sang adik.“Mau bagaimanapun, Kak Alina itu kakakku, Karin. Dia yang membesarkan dan bertanggung jawab kepadaku sampai aku besar. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, apalagi membiarkannya hidup sendirian di luaran sana.”Alina masih berdiri termangu di depan pintu, mendengarkan sang adik yang
Alina dan Aksa sudah berada di depan kantor urusan agama. Alina memandang bangunan itu, sebelumnya dia mengantar Dani mendaftar pernikahan, tetapi siapa sangka sekarang dia yang akan mendaftarkan pernikahannya dengan pria asing nan dingin yang ada di sampingnya sekarang ini. Alina melirik Aksa sekilas, tetapi buru-buru menatap kantor urusan agama itu lagi karena tak ingin membuat masalah jika Aksa tersinggung akibat tatapannya. Nenek Agni meninggalkan Alina berdua dengan Aksa karena Nenek Agni bilang ada keperluan, sehingga dia dan Aksa harus mengurus surat nikah mereka berdua saja. Alina mendengar suara dehaman dari Aksa, membuatnya menoleh dan melihat pria itu masih berdiri di sampingnya. “Kita jadi masuk?” tanya Alina memastikan karena mereka sudah cukup lama hanya berdiri di sana. Alina tertegun. Aksa menoleh dan menatapnya datar, sejurus kemudian pria itu bertanya, “Apa kamu yakin mau melanjutkan pernikahan ini? Aku yakin kamu juga terpaksa karena didesak nenekku?” Tubuh A
“Apa kamu paham?” tanya Aksa memastikan.“Paham,” balas Alina masih menatap pria itu.Alina kembali diam. Dia tidak tahu harus bagaimana, semua yang terjadi hari ini terlalu mendadak untuknya.“Kamu butuh cincin pernikahan. Ikut denganku!” perintah Aksa kemudian menarik kesadaran Alina. Alina lalu melihat Aksa yang sudah melangkah menuju mobil yang terparkir di halaman KUA.“Kamu tidak perlu membelikanku cincin, aku akan pergi membelinya sendiri,” ujar Alina, mengejar langkah panjang Aksa.Di hadapan Alina, Aksa tiba-tiba berhenti lalu memutar tubuhnya menghadap Alina.“Pernikahan kita terjadi karena sama-sama membutuhkan. Kamu mau menikahiku saja sudah membuatku tenang. Tidak masalah jika kamu tak membelikanku cincin, aku bisa membelinya sendiri,” ucap Alina menjelaskan, merasa tak perlu menuntut apa pun dari Aksa.Alina tak ingin merepotkan Aksa lagi.Untuk beberapa saat Aksa hanya diam menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa Alina mengerti, apalagi tatapan pria itu kepadanya mam
Tiba-tiba Aksa sudah ada di sampingnya dan menatap Alina dengan tatapan penuh cinta?! “Kamu mengenalnya?” tanya Aksa lagi pada Alina sambil menatap dua wanita di hadapan mereka. Kakak Karin terkejut melihat Aksa. Meski berpenampilan sederhana, tapi Aksa terlihat gagah dan tampan. “Dia ....” Kakak Karin mendadak tergagap saat melihat Aksa. “Aku suami Alina. Kami ke sini untuk membeli cincin pernikahan kami, bukankah begitu, Sayang?” Aksa kembali menoleh pada Alina, remasan di pinggang Alina seolah menunjukkan jika Alina miliknya yang tak bisa diganggu. Alina mengerjap. Dia hampir kehilangan kendali saat ini. Sentuhan Aksa dan panggilan ‘sayang’ dari Aksa membuat jantungnya berdegup. Tepat saat itu pelayan toko juga datang dan meminta Aksa membubuhkan tandatangan pada kartu kreditnya untuk melanjutkan pembayaran. Di saat yang sama, kakak Karin melihat kartu kredit yang dipakai Aksa, senyum miring kembali menghias di salah satu sudut bibir wanita itu. Senyum mengejek karena tahu s
Alina sangat terkejut mendengar ucapan Karin. Selama ini dia hanya mendengar ucapan itu secara tak sengaja ketika Karin berdebat dengan Dani, tetapi sekarang Karin bicara langsung padanya tanpa rasa canggung sama sekali. “Mau Kak Alina hamil duluan atau tidak. Aku tidak peduli, yang terpenting Kak Alina segera pindah saja. Kak Alina tahu, ‘kan? Biaya hidup semakin tinggi, gaji Dani hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari dan keperluanku, adanya Kak Alina di sini hanya menjadi beban saja. Jatahku harus dipangkas karena Dani juga ingin memberi Kak Alina gajinya!” Karin bicara dengan nada ketus, tanpa menunjukkan rasa sopan juga pada Alina Karin berbicara sambil melipat kedua tangan di dada. Alina cukup terkejut mendengar Karin sekarang terang-terangan bicara seperti itu. Sejak awal, Alina merasa Karin bukan wanita yang baik bagi Dani, tetapi dulu dia setuju Dani menikahi Karin karena sang adik sangat mencintai wanita itu. Sekarang firasatnya terbukti, Karin memang tak pernah menyukai
Aksa pergi setelah mengantar Alina ke apartemennya.Saat sudah mengemudi jauh dari apartemen, Aksa menghentikan mobil di bahu jalan di mana ada sebuah mobil mewah sudah terparkir di sana.Aksa keluar dari mobil, lalu berjalan ke mobil mewah itu.Pria berpakaian sopir langsung mengambil alih mobil yang tadi dipakai Aksa untuk membawa mobil itu pergi dari sana.“Siang, Pak.” Seorang pria memakai setelan formal membungkuk menyapa Aksa yang baru saja datang.“Pakaian Anda sudah ada di dalam mobil,” ucap pria itu saat Aksa berdiri di depannya.Aksa tak banyak bicara. Dia langsung masuk mobil yang sudah dibuka oleh sopirnya, lalu mengganti pakaian sederhananya dengan setelan jas mahal yang sudah tersedia di sana.Setelah Aksa selesai berganti pakaian. Asisten pribadi dan sopir masuk mobil, mereka lantas pergi menuju perusahaan.“Bagaimana pernikahan Anda?” tanya asisten Aksa yang ikut di mobil itu.Aksa hanya menatap sang asisten dari kaca spion tengah.Ilham langsung membungkam mulut melih
Alina bosan berada di apartemen. Ingin kembali ke butik tapi takut jika Nenek Agni tahu dan berpikiran yang tidak-tidak.Alina akhirnya menghubungi sahabatnya, sekaligus ingin memberitahu soal pernikahannya.“Hm … ada apa, Al?” tanya Kaira dari seberang panggilan.“Kamu sedang sibuk?” tanya Alina memastikan dulu sebelum bicara, takut sahabatnya itu sedang bertemu klien atau yang lainnya lalu terkejut.“Tidak, aku malah rasanya ingin kabur dari pekerjaan yang melelahkan ini,” jawab Kaira terdengar begitu malas dari seberang panggilan.Alina mendengar sahabatnya itu tertawa, lalu dia membalas, “Sudah enak jadi direktur umum, memangnya seberat apa pekerjaanmu, hm?”“Sudahlah, ada apa menghubungiku? Kamu mau mengajakku jalan-jalan?” tanya Kaira.“Bukan,” jawab Alina, “aku hanya ingin memberitahumu kalau aku baru saja menikah hari ini,” ucap Alina penuh kehati-hatian.Hening untuk beberapa waktu.“Halo, Kai?”“Kamu bilang apa tadi? Menikah?! APA MAKSUDNYA ITU?” Suara Kaira menggelegar dari
Alina melihat Aksa yang berjalan mendekat ke arahnya. Alina panik dan tanpa sadar berjalan mundur hingga terbentur dinding di belakangnya. Tatapan Aksa yang sayu tetapi dalam padanya membuat Alina menelan ludah susah payah dengan jantung yang tiba-tiba berdegup sangat cepat. “Ada apa? Mau apa kamu?” tanya Alina yang panik dan waspada karena Aksa terus maju. Aksa sudah sangat dekat dengan Alina, bahkan wajah mereka kini begitu dekat. Alina menahan napas sampai memejamkan mata saat Aksa menunduk ke wajahnya, hingga Aksa tiba-tiba menjatuhkan kening di pundak Alina. Alina sangat terkejut sampai langsung membuka mata, mengerjap untuk beberapa saat. Akan tetapi, kemudian memegangi tubuh Aksa yang limbung dan hampir jatuh. Dia melirik wajah Aksa, pria itu ternyata memejamkan mata. “Aksa.” Alina memanggil tetapi tidak ada respon. “Aksa, bangun dan pergi ke kamarmu,” ucap Alina mencoba membangunkan Aksa yang bersandar pada pundaknya. Tubuh seorang pria biasanya lebih berat dibanding t
Sasmita tersenyum getir, lalu membalas, “Iya, sangat fatal.”Mira masih mendengarkan.“Dulu aku sangat jahat sama Alina, pernah membencinya hanya karena dia bukan dari keluarga kaya. Saat aku menyadari jika dulu pernah membuat kesalahan pada keluarganya, aku mencoba memperbaiki sikap dan hubungan, tapi terlambat. Aku salah,” ujar Sasmita lalu menceritakan soal kecelakaan Aksa saat remaja dan masalah darah yang membuatnya sangat merasa bersalah.Mira sangat syok mendengar cerita Sasmita. Dia merasa kalau Sasmita egois, tetapi kemudian berpikir, setiap orang tua apalagi seorang ibu, pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, meski pada akhirnya malah menyakiti orang lain.“Tidak perlu kasihan. Mungkin perginya Alina termasuk sebagai hukuman untukku karena aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk meminta maaf dan menebus semuanya,” ujar Sasmita dengan senyum getir di wajah.“Jika Bibi berniat berubah, aku yakin Tuhan akan membantu memaafkan dengan cara lain,” balas Mira.Sasmita menatap p
Nenek Agni menggenggam tangan Mira begitu erat. Dia takut kalau Aksa membawa pergi Alina dan menjauhkannya lagi darinya.“Alina sudah memaafkan nenek, Aksa. Apa kamu tidak bisa membiarkan dia tetap di sini sebentar?” Nenek Agni bicara dengan tatapan sendu.Mira menatap Nenek Agni yang menatap penuh harap pada Aksa, lalu menoleh pada pria itu.“Aku mau bicara dengannya sebentar,” kata Aksa.Nenek Agni masih enggan melepas, sampai akhirnya Mira yang membujuk.“Aku nanti balik lagi ke sini, Nek. Nenek tunggu, ya.”Setelah meyakinkan Nenek Agni, akhirnya Mira ikut Aksa. Pria itu masih menggenggam tangan Mira, membuat Mira pasrah karena jika langsung dilepas, Nenek Agni akan curiga.“Ada apa?” tanya Mira setelah Aksa melepas tangannya saat mereka sampai di ruang tamu.“Aku hanya mau bilang, jika keluargaku membahas soal Alina, jangan terlalu ditanggapi,” jawab Aksa. Dia cemas jika Mira memikirkan semua ucapan keluarganya.Mira agak bingung dengan sikap Aksa. Pria itu menggandeng tangan dan
Mira terkejut. Dia panik mendengar pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawabnya. Dia melirik pada Sasmita, meminta bantuan untuk bisa mengatasi pertanyaan Nenek Agni.“Alina selama ini di luar negeri, Ma. Apa pun penjelasannya, yang penting dia sudah mau pulang. Lagi pula, Mama tahu betul alasannya, kan?” Sasmita bicara, mencoba meyakinkan Nenek Agni.Nenek Agni diam sejenak, lalu kembali menatap pada Mira.“Alo ketemu Mama di Singapole waktu ikut Papa. Makanya, Alo ajak Mama pulang,” celoteh Arlo menyelamatkan kepanikan Sasmita dan Mira.Mira tersenyum canggung sambil mengangguk.Nenek Agni merasa sedikit aneh, tetapi dia mengabaikannya karena yang terpenting Alina ada di sini.“Kamu benar-benar sudah memaafkan kami?” tanya Nenek Agni seraya menatap penuh harap pada Mira.Mira menganggukkan kepala sambil memulas senyum.Nenek Agni begitu lega. Dia kembali memeluk Mira sambil berulang kali mengucap rasa syukur.Di luar kamar. Bams dan Naya menunggu di ruang keluarga. “Sepertinya maman
Mira akhirnya setuju pergi ke rumah Sasmita. Dia sebenarnya takut jika diminta berbohong, tetapi juga tidak tega melihat Sasmita yang sampai berlutut, sedangkan dia tidak mengenal wanita.“Apa kamu ada pertanyaan dari apa yang aku jelaskan tadi?” tanya Sasmita saat mereka masih di mobil dalam perjalanan menuju rumah.“Tidak ada,” jawab Mira.Sasmita tersenyum, lalu kembali berkata, “Terima kasih mau membantuku. Ya, aku tahu ini salah, tapi hanya ini satu-satunya cara agar dia bisa bangun dari ranjang.”Mobil mereka akhirnya sampai di rumah Sasmita.Mira dan yang lainnya turun. Arlo langsung menggandeng Mira saat akan masuk ke rumah.Semua pelayan dan pekerja di sana terkejut. Mereka gelagapan dan keheranan, sama seperti pelayan di rumah Aksa. Sepertinya Mira harus mulai terbiasa dengan situasi seperti ini, bisa saja di luar sana nanti, akan banyak yang terkejut seperti orang-orang di sini.“Beliau di kamar. Kita masuk sekarang,” ajak Sasmita.Mira mengangguk. Dia masuk ditemani Arlo d
Aksa berjalan di koridor perusahaan dengan kedua tangan terkepal. Sorot matanya menunjukkan rasa gelisah dan penasaran yang membuncah, tetapi ekspresi wajahnya terlihat tenang.“Silakan, Pak. Pak Restu sudah menunggu Anda di dalam,” kata Rizki saat menyambut kedatangan Aksa.Aksa mengangguk. Rizki membuka pintu ruangan Restu, lalu mempersilakan Aksa untuk masuk.“Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Restu seraya berdiri untuk menyambut kedatangan Aksa.Aksa tersenyum kecil, dia tidak membalas tetapi langsung duduk bersama Restu.Mereka duduk tanpa kata, sampai Rizki masuk menyajikan kopi, lalu kembali meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.“Pak Restu, Anda tahu kalau saya sangat menghormati Anda, bukan?” Aksa bicara sambil menatap pada Restu.Restu diam sejenak, lalu mengangguk.“Tentu saja. Kamu adalah pengusaha muda sukses yang paling menghargaiku,” balas Restu.“Jadi, saya punya pertanyaan, Anda tidak akan berbohong ketika menjawabnya, kan?” Aksa bicara sambil menatap begi
“Alina.”Mira berdiri saat wanita yang dihampiri Arlo memanggilnya dengan nama Alina. Ya, seperti orang lainnya yang salah mengira dan menganggap Mira adalah Alina.Bams dan Nara baru saja sampai di sana, lalu Bams terkejut ketika melihat Sasmita yang tiba-tiba memeluk Mira.Mira terkesiap. Wanita ini tiba-tiba memeluknya erat.“Maafkan mama, Alina. Mama benar-benar tidak pernah bermaksud jahat padamu.” Sasmita bicara sambil memeluk Alina.“Ini neneknya Alo, Mama.” Mendengar Arlo menyebut kata ‘mama’, membuat Sasmita yakin jika yang dipeluknya adalah Alina.Awalnya Mira memang bingung, tetapi akhirnya dia paham kenapa wanita paruh baya ini langsung memeluk dirinya.“Maaf, saya bukan Alina.”Sasmita terkejut. Dia melepas pelukan, lalu menatap pada wanita yang baru saja dia peluk. Jelas-jelas dia tidak salah lihat, lalu bagaimana bisa bukan Alina?“Nyonya, dia ini Nona Mira, tapi memang sangat mirip dengan Bu Alina.” Bams menjelaskan.“Bukan, ini mamanya Alo. Paman salah!” Arlo langsun
“Ini sudah malam. Aku balik ke kamar dulu, takutnya Arlo bangun dan mencari,” ucap Mira lalu berdiri dari posisi duduknya.Aksa mengangguk. Saat Mira akan melangkah pergi, Aksa memanggil.“Mira.”Mira menoleh dengan senyum manis di wajahnya.“Ya.”“Terima kasih karena mau menjaga Arlo dan menjaga perasaannya.”Mira terkejut Aksa sampai berterima kasih. Dia tersenyum sambil mengangguk lalu segera pergi meninggalkan dapur.Aksa masih ada di dapur, sampai beberapa saat kemudian Bams menghampiri dan duduk di kursi yang tadi Mira duduki.“Pak, apa Anda tidak berniat menemui dan bertanya pada Pak Restu soal Mira?” tanya Bams karena penasaran.Aksa hanya menatap tanpa menjawab, lalu Aksa berkata, “Cari informasi pasti ada hubungan apa antara Pak Restu dan Mira sampai Mira memiliki nama belakang Januarta, semisal memang Alina memalsukan kematiannya, tidak mungkin Pak Restu membantu begitu saja, kan? Pasti ada alasan yang masuk akal” ujar Aksa.Bams mengangguk-angguk mengerti.“Juga bantu seli
Mira baru saja selesai memandikan dan memakaikan baju Arlo. Naya di sana membantu Mira mengurus Arlo. “Arlo sudah tampan sekarang,” ucap Mira sambil menyisir rambut Arlo. “Alo tampan kayak Papa, tapi kayak Mama juga,” balas Arlo. Mira hanya tersenyum menanggapi ucapan Arlo. “Karena Papa sudah pulang, jadi aku harus pulang. Besok lagi kita mainnya, ya.” Ekspresi wajah Arlo langsung berubah. “Nggak mau! Mama nggak boleh pulang.” Arlo memeluk lengan Mira, takkan membiarkan Mira pergi dari rumah itu. Mira terkejut. Dia berusaha untuk membujuk. “Arlo, nggak boleh gitu, ya. Aku harus pulang, kan barang-barangnya ada di hotel, jadi harus pulang ke hotel,” ujar Mira. “Kalau begitu balang-balangnya dibawa ke sini!” Arlo tetap memeluk lengan Mira, takkan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Mira sampai menatap pada Naya dengan ekspresi bingung. “Mama nggak boleh pelgi!” Arlo melepas pelukan di tangan Mira, lalu mulai berguling di lantai. Mira dan Naya terkejut, apalagi Arlo terus
“Papa!” Arlo melihat sang papa berdiri termangu di kamarnya, membuat Arlo berteriak memanggil. Dia bahkan melambaikan tangan sambil melebarkan senyum dengan begitu ceria.Mira menoleh dan melihat Aksa yang ternyata sudah pulang.“Kamu sudah pulang, kupikir masih lama,” ucap Mira.Aksa sempat terdiam karena keterkejutannya melihat tahi lalat di leher belakang Mira, tetapi dia mencoba bersikap biasa dengan mengangguk menanggapi ucapan Mira.“Bams tadi bilang kalau kamu mungkin akan terlambat, jadi kupikir untuk mengurus Arlo sebelum kamu pulang,” ucap Mira agak canggung.“Ya, tadi ada beberapa pekerjaan yang memang harus diselesaikan, tapi semua sudah diselesaikan,” balas Aksa.Mira mengangguk-angguk.“Aku minta izin mandiin Arlo, dia berkeringat banyak karena seharian terus main,” ucap Mira begitu sopan.“Iya,” balas Aksa dengan anggukan kecil.“Ayo!” Mira menggandeng Arlo menuju kamar mandi.Arlo berjalan bersama Mira sambil melambaikan tangan pada Aksa.Aksa memandang Arlo yang begit