"Apa kamu bilang?"
PLAAKKKK!Sebuah tamparan melayang di pipi kanan Amanda. Ini adalah untuk pertama kalinya dia ditampar seumur hidup. Bahkan orang tuanya sendiri tak pernah melakukan tindakan kekerasan padanya.Amanda memegang bekas tamparan Ronald yang terasa panas dan pedih.Dia menangis dan mengurung diri di kamar mandi.Ada penyesalan di diri Ronald kenapa dia melakukannya. Tapi itu semua juga salah istrinya yang terus memancingnya untuk membalas perkataan pedasnya.Amanda sengaja melakukan ini untuk membuat dirinya berlaku seperti ini."Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang, Amanda. Akan aku buat kamu menderita!" Ronald geram dan menggenggam tangannya.Amanda kelelahan dan dia tertidur di bath tub yang kering di kamar mandi. Saat Ronald melihatnya, muncul bekas kemerahan di pipi yang dia tampar tadi.Merasa iba dengan istrinya yang kedinginan, Ronald menutup tubuh itu dengan selimut d"Dia sangat cantik dan terlihat energic." Seru perawat itu saat membaca karakter yang terlihat di wajah sosok bernama Olivia.Saat diambil fotonya, Olivia sedang memakai baju olahraga dengan topinya. Lantas merangkul pemuda di sebelah kanannya yang sedang melihat ke arahnya.Baru kemudian di sisi sebelah kiri Olivia ada Simon."Kamu betul, Luisa." Jawab Simon setelah mendengar komentar dari seseorang yang sebenarnya belum pernah bertemu dengan istrinya dulu."Tapi aku minta maaf jika salah dalam menebak yang bagian kedua." Lusa menghela nafas sebelum melanjutkan opininya soal istri Simon yang ada di foto. "Apa mereka berdua memiliki hubungan spesial?" Simon tak berani menatap wajah Luisa sekarang. Dia takut kalau selama ini hanya dirinya yang bodoh dan pura-pura tidak tahu soal itu.Banyak orang yang sudah mengingatkan dia perihal kedekatan Ronald dan Olivia yang tidak sewajarnya seorang kakak ipar dan adik ipar laki-laki."Aku tidak tahu." Simon selalu memilih untuk acuh setiap kali
Sembari menunggu jawaban dari suaminya tentang selembar kertas bertuliskan nama Alina, mertua Amanda menemani Mila bermain-main di kamar hotel. "Apa kamu ingin keluar makan atau membeli sesuatu, Mila?" tanyanya. Pikirannya masih menebak-nebak bagaimana bisa baru pertama kali bertemu langsung seakrab itu? "Oma, aku mau ke kamar Tante Amanda saja." ucapnya malu-malu. "Tapi, ini sudah malam. Ada Om Ronald di kamar juga. Apa kamu yakin tidak akan dimarahi oleh Om Ronald-mu itu?" Anak kecil mungil itu menggeleng dan menggendong bonekanya dengan susah payah ke kamar sebelah. Tok, tok, tok... Tidak ada jawaban. Dia mengetuk pintu lagi sambil Omanya mengawasi dari pintu kamarnya tadi. "Om! Buka pintu, Om!" suaranya cukup lantang meski jika dari dalam kamar hanya terdengar samar-samar. "Mila?" Ronald dengan cekatan membuka pintu. "Sama siapa kamu?" "Oma tadi menemaniku tapi sudah kembali lagi ke kamar. Bolehkah aku tidur bersama kalian?" tanya Mila dengan harapan besar untuk dikabulk
Hal yang paling disukai Ronald dari seseorang adalah kejujuran. Sekali seseorang itu berbohong padanya, maka seumur hidup dia tak akan pernah mempercayainya lagi. Amanda bisa melihat adanya kebenaran saat Ronald mengaku tidak melakukan apa-apa dengan Catherine. Sekarang, giliran dirinya yang masih bimbang haruskah dia mengaku atau tidak soal kejadian malam itu di Berlin? Apakah nanti Ronald akan tetap mempertahankan hubungan mereka jikalau dia berbohong? Rasanya tidak! Kontrak tetaplah kontrak, Amanda tak boleh terlalu menginvestasikan emosinya ke hubungan yang bersifat sementara ini. "Kami melakukannya." Jawab Amanda singkat. Meski hanya dua kata, bagi Ronald ini sudah cukup membuatnya tercabik-cabik melebihi kalimat-kalimat umpatan Amanda sebelumnya. Dia tak percaya wanita seperti Amanda mau melakukan hubungan intim dengan kakak suaminya sendiri. Ini benar-benar tak bisa dipercaya. "Jujurlah padaku, Amanda." Ronald masih membuktikan sekali lagi apakah ada gurat kebohongan s
Mama mertuanya terlihat tidak suka dengan apa yang menantu dan anak lelakinya lakukan."Kamu harusnya tidak egois. Aku menyayangkan kamu tidak teliti, Amanda." Mertuanya mengomel lantaran membiarkan Mila hampir memergoki dirinya dan Ronald yang sedang memadu kasih di kamar mandi. "Maafkan saya, Ma." Meski dia mengaku bersalah, tapi di matanya mama mertuanya tetaplah ular berbisa yang punya dua muka."Lain kali jangan sampai terulang. Bisa fatal kalau dia melihat kamu sama Ronald. Ah, sudahlah!" Mertuanya tak lagi melanjutkan topik hot pagi ini.Ronald sebagai tersangka kedua hanya bisa menyenggol kaki Amanda yang terletak di bawah meja makan.Matanya melirik mengisyaratkan sesuatu. Ada keinginan menggelora yang belum semuanya tersalurkan. Amanda menyuruhnya untuk diam dan tidak melakukan tindakan kekanakan karena ada Mama dan Papanya.Kaki Ronald yang awalnya bersentuhan dengan sepatu Amanda, kini sudah mulai menelusuri hampir p
Setelah mengecek lagi kondisi Mila, didapatinya keponakan itu sedang tertidur pulas dan tubuhnya dipenuhi keringat.Suhu tubuhnya sudah mulai turun."Bagaimana kondisinya?" Ronald baru sampai kamar lagi setelah mengambilkan makanan untuk Mila dan Amanda."Sudah mendingan, Pak." Ada sengatan listrik halus mengalir. Amanda kembali lagi memanggilnya 'pak'. Kapan hubungannya bisa stabil?"Kamu sudah makan? Ini aku bawakan take a way dari restoran di bawah. Makan saja." "Terima kasih, Pak. Tapi saya tadi sudah makan roti yang saya beli semalam." Tutur Amanda sangat sopan. Seakan dia kembali menjadi karyawan dan Ronald adalah bosnya. "Amanda, apa kamu sedang marah?" Tanyanya sambil mendekap pemilik tubuh seksi itu."Ti-tidak Pak." Dia menghindari kontak mata. "Lalu, kenapa kamu memanggilku 'pak' lagi?" Ronald butuh kepastian.Sehari sebelumnya, Amanda seolah akan menerima dan memperlakukannya seperti raja di
Apa aku tidak salah dengar, minta cerai? Amanda tersenyum simpul. Meski hati nuraninya yang masih bersih meneriakinya untuk tidak tertawa pada penderitaan orang lain, namun bisikan hawa nafsu telah menggelapkannya. Sadarlah, Amanda. Dia adalah mertuamu yang berarti juga orang tuamu sendiri. Kamu harus menghormatinya. Hati nuraninya bersuara untuk mengingatkannya. "Ronald, Papamu tega sekali. Dia tega berbincang mesra dengan wanita itu." "Wanita yang mana, Ma?" Itu suara Ronald yang menanggapi pernyataan mertua Amanda. Amanda yang sedang di tempat tidur menemani Mila, hanya bisa menikmati pembicaraan panas yang sedang berlangsung. Rasakan, memangnya enak jadi orang jahat! Kena balasannya sekarang... "Itu, teman Papamu yang alumni Harvard juga. Dia ikut-ikutan sebangku sama Papamu. Alasannya karena Mama hanya pengganti, jadi harus berada di bis lain." Kedengarannya mertuanya sedang cemburu. Amanda menyimak pembicaraan itu dengan seksama. Mila merintih meminta minum air putih, ce
"Apa mau Mama sekarang?" Ronald geram karena mendengar keluhan mamanya.Dalam benaknya, tak seharusnya luka dan noda masa lalu diungkit-ungkit kembali."Kamu diam dulu." Seolah mamanya untuk saat ini hanya berbicara dengan angin. Bukan manusia.Tentu saja Ronald merasa sakit hati mendengar kisah pilu dari mamanya sendiri. Tetapi dia tak bisa juga melihat papanya dijelek-jelakkan terus. Apalagi di samping mereka ada Amanda, istri kontraknya."Kamu tahu mengapa kamu mengalami Claustrophobia?" Mamanya bertanya. Hal itu merupakan aib yang oleh Ronald ditutupi dan dia tak mau semakin banyak orang yang tahu."Ma! Sudahlah Ma." Dia memperingatkan mamanya untuk berhenti di situ. Ceritanya sudah merembet ke mana-mana. Tak seharusnya semua orang di keluarganya dikuliti."Kenapa kamu tidak mau mendengarkan Mama? Kalau kamu saja tidak mau tahu, lalu siapa yang bisa peduli dan mau mengerti Mama?"
"Kenapa harus dengan Tante Amanda?" Tampak gurat kekecewaan memenuhi ekspresi wajah Ronald. Lelaki berusia matang itu sebenarnya tak ingin mengecewakan keponakannya, tapi rasanya untuk kali ini dia tidak bisa membiarkan begitu saja istrinya ke Jerman dalam kondisi rumah tangga mereka bermasalah."Aku bosan sama Oma." Jawaban Mila menunjukkan betapa di usianya memang dia tidak bisa mengalah.Bosan? "Mila, kamu jangan membebani Om Ronald dengan situasi sulit begini..." Ronald menekuk kakinya sehingga dia sejajar dengan Mila yg duduk di kursi."Kan Tante kalau sama aku dan Papa selalu happy, kalau pas barengan sama Om Ronald cemberut terus gitu kan wajahnya. Nggak pernah senyum!" Alasan Mila seperti membuat jantung Ronald berhenti berdetak. Kalimat dari seorang anak kecil yang terlihat jujur apa adanya dan tidak ditutup-tutupi membuatnya tak kuasa berkata.Ronald terus terang tidak pernah memikirkan soal ini. Baginya Amanda di manapun selalu terlihat datat tanpa ekspresi. Dia tak meny
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di