Setelah Nenek Agni dan yang lain pulang. Alina pergi ke kamar dan disusul Aksa.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aksa.
Alina membalikkan badan. Dahinya berkerut karena pertanyaan Aksa.
“Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?” Alina bersikap biasa.
Aksa menatap Alina. Dia melihat sikap Sasmita tak menyenangkan pada Alina setelah tadi bicara dengannya. Tanpa kata, Aksa tiba-tiba memeluk Alina, membuat istrinya itu terkejut.
Bola mata Alina membulat sempurna. Kenapa Aksa tiba-tiba memeluknya? Mungkinkah Aksa mencemaskannya?
“Bagaimanapun sikap Mama dan apa yang dikatakannya, jangan pernah dimasukkan ke dalam hati.”
“Tidak usah berlebihan dan mendramatisir!” Aksa tak habis pikir dengan Ilham yang dianggapnya lebay.“Kamu pria, seharusnya kamu bisa lebih tegas,” imbuh Aksa lagi.Ilham hanya diam.“Sudah, tidak usah terlalu berpikir jauh. Jalani saja. Kalau memang jodoh dan cinta, nantinya juga bersama,” ujar Aksa menasihati. Dia tidak ingin Ilham larut dalam kesedihan lalu mengganggu pekerjaan.Ilham tetap tidak bersemangat karena masih kecewa sebab Kaira tidak jujur sejak awal.“Jika memang kamu sudah memutuskan yang terbaik, ajak bicara Kaira secara baik-baik,” ucap Aksa memberi nasihat.Ilham hanya mengangguk.
Aksa menatap datar ke luar lobby, sedangkan Ilham tak menyangka akan ada kegaduhan seperti ini. “Maaf, Pak. Saya sudah melarang mereka, tapi mereka kekeh bertahan di sini,” ucap satpam yang berjaga di lobby. Aksa tak membalas. Dia memilih berjalan keluar hingga para wartawan yang sudah menunggunya langsung menyodorkan mic ke arah Aksa. “Kami dengar Anda memiliki hubungan dengan Karissa, model cantik yang sedang naik daun. Apa itu benar?” “Apa Anda bisa memberi sedikit klarifikasi atas berita ini?” Ilham mencoba menghalangi para wartawan agar tidak mendekat. Dia dibantu satpam mengamankan Aksa, tetapi tiba-tiba Aksa berhenti sebelum mencapai mobil. “Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya.” Aksa bicara dengan nada tegas dan ekspresi wajah datar. “Saya dengar, Anda dan Karissa dekat sejak masih sekolah, apa Anda tidak ada berniat menjadikannya istri? Kalian sangat cocok,” celetuk salah satu wartawan. “Wah, benar sekali,” timpal yang lain. “Kami tidak memiliki hubu
Ilham baru saja sampai di apartemen. Dia keluar dari lift yang baru saja terbuka di lantai unitnya berada dan terkejut ketika melihat Kaira yang sudah menunggunya di depan pintu. Ilham tidak mungkin menghindar.“Kenapa kamu mengabaikan semua pesan dan panggilanku?” tanya Kaira langsung menatap pada Ilham yang baru saja datang.Ilham menatap datar. Dia tidak menjawab pertanyaan Kaira dan memilih melangkah menuju pintu unitnya.“Aku ingin menjelaskan padamu,” kata Kaira saat Ilham sama sekali tak menatapnya.Ilham masih tidak merespon apa yang dikatakan Kaira. Saat dia hendak membuka pintu, Kaira mencekal tangannya.“Aku minta maaf,” ucap Kaira sambil menatap begitu dalam pada Ilham.Ilham akhirnya menatap pada Kaira, tetapi masih tidak merespon.“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” ucap Ilham datar. Bahkan dia melepas tangan Kaira yang memegang tangannya.Ilham mau masuk, tetapi Kaira kembali menghalanginya.“Kamu marah karena aku bohong? Aku ingin jujur, tapi keduluan ada Papa. Aku juga
Aksa baru saja dari ruang kerjanya setelah mengecek beberapa berkas. Saat masuk kamar, dia melihat Alina yang duduk melamun, bahkan sampai tidak sadar kalau Aksa masuk kamar.Aksa menghampiri Alina, lalu memeluk dari belakang sampai membuat Alina terkejut.“Kenapa kamu tidak tidur? Sedang memikirkan apa?” tanya Aksa.Alina melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya lalu menggeser posisi hingga bisa saling berhadapan dengan Aksa.“Kenapa wajahmu tegang?” tanya Aksa.“Aku sepertinya tidak yakin dengan konferensi pers yang kamu rencanakan,” kata Alina.Aksa tidak membalas. Dia menatap pada Alina yang memandangnya. Alih-alih membalas perka
Keesokan harinya. Alina bangun dengan tubuh yang terasa lelah, sampai-sampai dia malas untuk membuka mata dan memilih menikmati pelukan hangat suaminya yang sedikit posesif.“Aksa, ini sudah pagi. Kamu tidak bangun?” tanya Alina dengan suara berat, kelopak matanya masih terpejam.Hanya terdengar suara napas Aksa. Dia mempererat pelukan, lalu mencium pundak Alina yang terbuka.Alina menoleh, berusaha membuka mata lalu menggeser tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Aksa. Dia menatap wajah bantal suaminya, meski dalam kondisi tidur, suaminya itu tetap terlihat tampan, kan?“Ini sudah jam enam, kamu yakin tidak mau bangun?” tanya Alina.“Lima menit lagi,” jawab Aksa dengan suara parau dan masih
“Apa kamu benar-benar masih belum percaya kalau aku tidak akan kabur?” tanya Alina sambil menatap Aksa yang sedang mengikat dasi.“Tidak,” jawab Aksa tanpa menoleh pada Alina.Alina memanyunkan bibir. Dia mendekat pada Aksa, lalu meraih dasi yang akan diikat. Sambil membantu mengikat Alina berkata, “Lagian aku tidak bisa kabur, masa kamu masih tidak percaya?”Aksa menatap Alina yang bicara sambil mengikat dasi. Dia tidak membalas perkataan istrinya sampai Alina mendongak menatapnya.“Tetap ikuti aturanku jika kamu mau keluar!” Aksa kekeh pada keputusannya.Alina menghela napas kasar, pasrah.Aksa mengajak Alina turun ke bawah, ternyata sudah ada Bams menunggu mereka.“Mulai sekarang, Bams akan menjagamu. Ke mana pun kamu pergi, dia akan ikut,” kata Aksa.Alina memperhatikan wajah Bams, lalu dia ingat jika Bams pernah menolongnya dari amukan wanita waktu itu. Dia melirik Aksa, jadi apa benar jika Aksa sebenarnya memang sudah menjaganya sejak lama?Alina tiba-tiba saja merasa berbunga-b
Alina sudah siap pergi untuk mengecek tokonya. Dikarenakan harus menunggu jam buka mall, Alina tidak bisa datang ke sana pagi-pagi.“Anda sudah siap?” tanya Bams ketika melihat Alina menuruni anak tangga.Alina mengangguk.Mereka keluar dari rumah menuju mobil yang sudah disiapkan. Bams bahkan membuka pintu mobil bagian belakang untuk Alina.Alina terkejut. Dia merasa kurang nyaman dengan cara Bams.“Lain kali, tidak usah membukakan mobil untukku,” ucap Alina karena tidak terbiasa dengan itu.“Tapi ini sudah jadi bagian dari pekerjaan saya,” balas Bams.“Ya, anggap saja kamu sudah melakukannya tapi biarkan aku yang melakukannya,” ucap Alina.Bams bingung. Ya sudahlah, daripada dia salah.Mereka sudah masuk mobil. Alina duduk di kursi belakang, ini benar-benar membuatnya sedikit aneh, tetapi Alina juga harus mulai membiasakan diri.“Sejak kapan kamu bekerja dengan Aksa?” tanya Alina saat melihat Bams fokus menyetir.“Sudah sejak lama,” jawab Bams.Alina mengangguk-angguk, lalu bertanya
Aksa melihat Alina yang hanya mematung di tempatnya. Dia berdiri lalu menghampiri Alina.“Aku mengundangnya untuk sedikit mengubah penampilanmu,” ucap Aksa sambil menggandeng tangan Alina.“Ap-apa? Mengubah bagaimana maksudnya?” tanya Alina bingung.Aksa memanggil penata rias terkenal untuk me-makeover Alina. Ini agar Alina terlihat lebih menawan saat di depan kamera.“Ya, menata penampilanmu,” balas Aksa.“Tidak, tidak usah,” tolak Alina sambil menarik tangan dari Aksa.Aksa mengerutkan alis.“Kenapa tidak usah?” tanya Aksa.Alina
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.