Mila yang awalnya terlihat kusut, kini langsung tersenyum kembali.
“Yeaaay! Aku diantarkan oleh Papa!” dia melompat-lompat kegirangan sambil memegangi tangan Amanda.
Sudah dua tahun ini dia tak pernah bersama Papanya. Mendengar apa yang disampaikan oleh Simon, Mamanya pun ikut senang.
“Simon, lihatlah, anakmu terlihat sangat gembira sekarang! Terima kasih, Simon.” Mamanya ikut senang dan mengelus cucunya.
Simon tersenyum dan memutar kursi rodanya ke depan. “Ayo kita cepat berangkat. Nanti kamu telat!”
Amanda akhirnya mengikuti Simon sambil menggandeng tangan keponakannya. Mama menyaksikan adegan itu layaknya sebuah mimpi.
Simon yang setelah kepergian istrinya selalu murung dan mengunci diri di kamar, untuk pertama kalinya dia mau keluar dari sangkar.
“Papa, sudah lama tidak ke sekolahku ya?”
Mamanya mendengar suara celotehan cucunya namun Papanya masih diam saja. Setelah dibantu o
“Aku akan membuat wanita yang membersamaimu semakin jatuh hati padamu!”Kenapa harus muncul kalimat itu saat dia akan melakukan make over? Tujuan utama Simon melakukan ini adalah demi sebuah perubahan.Dia ingin kembali seperti Simon yang dulu, setidaknya secara fisik jika hatinya masih belum bisa disembuhkan.“Oh really?” itu saja sekarang yang bisa dia katakan.Diamatinya wajahnya yang sudah banyak berubah. Waktu dua tahun telah memakan ketampanan dan kegagahannya. Selain kakinya yang memang terdapat masalah setelah kecelakaan.“Iya, kamu tahu Simon. Kamu adalah pelanggan favoritku sejak dulu. Too bad, dua tahun ini kamu tidak datang ke sini.” seloroh pegawai barbershop itu.“Aku minta maaf. Dua tahun terakhir ini adalah masa-masa paling berat dalam hidupku.” Dengan tatapan sayu, Simon menjelaskan perasaannya.Sejak dulu dia memang sering bercerita atau sekedar ngobrol dengan orang-orang yang mencukur rambutnya di sini. Simon juga terkenal sering memberikan tip yang lumayan untuk pa
“Sampai kapan kamu memanggilku dengan sebutan ‘pak’ itu? Apa perlu kamu aku ajari bagaimana panggilan yang lebih tepat keluar dari bibir menawanmu ini?”Saat Ronald mengucapkan itu, Amanda merasa sedikit canggung karena sampai detik ini begitu sulitnya lisannya untuk menyebut panggilan ‘mesra’ dan khusus untuknya.Mau dipanggil ‘Mas Ronald’ kesannya terlalu intim, kalau dipanggil ‘sayang’ kok itu seperti membohongi diri sendiri.“Ya saya akan mencobanya nanti, Pak.” Begitu kalimat yang keluar secara reflek dari dirinya. “Ehm, maksudku…Mas Ronald.”“Aku tidak suka kamu panggil ‘pak’ atau ‘bapak’. Seperti orang sudah tua saja.” Perhatian Ronald kini berubah ke kening Amanda.Dikecupnya dengan mesra lalu tibalah saat untuknya melancarkan gerakan demi gerakan yang akan membuat Amanda tak lagi ingat siapa namanya.“Ahhh…” sebentar saja dia sudah mengeluarkan erangan-erangan yang menjadikan Ronald ikut hanyut dalam aktivitas fisik itu.Tok, tok, tok…Sayangnya, mereka tak bisa melanjutkan m
Sekembalinya di kamar, Amanda melihat Ronald masih malas-malasan di atas tempat tidur. Dia hanya membolak-balikkan badannya ke kanan dan ke kiri.“Aarrghhh…” dia berteriak seolah-olah mengaduh.Amanda tak peduli dan menyantap makanannya di atas sofa di dekat jendela.“Aduh, aduh!” kali ini Ronald meringkuk dan mengeluh kesakitan.Tak juga digubris oleh istrinya, dia terdiam.Sedangkan Amanda sesekali terdengar bersin dan berhenti makan sejenak.“Amanda, suapi aku!” ia memohon pada istrinya untuk menyuapi sarapan sementara dia hanya terbaring manja.“Maaf, aku hanya mengambil porsi untukku sendiri.” Jawabnya datar.Amanda sudah tidak mau tahu apapun yang dilakukan oleh Ronald. Begitu pula dengan jadwal seminar yang katanya harus dijalankan hari ini.Setelah mengunyah pelan-pelan roti yang dibawanya lalu meneguk segelas susu, dia memutuskan untuk melepas pakaiannya sem
Simon menunggu sampai hampir satu jam. Amanda yang dinantinya sejak tadi tak kunjung datang. “Ke mana Amanda kok lama sekali tidak muncul?” Mulai merasa ada yang janggal, diapun mencari adik iparnya itu ke dalam rumah lagi. Tidak ada juga. Di dapur hanya ada pembantunya yang tengah bersih-bersih. Sementara di taman depan, hanya ada dua orang sekuriti dan tukang taman yang bersih-bersih tanaman. “Bibi, Amanda di mana?” Simon melihat pembantunya itu membersihkan gelas yang pecah dan berserakan. “Anu Tuan, tadi Non Amanda naik lagi ke kamar atas. Katanya saya disuruh bilang ke Tuan kalau dia sedang ada telepon penting mendadak.” Pembantunya menjawab dan masih melanjutkan pekerjaannya. Telepon dari siapa kok sampai Amanda melupakan dirinya yang sudah menunggu di taman? Pasti dari orang penting semisal keluarganya mungkin. “Nanti kalau Non Amanda sudah turun lagi, bilang saya tunggu di kamar ya?” Simon bergegas kembali ke kamarnya. Dia ingin beristirahat. “Baik, Tuan.” “Sekalian to
Tak habis pikir dengan pernyataan Amanda, Mama mertuanya hanya bisa melampiaskan kekecewaan karena tak diberi tahu soal hari paling penting dalam hidup menantunya.“Amanda, kenapa kamu tidak memberi tahu kami? Setidaknya kita bisa merayakan secara privat dengan seisi rumah saja!” Mamanya merasa tersinggung juga karena hanya Simon yang tahu soal ini.“Saya tidak terbiasa merayakan ulang tahun, Ma. Semua mengalir apa adanya di keluarga saya.” Papar Amanda pelan. Dia tak ingin membangunkan seisi rumah jika terus menerus mengikuti nada tinggi mertuanya.“Tapi, Simon tahu soal itu. Bagaimana dengan suamimu, apa dia tahu soal ini lalu merahasiakannya?” ketika mertua memberi pertanyaan yang ini Amanda tak bisa menjawab.Tentu saja Ronald tahu seharusnya, dia membuat surat perjanjian pernikahan dan di sana tertera nomor identitas, passport bahkan tanggal lahir milikku dengan jelas. Batin Amanda gusar.“Seb
“Apa yang kamu lakukan, Amanda?” Dengan pertanyaan yang sama Ronald bertanya lagi pada wanita bertubuh molek itu. “Aku juga tidak tahu apa yang sedang aku lakukan dan pikirkan sekarang.” Amanda mendekati Ronald dan ikut terpercik air yang menyembur dari shower di atas kepalanya. Tatapannya kosong. Dia sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Sekarang dia sudah tidak mungkin untuk mundur lagi. “Jangan katakan kamu tidak sadar dengan yang kamu lakukan sekarang!” Ronald mulai mendekatkan wajahnya perlahan ke leher sampingnya. Dihirupnya aroma tubuh Amanda yang bercampur dengan air shower. “Tentu aku melakukan ini setelah bergumul dengan berbagai macam perasaan yang aku alami.” Serunya. Kedua insan itu melanjutkan hasratnya untuk saling menyecap rasa yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan. ** “Kamu masih kedinginan?” Ronald bersiap-siap untuk berangkat. Amanda tampak masih merasa berat untuk mel
Amanda ingin sekali rasanya ditelan oleh lantai granit yang mengkilap di bawah kakinya sekarang! Malu bukan main. Dia meraba di bagian bawah kemejanya, benar yang dikatakan oleh Simon. Ada beberapa tali yang lepas dan belum dia pasangkan lagi saat tadi bermesraan dengan suaminya. Simon tertawa melihat iparnya yang salah tingkah sekarang. “Percuma saja, Amanda. Daripada kamu semakin menjadi perhatian banyak orang, lebih baik sekarang kamu dan aku segera kembali saja ke mobil.” Usul Simon yang tak bisa berhenti menertawakan wanita yang kebingungan menutup pahanya itu. “Ba-baiklah, Simon.” Niatnya untuk mengantarkan suami dan tergesa-gesa saat berangkat, membuatnya kelupaan memakai celana atau rok bawahan. “Tapi kamu terlihat seksi saat memakainya, aku pikir ukuran yang aku belikan memang pas di kamu!” Simon mengamati Amanda sebisanya dari kursi roda. Jelas saja dia berada di ketinggian yang lebih rendah dari manusia pada umumnya. “Simon, jangan membuatku semakin malu.” Amanda me
Ronald masih mencoba sekali lagi menekan nomor yang dijadikannya nomor satu di speed dial-nya. Tidak ada respon.Aneh, sejak semalam Amanda tak bisa dihubungi. Setelah dia meninggalkan pesan suara di chat pun dia tak merespon. Aneh, tak pernah sekalipun dia seperti ini."Sarapan dulu, Ronald." Papa menyarankannya untuk segera menyesaikan sajian breakfast yang disediakan oleh panitia. "Keburu dingin..."Masih saja Ronald sibuk dengan handphone yang dipegangnya. Tampak rasa khawatir mendera. Ada apa dengan istri yang baru dia tinggalkan dua hari. Apakah Amanda marah dan sebal karena tidak diajak ke luar negeri?Jika sekarang di Oslo pukul sepuluh pagi berarti di Indonesia sudah jam empat sore. Apa yang membuat istrinya sama sekali tidak memperhatikannya yang jauh di luar negeri?"Amanda tidak merespon dengan panggilan dan chat-ku, Pa. Ada apa ya kira-kira?" gumamnya sembari tangan kanannya memainkan sendok di cangkir
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di