Guys, perhari ini, 4 bab saja gimana? Aku tuh takut kalian bosan, target ini tamat Januari akhir. Kisah Alina tidak ada konflik lagi, tinggal bongkar gudang gula, wkwkwkwk tapi akan ada selingan kisah Daniel dan yang lain juga. Ya. Jadi, yang masih mau lanjut baca, aku terima kasih. Yang sudah mau berhenti cukup sekian, aku juga tidak mencegah. Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.
Daniel menatap pada tangan Aksa yang masih memakai penyangga. Dia sudah bertemu Aksa dan kini sedang duduk berdua di ruang keluarga karena Alina membuat minum.“Tanganmu kenapa?” tanya Daniel penasaran.“Gara-gara nekat menjadi superhero,” balas Aksa sambil menatap lengannya.“Apa kamu masih tidak mau memanggilku dengan sopan? Aku ini kakak iparmu,” ucap Aksa kembali menatap pada Daniel.Daniel menatap datar.“Bagaimanapun Alina sudah menerimaku lagi, harusnya kamu memanggilku dengan sebutan ‘Kak’ seperti dulu,” sindir Aksa berharap hubungannya dengan Daniel bisa seperti dulu.Daniel hanya menghela napas. Dia tidak berniat membalas ucapan Aksa.“Berhubung Kak Alina menerimamu lagi, kuharap kamu tidak menyiakan kesempatan kedua yang diberikan padanya. Kedua kalinya kamu berani menyakiti, kupastikan kamu tidak bisa melihat Kak Alina lagi!” ancam Daniel tak main-main.Aksa menanggapi ancaman Daniel dengan santai. Lagi pula, sekarang yang posesif Alina, Aksa yakin kalau Alina tidak akan m
Naya dan Bams menoleh bersamaan. Naya panik hingga gelagapan.“Oh, aku hanya tanya, apa dia--” Bams ingin bicara tapi Naya lebih dulu membungkam mulut Bams.“Tidak, tidak apa-apa, kami hanya sedang membahas desain,” ucap Naya dengan tangan masih menutup mulut Bams.Bams sampai melirik pada Naya karena mulutnya ditutup, tetapi dia tidak langsung menepis tangan wanita itu.Daniel mengerutkan alis. Menatap aneh pada Naya dan Bams.“Kak Alina memanggilmu. Dia bilang ada yang mau dibahas,” kata Daniel sambil menunjuk ke belakang menggunakan jempol.Naya mengangguk. Dia masih tidak sadar tangannya ada di mana, saat Bams menurunkan tangannya, Naya langsung menoleh.“Kalau begitu aku masuk dulu,” kata Naya. Namun, sebelum pergi, Naya memberikan isyarat pada Bams agar tidak membahas hal tadi.Daniel memandang aneh pada Naya yang berjalan cepat meninggalkan dia dan Bams.“Aneh sekali tingkahnya?” Daniel penasaran. “Memangnya apa yang kalian bicarakan tadi?” tanya Daniel kemudian pada Bams.“Tida
Alina turun ke lantai bawah untuk menyiapkan sarapan. Saat berjalan menuju dapur, Alina berpapasan dengan Daniel yang baru saja keluar kamar.“Kamu mau kopi?” tanya Alina langsung.“Iya,” jawab Daniel.Alina pergi ke dapur ditemani Daniel. Saat itu pelayan langsung paham dan semua menyingkir dari dapur.“Kenapa para pelayan pergi?” tanya Daniel keheranan karena semua orang pergi tanpa diperintah.“Oh, mereka sudah paham. Kalau aku mau memasak, mereka harus keluar dari dapur,” jawab Alina seraya menggulung rambut dicepol ke atas.Daniel mengangguk-angguk paham.“Mau aku bantu?” tanya Daniel.“Tidak usah,” tolak Alina, “sudah lama kamu tidak makan masakanku, kan? Duduklah dan tunggu,” ucap Alina.Daniel tersenyum. Akhirnya dia duduk sambil memperhatikan sang kakak yang sedang membuat kopi.“Mama!”Suara mungil menggema di rumah itu. Alina langsung menoleh karena Arlo akhirnya pulang.“Itu Arlo?” tanya Daniel berdiri sambil menoleh ke pintu dapur.“Iya.” Alina bergegas keluar dari dapur
Bams benar-benar mengajak Naya sarapan di penjual bubur yang ada di ujung jalan. Dia memperhatikan Naya yang menikmati sarapannya.“Enak, kan? Aku mana ada bohong,” ucap Bams penuh percaya diri.“Iya,” balas Naya. Dia menatap Bams yang sedang makan, tiba-tiba saja dia penasaran dan bertanya, “Apa saat Nona menikah dengan Pak Aksa, kamu sudah bekerja di rumah itu, makanya kenal Daniel?”Bams berhenti memasukkan suapan ke mulut. Dia menatap pada Naya yang sedang memperhatikannya.“Ya, jauh sebelum Bu Alina menikah dengan Pak Aksa,” jawab Bams lalu lanjut makan.Naya mengangguk-angguk pelan.“Kamu di rumah kerja sebagai apa? Sopir sajakah atau bekerja yang lainnya?” tanya Naya penasaran.Bams terbatuk karena tersedak. Dia melotot mendengar pertanyaan Naya.“Apa? Aku salah bicara?” tanya Naya karena respon Bams seperti itu.“Apa aku ada tampang sopir?” tanya Bams dengan ekspresi kesal disebut sopir.Naya mengulum bibir, sepertinya dia memang sudah salah bicara.“Sudahlah, kujelaskan kamu
“Hari ini tidak ke perusahaan. Apa kamu mau jalan-jalan atau pergi ke suatu tempat?” tanya Aksa sambil memperhatikan Alina yang sedang membereskan ranjang.“Mau ke mana, tanganmu saja sedang sakit,” balas Alina.Alina menoleh pada Aksa, lalu berjalan menghampiri suaminya yang duduk di sofa. Dia menatap lengan Aksa, lalu berkata, “Nanti kalau lenganmu sudah sembuh, bukankah kamu janji mau mengajakku jalan-jalan?”“Iya, memang,” balas Aksa, “tapi sekarang juga bisa, barangkali kamu bosan di rumah dan ingin jalan-jalan.”Alina menggeleng pelan. Dia mengambil buku sketsanya yang ada di bawah meja.“Aku ada pekerjaan, jadi lebih baik menyelesaikannya lebih dulu. Tahun depan aku juga menerima undangan untuk acara fashion show di Paris untuk desain baju musim semi. Huf … sepertinya pekerjaanku makin banyak,” ucap Alina seraya fokus pada buku sketsanya.Aksa menatap pada Alina yang siap menggoreskan pensil di buku sketsa.“Kamu sangat suka menjadi desainer sekarang?” tanya Aksa seraya meletak
“Kakakmu sudah yakin ingin tinggal di sini, apa kamu juga mau pindah ke sini lagi?” tanya Restu saat duduk bersama Daniel.Daniel diam. Dia menatap sang paman yang menunggu jawaban darinya.“Aku belum memikirkannya,” balas Daniel lalu menyesap teh buatan sang paman.Restu mencondongkan tubuh ke depan, menggunakan kedua lengan yang bertumpu di lutut untuk menyangga tubuhnya.“Apa kamu tidak bisa tinggal di sini karena takut teringat mantan istrimu?” tanya Restu menebak.Daniel terkejut, tetapi sedetik kemudian tersenyum getir.“Tidak, untuk apa memikirkannya,” jawab Daniel, “aku sudah tidak peduli lagi dengannya. Apalagi sejak tahu kalau dia selama ini membenci Kak Alina, wanita tak tahu diri yang tak tahu terima kasih, untuk apa aku ingat, Paman.”Daniel sudah melupakan Karin. Pergi ke rumah lamanya waktu itu pun karena ingin mengingat rumah yang dia bangun bersama sang kakak. Andai tidak ada kenangan bersama Karin di sana, mungkin Daniel mau menempatinya lagi.“Baguslah. Kamu memang h
Daniel tidak senang melihat seorang wanita mendapat kekerasan seperti ini. Apalagi lebam di rahang Jia begitu kentara, menandakan jika wanita itu benar-benar mengalami kekerasan. “Jika suamimu masih kasar, kenapa tidak kamu laporkan saja?” tanya Daniel. Bukan maksud ingin ikut campur, hanya saja dia memang tidak bisa melihat wanita teraniaya. “Ini bukan apa-apa, bukan masalah besar,” ucap Jia mencoba menghindari tatapan Daniel. Daniel menghela napas pelan. Dia masih menatap pada Jia, bertanya-tanya kenapa Jia harus bertahan atau menyembunyikan masalah kekerasan itu, jika memang suaminya tidak baik. Apa yang Jia takutkan? “Mama nangis karena Papa jahat.” Daniel terkejut. Dia menoleh dan melihat Anya turun dari mobil. “Anya.” Jia juga terkejut karena Anya tiba-tiba keluar dari mobil. Anya berjalan menghampiri Daniel. Dia menggenggam satu tangan pria itu. “Paman apa bisa bantu agar Mama tidak dipukuli Papa lagi? Papa jahat, Paman. Dia kalau pulang, pasti mukulin Mama.” A
Alina langsung menghampiri Daniel. Dia kaget melihat wajah sang adik penuh lebam, apalagi kemeja yang dipakai adiknya itu ada bercak darah.“Kamu kenapa? Berantem?” tanya Alina begitu cemas. Dia sampai memegang dagu Daniel untuk memeriksa luka di wajah Daniel.“Aku baik-baik saja. Kak Alina tidak perlu cemas,” jawab Daniel.“Tidak apa-apa bagaimana maksudnya, huh? Lihat wajahmu, bahkan pipimu begitu biru.” Alina kesal karena Daniel terlihat santai saja.Alina menarik tangan Daniel, mengajaknya masuk rumah untuk diobati.Arlo mengikuti Alina, Aksa ikut masuk menyusul Alina dan Daniel.Daniel duduk bersama Aksa selagi Alina mengambil kotak obat. Aksa memperhatikan wajah Daniel yang terluka.“Siapa yang menghajarmu?” tanya Aksa menyelidik.Daniel menatap pada sang kakak ipar. Dia menggeleng pelan seraya menggerakkan rahang yang terasa sakit.“Katakan saja, daripada kakakmu mengomel tujuh hari tujuh malam. Tidak mungkin tiba-tiba ada orang tak dikenal yang menghajarmu, kan? Apalagi kamu
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.