Aksa menatap pada Daniel yang duduk berhadapan dengannya. Adik iparnya itu sedang menuang cairan berwarna cokelat ke gelas kristal.“Kamu ke sini hanya minta untuk ditemani minum?” tanya Aksa.“Kamu tidak mau minum?” tanya Daniel seraya menyodorkan gelas ke arah Aksa.“Toleransi alkoholku rendah, bisa-bisa kakakmu menyuruhku tidur di luar jika aku mabuk,” jawab Aksa.Daniel mengedikkan bahu, lalu dia menenggak sendiri minuman yang tadi sempat ditawarkan ke Aksa.Aksa memperhatikan Daniel yang sedang minum. Dia merasa aneh, kenapa tiba-tiba adik iparnya ini datang dan minta ditemani minum?“Apa terjadi sesuatu? Kalau ketahuan kakakmu, bisa-bisa dia mengomel semalaman,” ujar Aksa.Daniel meletakkan gelas kosong di meja, lalu menatap Aksa.“Aku hanya butuh teman saja setelah aku melakukan hal gila,” ucap Daniel. Dia menyandarkan punggung ke belakang, lalu mengembuskan napas kasar seraya memandang langit yang bertabur bintang.Aksa mengerutkan alis.“Melakukan hal gila? Apa yang sudah kam
Daniel melepas tangan Karin yang menggenggamnya.“Apa kamu pikir selama tiga tahun ini aku tidak bisa melupakanmu? Apa kamu pikir, meski hubungan kita pernah berjalan sangat lama, perasaanku habis padamu? Asal kamu tahu, sejak mengetahui perselingkuhanmu, tidak ada secuil pun rasa yang tertinggal untukmu. Bahkan meski aku tidak menikah seumur hidupku, aku tidak akan mengulangi kesalahan sama yaitu mempercayai wanita sepertimu.”Daniel menatap dingin. Mungkin benar perasaannya sudah habis untuk cinta pertamanya itu, tetapi Daniel sudah menguburnya lalu menumbuhkan perasaan lain untuk wanita yang dianggapnya layak.“Lagi pula, aku sudah jatuh cinta pada wanita lain,” ucap Daniel lagi mencoba memukul mundur keinginan Karin untuk kembali padanya.“Dan, aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi. Aku benar-benar menyesal. Aku ingin ….” Karin menghentikan ucapannya saat melihat seseorang berdiri di samping Daniel.Daniel menoleh. Dia terkejut melihat Jia ada di sana.“Ternyata kamu bertany
Daniel bergeming menatap pada Jia. Tiba-tiba saja pikirannya kosong setelah mendengar apa yang Jia katakan. “Tu-tunggu, maksudmu?” tanya Daniel memastikan. Dia tidak mau jika salah menelaah.Jia melipat bibir, lalu menjawab, “Ayo menikah, tapi setelah aku resmi bercerai.”“Aku tidak tahu bagaimana pandanganmu soal aku yang tiba-tiba mengajak menikah, tapi yang jelas, aku hanya meneruskan apa yang kamu harapkan sebelumnya,” ujar Jia lagi.Daniel tiba-tiba menghela napas lega. Dia tersenyum lebar mendengar ucapan Jia.“Tentu,” balas Daniel, “pandanganku saat ini hanya senang. Aku hanya tak menyangka kamu menerimanya. Apa karena kamu kasihan padaku?” tanya Daniel memastikan.Andaipun Jia memang kasihan padanya, Daniel tidak peduli asal dia bisa bersama wanita itu membangun rumah tangga bersama, serta saling menjaga satu sama lain.Jia tampak berpikir seraya mengangguk pelan, lalu membalas, “Kasihan iya, tapi lebih dari itu, aku merasa kamu layak.”Daniel mengangkat kedua tangan seperti
Hari berikutnya. Alina menjemput Arlo yang sekarang sudah mulai bersekolah. Dia menunggu di depan gedung sekolah ketika jam sekolah berakhir..“Mama!” Arlo melambai ke arah Alina.Alina membalas lambaian tangan Arlo. Dia melihat Arlo berjalan bergandengan tangan dengan Anya. “Anya sudah kembali sekolah?” tanya Alina ketika Arlo dan Anya sudah ada di hadapannya.“Iya.” Anya mengangguk mantap. “Anya ‘kan nggak jadi pergi jauh, jadi sekolah lagi sama Arlo. Apalagi Arlo ‘kan mau jadi adiknya Anya.”“Adik?” Alina mengerutkan alis bingung. Dia menatap Arlo yang hanya tersenyum lebar.“Iya, adik. Anya dengar, Mama mau nikah sama Paman Daniel, jadi Arlo ‘kan adiknya Anya,” celoteh gadis kecil itu menganggap Arlo adiknya karena dia lebih tua.“Apa?” Alina terkejut. Dia belum tahu soal itu, sehingga Alina begitu syok.Di saat itu, Jia datang dan menyapa Alina.“Ada apa?” tanya Jia saat melihat Alina syok.“Itu, Anya bilang kalau Arlo akan jadi adiknya Anya. Eh, Bibi kaget.”Jia menatap pada Al
Aksa pulang lebih awal sore itu karena permintaan Alina. Dia baru saja sampai rumah, saat mencari sang istri, ternyata Alina ada di dapur.“Kamu masak apa?” tanya Aksa seraya memperhatikan beberapa pelayan yang juga membantu. “Kenapa banyak sekali?” tanya Aksa keheranan.Alina menoleh saat mendengar suara Aksa, tetapi dia kembali memandang pada makanan yang sedang dibuatnya.“Hari ini Naya dan Bams baru pulang liburan, lalu aku juga mengundang Jia dan Daniel untuk makan malam bersama di rumah,” jawab Alina seraya sibuk mengolah bahan makanan.Aksa mengerutkan alis.“Memang ada acara apa sampai kamu memasak banyak menu?” tanya Aksa.Alina memandang ke arah Aksa, lalu membalas, “Daniel benar-benar akan menikahi Jia, tapi menunggu Jia resmi bercerai dari Edwin. Jadi, aku mau merayakannya, sekalian menyambut Naya.”Aksa lumayan terkejut.“Akhirnya Daniel serius? Padahal kemarin malam masih galau,” ucap Aksa jika ingat saat Daniel mabuk sambil meracau karena kebingungan.Alina hanya tersen
Saat malam hari. Alina masuk kamar membawa secangkir kopi untuk Aksa. Dia melihat suaminya sedang mengecek pekerjaan dari laptop.“Aku tadi siang menemui Karin,” ucap Alina seraya meletakkan cangkir kopi di meja. Dia kemudian duduk di samping Aksa.“Kamu benar-benar menemuinya?” tanya Aksa cukup terkejut. Dia menatap Alina dengan rasa tak percaya.Alina mengangguk-angguk.“Aku hanya ingin Dani benar-benar mendapatkan kebahagiaannya. Jangan sampai Karin menjadi batu sandungan dengan selalu membayang-bayangi kehidupan Daniel dan Jia kelak. Belum apa-apa saja Karin berusaha merangsek masuk ke kehidupan Dani lagi, bagaimana kelak jika terus dibiarkan,” ujar Alina menjelaskan.Alina tidak pernah senekat ini dalam bertindak. Biasanya dia akan kasihan atau tidak tega, tetapi Karin menjadi pengecualian untuknya. Karin adalah wanita tak tahu diri, Daniel sudah pernah menawarkan keuntungan, tetapi Karin menolak. Sekarang malah berniat ingin kembali agar mendapat keuntungan lebih banyak.“Bagusl
Keesokan harinya. Aksa dan Alina pergi ke rumah sakit setelah mengantar Arlo ke sekolah. Mereka hendak menjenguk Kaira dan bayinya.“Kalian datang.” Kaira sangat senang melihat Alina.“Tentu saja, bagaimana bisa aku tidak datang.” Alina menghampiri Kaira, lalu memeluk sahabatnya itu.“Apa persalinanmu lancar?” tanya Alina memastikan kondisi sahabatnya itu lebih dulu.“Iya, sangat lancar,” jawab Kaira, “semalam tiba-tiba kontraksi, Ilham langsung membawaku ke sini dan ternyata sudah pembukaan delapan.”Alina menghela napas lega. “Syukurlah, aku senang mendengarnya.”Kaira mengangguk-angguk.Alina melihat bayi Kaira. Sahabatnya itu melahirkan anak perempuan.“Dia sangat cantik sekali.” Alina menggendong bayi menggemaskan itu.“Kamu kapan nambah?” tanya Kaira karena melihat Alina sangat suka melihat bayi.Alina menoleh pada Kaira, tetapi setelahnya melirik Aksa.“Aku masih punya bayi besar yang harus kuberi perhatian, jadi lebih baik jangan berharap punya bayi mungil,” jawab Alina.Kaira
Tak terasa waktu cepat berlalu. Ini sudah hampir satu tahun sejak semua kejadian menegangkan terjadi dalam kehidupan Alina. Satu tahun setelah dirinya ingat dan kembali ke keluarga kecilnya.[Aku tiba-tiba merindukanmu. Apa kamu sibuk?]Alina membaca ulang pesan yang dikirimkannya pada Aksa sekitar satu jam yang lalu. Namun, pesan itu belum juga dibaca, membuat Alina agak sedih.Alina sedang berada di Paris. Dia menghadiri acara fashion show yang menampilkan hasil karyanya juga. Sekarang Alina berdiri di belakang panggung karena sebentar lagi gilirannya memberikan sambutan setelah busananya diperagakan.Alina berharap bisa membaca pesan dari Aksa agar dirinya lebih bersemangat, tetapi sepertinya suaminya belum sempat membuka ponsel, sehingga Alina harus lebih bersabar.Dua hari ini Alina memang kurang sehat. Namun, dia tidak bisa pulang begitu saja dan meninggalkan acara besar yang selalu menjadi impian setiap desainer.“Nona, setelah ini giliran Anda,” ucap Naya mengingatkan karena A
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p
Aksa mengusap perut Alina yang lumayan besar. Seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap malam harus menyentuh perut sang istri sebelum dia beristirahat.“Jam berapa ini? Kamu baru mau tidur?” Alina terbangun karena sentuhan Aksa.Alina sudah tidur lebih dulu karena Aksa berkata ingin menyelesaikan pekerjaan.“Tidurlah lagi, maaf kalau mengganggumu,” ucap Aksa lalu membetulkan selimut untuk menutupi tubuh Alina.Alina merangsek ke pelukan saat Aksa sudah berbaring. Dia memeluk suaminya meski sekarang terhalang perut yang agak besar.“Jangan terlalu capek bekerja, Aksa. Aku tidak mau punya suami dengan tampang tua, mata cekung karena kebanyakan begadang, padahal anak-anaknya masih kecil,” seloroh Alina seraya memejamkan mata.Aksa menahan tawa. Ada saja ucapan istrinya ini yang mampu membuat semua rasa lelah dan beban pikirannya hilang.“Tenang saja, aku akan perawatan melebihimu kalau sampai terlihat tua,” balas Aksa seraya memeluk Alina, tak lupa kecupan hangat juga didaratkan di keni
Beberapa minggu waktu berjalan dengan cepat. Alina berada di studionya sedang mempersiapkan untuk fitting gaun Jia. Alina sudah memiliki studionya sendiri di tengah kota, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan studio juga penjahit untuk membantunya.“Mama.” Arlo datang dan langsung berlari menghampiri Alina.Arlo baru saja pulang sekolah dijemput Jia sekalian.“Daniel belum datang?” tanya Jia.“Belum, dia bilang ada rapat dadakan, jadi mungkin akan terlambat datang,” jawab Alina.Jia mengangguk-angguk paham.“Mau mulai sekarang?” tanya Alina.Jia mengangguk. Dia ikut Alina masuk ke ruang fitting gaun, sedangkan anak-anak bermain di playground yang memang disiapkan di salah satu ruangan di studio itu.“Perutmu sudah kelihatan besar,” kata Jia.Alina melirik ke perutnya, lalu membalas, “Iya, sudah dua puluh minggu juga, kan.”Alina memberikan gaun yang dirancangnya tetapi belum selesai sempurna karena masih butuh pendapat Jia.Jia mengganti bajunya, lalu setelahnya dia berdiri di dep
Siang itu Mirza dan Sasmita datang ke kamar inap Nenek Agni setelah menemui dokter. Mereka berkumpul untuk membahas soal kondisi Nenek Agni.“Kami sudah berkonsultasi dengan dokter fisioterapi untuk pemulihan kondisi Mama agar lekas sembuh mengingat ada pergeseran tulang di punggung,” ujar Mirza.“Mama harus sembuh dan sehat seperti sedia kala,” timpal Sasmita.Nenek Agni menatap bergantian pada Aksa dan yang lain, lalu membalas, “Tentu saja aku harus sembuh. Aku masih mau melihat cicit keduaku.”Mirza dan Sasmita terkesiap, mereka secara spontan langsung menatap pada Alina.Alina tersenyum kecil, lalu berkata, “Aku sedang hamil, Ma, Pa.”Sasmita langsung menghampiri Alina, bahkan memeluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia.“Selamat, ya. Mama sangat senang mendengarnya,” ucap Sasmita seraya mengusap punggung Alina.“Terima kasih, Ma. Doakan aku sehat sampai melahirkan,” balas Alina.“Tentu, tentu saja.” Sasmita melepas pelukan, senyum kabahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajahnya
Aksa masih terjaga setelah meminta Alina untuk istirahat lebih dulu. Dia tidak bisa tenang sampai melihat Nenek Agni bangun. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Aksa melihat Nenek Agni mulai membuka mata.“Nek.” Aksa berdiri dari duduknya, lalu menunggu Nenek Agni membuka mata dengan sempurna.“Kamu di sini,” ucap Nenek Agni dengan suara lemah.Aksa menggenggam tangan Nenek Agni agar merasakan keberadaannya karena kelopak mata wanita tua itu belum terbuka sempurna.“Iya, aku di sini.”Nenek Agni mengembuskan napas panjang. Dia mencoba menatap pada Aksa, sampai akhirnya melihat wajah sang cucu.“Bagaimana bisa Nenek jatuh?” tanya Aksa mencoba mengajak bicara agar sang nenek bisa sadar sepenuhnya.Aksa melihat Nenek Agni meringis kesakitan saat akan bergerak, membuat Aksa mencegah agar Nenek Agni tidak menggerakkan tubuh lebih dulu.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Aksa.Nenek Agni menggeleng. Wanita tua itu akhirnya hanya terlentang karena punggungnya sakit.“Nenekmu ini sudah sanga