Daniel bergeming menatap pada Jia. Tiba-tiba saja pikirannya kosong setelah mendengar apa yang Jia katakan. “Tu-tunggu, maksudmu?” tanya Daniel memastikan. Dia tidak mau jika salah menelaah.Jia melipat bibir, lalu menjawab, “Ayo menikah, tapi setelah aku resmi bercerai.”“Aku tidak tahu bagaimana pandanganmu soal aku yang tiba-tiba mengajak menikah, tapi yang jelas, aku hanya meneruskan apa yang kamu harapkan sebelumnya,” ujar Jia lagi.Daniel tiba-tiba menghela napas lega. Dia tersenyum lebar mendengar ucapan Jia.“Tentu,” balas Daniel, “pandanganku saat ini hanya senang. Aku hanya tak menyangka kamu menerimanya. Apa karena kamu kasihan padaku?” tanya Daniel memastikan.Andaipun Jia memang kasihan padanya, Daniel tidak peduli asal dia bisa bersama wanita itu membangun rumah tangga bersama, serta saling menjaga satu sama lain.Jia tampak berpikir seraya mengangguk pelan, lalu membalas, “Kasihan iya, tapi lebih dari itu, aku merasa kamu layak.”Daniel mengangkat kedua tangan seperti
Hari berikutnya. Alina menjemput Arlo yang sekarang sudah mulai bersekolah. Dia menunggu di depan gedung sekolah ketika jam sekolah berakhir..“Mama!” Arlo melambai ke arah Alina.Alina membalas lambaian tangan Arlo. Dia melihat Arlo berjalan bergandengan tangan dengan Anya. “Anya sudah kembali sekolah?” tanya Alina ketika Arlo dan Anya sudah ada di hadapannya.“Iya.” Anya mengangguk mantap. “Anya ‘kan nggak jadi pergi jauh, jadi sekolah lagi sama Arlo. Apalagi Arlo ‘kan mau jadi adiknya Anya.”“Adik?” Alina mengerutkan alis bingung. Dia menatap Arlo yang hanya tersenyum lebar.“Iya, adik. Anya dengar, Mama mau nikah sama Paman Daniel, jadi Arlo ‘kan adiknya Anya,” celoteh gadis kecil itu menganggap Arlo adiknya karena dia lebih tua.“Apa?” Alina terkejut. Dia belum tahu soal itu, sehingga Alina begitu syok.Di saat itu, Jia datang dan menyapa Alina.“Ada apa?” tanya Jia saat melihat Alina syok.“Itu, Anya bilang kalau Arlo akan jadi adiknya Anya. Eh, Bibi kaget.”Jia menatap pada Al
Aksa pulang lebih awal sore itu karena permintaan Alina. Dia baru saja sampai rumah, saat mencari sang istri, ternyata Alina ada di dapur.“Kamu masak apa?” tanya Aksa seraya memperhatikan beberapa pelayan yang juga membantu. “Kenapa banyak sekali?” tanya Aksa keheranan.Alina menoleh saat mendengar suara Aksa, tetapi dia kembali memandang pada makanan yang sedang dibuatnya.“Hari ini Naya dan Bams baru pulang liburan, lalu aku juga mengundang Jia dan Daniel untuk makan malam bersama di rumah,” jawab Alina seraya sibuk mengolah bahan makanan.Aksa mengerutkan alis.“Memang ada acara apa sampai kamu memasak banyak menu?” tanya Aksa.Alina memandang ke arah Aksa, lalu membalas, “Daniel benar-benar akan menikahi Jia, tapi menunggu Jia resmi bercerai dari Edwin. Jadi, aku mau merayakannya, sekalian menyambut Naya.”Aksa lumayan terkejut.“Akhirnya Daniel serius? Padahal kemarin malam masih galau,” ucap Aksa jika ingat saat Daniel mabuk sambil meracau karena kebingungan.Alina hanya tersen
Saat malam hari. Alina masuk kamar membawa secangkir kopi untuk Aksa. Dia melihat suaminya sedang mengecek pekerjaan dari laptop.“Aku tadi siang menemui Karin,” ucap Alina seraya meletakkan cangkir kopi di meja. Dia kemudian duduk di samping Aksa.“Kamu benar-benar menemuinya?” tanya Aksa cukup terkejut. Dia menatap Alina dengan rasa tak percaya.Alina mengangguk-angguk.“Aku hanya ingin Dani benar-benar mendapatkan kebahagiaannya. Jangan sampai Karin menjadi batu sandungan dengan selalu membayang-bayangi kehidupan Daniel dan Jia kelak. Belum apa-apa saja Karin berusaha merangsek masuk ke kehidupan Dani lagi, bagaimana kelak jika terus dibiarkan,” ujar Alina menjelaskan.Alina tidak pernah senekat ini dalam bertindak. Biasanya dia akan kasihan atau tidak tega, tetapi Karin menjadi pengecualian untuknya. Karin adalah wanita tak tahu diri, Daniel sudah pernah menawarkan keuntungan, tetapi Karin menolak. Sekarang malah berniat ingin kembali agar mendapat keuntungan lebih banyak.“Bagusl
Keesokan harinya. Aksa dan Alina pergi ke rumah sakit setelah mengantar Arlo ke sekolah. Mereka hendak menjenguk Kaira dan bayinya.“Kalian datang.” Kaira sangat senang melihat Alina.“Tentu saja, bagaimana bisa aku tidak datang.” Alina menghampiri Kaira, lalu memeluk sahabatnya itu.“Apa persalinanmu lancar?” tanya Alina memastikan kondisi sahabatnya itu lebih dulu.“Iya, sangat lancar,” jawab Kaira, “semalam tiba-tiba kontraksi, Ilham langsung membawaku ke sini dan ternyata sudah pembukaan delapan.”Alina menghela napas lega. “Syukurlah, aku senang mendengarnya.”Kaira mengangguk-angguk.Alina melihat bayi Kaira. Sahabatnya itu melahirkan anak perempuan.“Dia sangat cantik sekali.” Alina menggendong bayi menggemaskan itu.“Kamu kapan nambah?” tanya Kaira karena melihat Alina sangat suka melihat bayi.Alina menoleh pada Kaira, tetapi setelahnya melirik Aksa.“Aku masih punya bayi besar yang harus kuberi perhatian, jadi lebih baik jangan berharap punya bayi mungil,” jawab Alina.Kaira
Tak terasa waktu cepat berlalu. Ini sudah hampir satu tahun sejak semua kejadian menegangkan terjadi dalam kehidupan Alina. Satu tahun setelah dirinya ingat dan kembali ke keluarga kecilnya.[Aku tiba-tiba merindukanmu. Apa kamu sibuk?]Alina membaca ulang pesan yang dikirimkannya pada Aksa sekitar satu jam yang lalu. Namun, pesan itu belum juga dibaca, membuat Alina agak sedih.Alina sedang berada di Paris. Dia menghadiri acara fashion show yang menampilkan hasil karyanya juga. Sekarang Alina berdiri di belakang panggung karena sebentar lagi gilirannya memberikan sambutan setelah busananya diperagakan.Alina berharap bisa membaca pesan dari Aksa agar dirinya lebih bersemangat, tetapi sepertinya suaminya belum sempat membuka ponsel, sehingga Alina harus lebih bersabar.Dua hari ini Alina memang kurang sehat. Namun, dia tidak bisa pulang begitu saja dan meninggalkan acara besar yang selalu menjadi impian setiap desainer.“Nona, setelah ini giliran Anda,” ucap Naya mengingatkan karena A
Aksa mengurai pelukan. Dia membalikkan tubuh Alina agar menghadap padanya, lalu dia pandangi sepuasnya.“Ada apa, kamu capek dan mau istirahat dulu?” tanya Alina seraya mengusap dada suaminya. Tatapannya lembut dan penuh kasih sayang pada Aksa.“Ya, aku mau istirahat tapi denganmu,” jawab Aksa.Alina semakin melebarkan senyum.“Ayo!” ajak Alina.Alina menggandeng tangan Aksa untuk mengajaknya ke ranjang.Aksa tak melangkah. Dia menahan gandengan tangan Alina, sampai istrinya itu tertarik ke atasnya.“Aksa,” pekik Alina karena terkejut.Aksa hanya tersenyum. Dia menyentuh dagu Alina agar tatapan mereka bertemu.“Urusi rinduku ini lebih dulu, sebelum beristirahat,” ucap Aksa dengan tatapan penuh arti.Belum juga Alina membalas, Aksa sudah lebih dulu menyambar bibirnya.Alina tak berkutik. Dia akhirnya memejamkan mata seraya meremas sisi kemeja Aksa.Aksa terus melumat bibir Alina hingga kepala mereka bergerak seirama dengan ciuman yang semakin memanas.Alina melepas satu persatu manik k
“Siapa pria itu?” Aksa benar-benar murka.Alina mengulum bibir melihat Aksa kesal. Dia mengusap lembut pipi Aksa untuk meredam amarah pria itu.“Pria mana yang mau kamu bunuh, hm ….” Alina bangun dari pelukan Aksa.Aksa menahan tangan Alina yang menjauh darinya.“Kamu mau ke mana?” tanya Aksa.“Kamu bilang mau tahu siapa yang aku membuatmu diduakan, kan? Tunggu!” Alina melepas tangan Aksa yang menahan tangannya. Dia membuka laci, lalu mengambil sesuatu dari sana.Aksa memperhatikan, apa sebenarnya yang Alina sembunyikan? Benarkah istrinya punya selingkuhan.Alina tersenyum lebar, lalu memperlihatkan sesuatu di tangannya.“Ini sainganmu,” ucap Alina dengan senyum merekah di wajah.Aksa memandang testpack yang ada di tangan Alina. Tatapan matanya menunjukkan keterkejutan dan rasa tak percaya.“Al ….” Aksa memandang alat itu dan Alina secara bergantian.Alina tidak tahu apakah Aksa senang atau tidak, dia memandang testpack dengan tanda plus di tengahnya itu, lalu menjelaskan, “Sejak samp
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.