"Apa mau Mama sekarang?" Ronald geram karena mendengar keluhan mamanya.Dalam benaknya, tak seharusnya luka dan noda masa lalu diungkit-ungkit kembali."Kamu diam dulu." Seolah mamanya untuk saat ini hanya berbicara dengan angin. Bukan manusia.Tentu saja Ronald merasa sakit hati mendengar kisah pilu dari mamanya sendiri. Tetapi dia tak bisa juga melihat papanya dijelek-jelakkan terus. Apalagi di samping mereka ada Amanda, istri kontraknya."Kamu tahu mengapa kamu mengalami Claustrophobia?" Mamanya bertanya. Hal itu merupakan aib yang oleh Ronald ditutupi dan dia tak mau semakin banyak orang yang tahu."Ma! Sudahlah Ma." Dia memperingatkan mamanya untuk berhenti di situ. Ceritanya sudah merembet ke mana-mana. Tak seharusnya semua orang di keluarganya dikuliti."Kenapa kamu tidak mau mendengarkan Mama? Kalau kamu saja tidak mau tahu, lalu siapa yang bisa peduli dan mau mengerti Mama?"
"Kenapa harus dengan Tante Amanda?" Tampak gurat kekecewaan memenuhi ekspresi wajah Ronald. Lelaki berusia matang itu sebenarnya tak ingin mengecewakan keponakannya, tapi rasanya untuk kali ini dia tidak bisa membiarkan begitu saja istrinya ke Jerman dalam kondisi rumah tangga mereka bermasalah."Aku bosan sama Oma." Jawaban Mila menunjukkan betapa di usianya memang dia tidak bisa mengalah.Bosan? "Mila, kamu jangan membebani Om Ronald dengan situasi sulit begini..." Ronald menekuk kakinya sehingga dia sejajar dengan Mila yg duduk di kursi."Kan Tante kalau sama aku dan Papa selalu happy, kalau pas barengan sama Om Ronald cemberut terus gitu kan wajahnya. Nggak pernah senyum!" Alasan Mila seperti membuat jantung Ronald berhenti berdetak. Kalimat dari seorang anak kecil yang terlihat jujur apa adanya dan tidak ditutup-tutupi membuatnya tak kuasa berkata.Ronald terus terang tidak pernah memikirkan soal ini. Baginya Amanda di manapun selalu terlihat datat tanpa ekspresi. Dia tak meny
"Ada masalah apa memangnya Bu?" Amanda tak sempat menyuruh keluarganya masuk ke dalam rumah. Nafasnya belum stabil karena dia baru saja bertengkar hebat dengan suaminya. Ronald nampaknya masih memilih untuk diam tak berkata-kata. Ibunya hanya merangkul dengan pelukan erat. "Bu, katakan padaku, ada masalah apa? Aku akan segera kembali ke rumah untuk pulang. Aku akan membantu kalian." Amanda menenangkan Ibunya yang sedang bersedih. "Keluarga almarhum Ayahmu... meminta kita untuk mengganti tanah dan bangunan rumah kita, sementara kamu tahu sendiri kita tidak punya apa-apa lagi. Uang dari Ronald kemarin sudah Ibu jadikan DP-nya, tapi tetap saja mereka minta pelunasan secepatnya. Kalau tidak, maka kita akan diusir..." Kakaknya menjelaskan karena ibunya sudah tak bisa berkata-kata lagi. Tangisannya membuat Amanda kehilangan kendali atas dirinya. Amanda yang baru saja sampai dari luar negeri, seketika ambruk ke tanah. Kakinya tak sanggup menopang tubuhnya. Dia rubuh! "Amanda!" Ibunya
"Kalau ada waktu, mainlah ke rumah. Jangan sungkan-sungkan, langsung main saja kalau mau mampir." Pesan ibunya saat masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan oleh Ronald. "Pasti, Bu. Terima kasih atas kunjungannya, jaga kesehatannya!" Ronald melambaikan tangan. Ketika mobil yang ditugaskan untuk mengantar itu telah pergi meninggalkan pelataran rumah, Ronald langsung masuk ke dalam tanpa memperhatikan istrinya. Amanda tetap terpaku di teras depan dan kini bingung sendiri. Dia tadi sebelum keluarganya datang sudah meledak-ledak untuk minta diceraikan. Lantas, sekarang apa yang akan dia lakukan? Jika melanjutkan peperangan untuk minta cerai, rasanya akan menambah masalah baru karena sekarang keluarganya sedang dirundung masalah. Tapi, jika Amanda diam itu tandanya dia lemah dan kalah dari Ronald. Harga dirinya sudah pasti jatuh dan Ronald akan semakin semena-mena padanya. "Non, nggak mau makan lagi? Tadi saya sudah buatkan kwetiaw kesukaan Non Amanda." Seorang pembantunya menawari
Kapan lagi Amanda menerima perlakuan seperti putri raja dari suaminya? Setiap sentuhan kali ini terasa begitu berbeda dari biasanya.Apakah karena mereka beberapa hari ini baru saja perang dingin, sehingga dia merasa hubungan kali ini terasa begitu istimewa?"Pak, jangan... Sudah, Pak!" Amanda tak sanggup lagi jika harus menambah durasinya.Ronald hanya tersenyum mendengar respon istrinya yang masih belum terbiasa dengan permainannya."Kamu masih muda, segitu saja sudah nggak kuat lagi?" Ronald menggelitiki pinggang istrinya sehingga keduanya berebut selimut yang menutup sebagian tubuhnya."Pak, jangan gitu, saya dingin ini. Pak Ronald harus mengalah dong sama saya!" Tangan Amanda menarik terus selimut sehingga Ronald tak begitu mendapatkan bagiannya."Kamu rakus sekali, Amanda. Apa kamu tidak kasihan padaku. Lihat, aku sekarang jadi kedinginan begini. Kamu memonopoli selimutnya untuk dirimu sendiri. Jahat kamu!" Ronald menyerobot sehingga tubuh Amanda terekspos sebagian."Paaaak, say
"Pak?" Amanda melihat lampu kamarnya masih mati padahal seharusnya saat pintunya terbuka, Ronald harusnya sudah di dalam dan tak biasanya lampu dibiarkan mati dan ruangan gelap gulita."Pak Ronald?" sekali lagi dia berjalan masuk. Karena tak mendapatkan balasan, Amanda duduk berdiam diri saja di tempat tidurnya.Memendam pikirannya sendiri, entah darimana nanti dia akan mendapatkan uang yang jumlahnya miliaran itu.Kalaupun bekerja saat ini, dalam setahun mungkin hanya mampu menabung seratus juta. Kalau begitu, makin lama lagi dia bisa membayar hutangnya.Wanita berbalut busana hitam itu menyerahkan diri seutuhnya pada takdir. Dia bentangkan kedua kanannya ke tempat tidur dengan wajah menghadap ke atas."Amanda?" Rupanya Ronald lebih dulu berbaring di balik selimut.Barulah dia bereaksi ketika Amanda bergerak."Pak, kenapa gelap-gelapan begini?" Tanya Amanda.Melihat suaminya di kegelapan, dia terkejut dan segera menyalakan lampu meja."Aku tadi ketiduran nungguin kamu pulang. Kupiki
Dua minggu berlalu. Mila batal pulang ke tanah air karena Simon belum sepenuhnya pulih pasca operasinya. Suasana rumah masih sunyi karena di rumah sebesar itu, hanya ada Amanda dan Ronald saja."Apa Mila tidak ingin pulang?" Amanda melakukan panggilan video call dengan keponakannya sebagai obat rindu."Aku masih harus di sini, Tante. Oma dan Opa nggak mau pisah sama aku katanya..." Amanda hanya tertawa kecil saat keponakannya pintar bercerita."Begitu ya? Apa kira-kira akhir bulan ini kamu belum pulang juga? Tante sama Om kangen banget..." Amanda mencoba menggoda Mila yang masih senyum-senyum sendiri karena bercerita baru saja diberikan boneka baru oleh Opanya."Aku tahu kalian pasti kangen aku..." Mila ikut-ikutan tersenyum geli. "Boleh saja aku pulang. Tapi aku tidak berani sendirian, kan?" Mereka berdua tertawa-tawa. "Mila, di sini sudah malam. Kamu harus istirahat dulu." Omanya terdengar mengingatkan."Iya, Oma. Tapi aku masih mengobrol dengan Tante ini..." Terlihat ekspresi
Amanda penat karena semalam menjalankan tugas pertamanya di kontrak baru. Tak tanggung-tanggung, Ronald sudah membuatnya lemas karena berkali-kali membuatnya mengerang dan mendapatkan hal yang sering hanya dia khayalkan di imajinasi liarnya."Kamu belum capek?" Amanda sudah mulai akrab dengan bosnya, karena sudah menghilangkan kata ganti 'Anda' dengan Ronald."Kalau nggak ingat kamu ini perempuan, mungkin sudah aku lanjutkan lagi peperangan kita." Sahutnya dengan bangga karena sekarang dia tak perlu lagi menahan diri atau pura-pura tidak tertarik pada pesona Amanda yang menggiurkannya."Terima kasih, masih mau mengingat kalau aku hanyalah makhluk lemah yang harus dilindungi..." Kata Amanda merajuk. Batinnya sedang was-was bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang sepuluh Miliar untuk melunasi hutang keluarganya secepat mungkin."Sama-sama. Aku harus ke kantor pagi ini. Kemungkinan aku akan pulang agak terlambat." Ronald bangkit dari pembaringan dan meluncur ke kamar mandi untuk mem
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di