"Jangan membukanya, Pak! Biarkan saja!" perintah orang tersebut yang ternyata adalah Erwin. Dia baru saja pulang dari kerja."Ayah!" Soraya langsung menoleh ke arah sang mertua dengan tatapan bingung. "Kenapa Ayah melarangku bertemu dengan Kaila? Aku merindukannya, Ayah, aku ingin bertemu dengannya.""Baru sekarang kamu merindukannya? Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu lupa, Ray... saat Bima pergi mencari Jenny yang kabur, kamu malah menitipkan Kaila di sini," ujar Erwin dengan nada ketus, tatapannya penuh sinis."Kalian 'kan kakek dan neneknya, jadi wajar kalau aku menitipkannya. Apakah itu salah? Bunda sendiri nggak keberatan, Yah," balas Soraya dengan wajah sedih yang dibuat-buat."Lalu sekarang apa tujuanmu datang ke sini? Pasti kamu belum meminta izin pada Bima, kan?""Bagaimana bisa aku meminta izin pada Mas Bima, sedangkan dia memblokir nomorku? Aku kesulitan menghubungi dan menemuinya, Ayah. Mas Bima seolah-olah menghindariku.""Menghindar ya wajar, siapa juga yang mau menem
"Ya coba aja ceritakan pelan-pelan, Jen," ucap Sri dengan lembut seraya menyentuh punggung tangan Jenny.Jenny mengangguk, kemudian menarik napas dan membuangnya secara perlahan-lahan. "Sebenarnya... aku menikah dengan Pak Bima karena terpaksa awalnya, Bu.""Terpaksa?!" Sri tampak terkejut. "Jadi Pak Bima memaksamu, Jen?""Bukan Pak Bima, Bu." Jenny menggelengkan kepala."Lalu?!""Seorang polisi. Waktu itu sepulang sekolah, aku nggak sengaja melihat Om Lukman. Karena takut dan panik aku sempat ...." Jenny pun menceritakan kembali tentang awal mula dia dipaksa menikah, yang akhirnya menjadikan dirinya sebagai istri kedua Bima.Sri terlihat mengangguk-angguk kepala mendengarnya, meskipun sesekali dia merasa terkejut."Terus, Jen. Apa istri pertama Pak Bima tau?" tanya Sri penasaran, lalu menambahkan. "Maaf, apakah mungkin itu juga alasannya kenapa kamu sempat diminta untuk pergi dari Jakarta?""Sejauh yang aku tau
Hari pun berganti.Jenny secara perlahan membuka matanya yang terasa berat, terbebani oleh sinar matahari yang menyilaukan, yang berani menyelinap melalui celah jendela, memberinya sentuhan hangat pertama pagi itu.Kedua bola matanya yang masih merasa kantuk, mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya baru ini. Dengan rasa penasaran dan sedikit kebingungan, dia menoleh ke arah samping kanannya, mencari keberadaan Bima."Lho, ke mana Pak Bima?" bisik Jenny pada dirinya sendiri, mengerutkan dahinya dalam kebingungan.Ranjangnya kosong, tidak ada tanda-tanda Bima. Dia ingat dengan jelas, semalam, setelah mereka berbagi peluh, pria itu langsung tertidur pulas di sana."Apa mungkin Pak Bima udah bangun duluan?" pikir Jenny. Dia pun beranjak dari tempat tidur, lalu mengumpulkan pakaiannya yang tersebar di lantai dan memakainya kembali.Dia memutuskan untuk menyegarkan diri, pergi mandi. Tapi karena kamar mandinya berada diluar kamar, Jenny berjalan keluar kamar dengan
Kedatangan Eka di rumah sakit secara kebetulan bertepatan dengan seorang dokter pria yang baru saja keluar dari pintu UGD. Tanpa ragu, Eka segera menanyakan tentang kondisi Jenny."Dok, bagaimana keadaan Jenny? Apa yang terjadi?" tanya Eka dengan rasa ingin tahu yang besar.Dokter itu langsung menoleh ke arah Budi yang baru saja berdiri. "Sebelumnya, saya ingin tau apakah Anda adalah suaminya Jenny?" tanya dokter dengan penuh kehati-hatian."Bukan, Dok," jawab Budi sambil menggelengkan kepala."Lalu, apakah Anda adalah kerabat dekatnya?""Aku bukan kerabat dekatnya, Dok. Aku hanya asisten dari bosnya Jenny," jelas Budi."Kalau begitu, apa hubungan Anda dengan Jenny, Bu?" Sekarang dokter itu beralih bertanya kepada Eka sambil menatapnya. "Apakah Anda adalah ibu kandungnya? Atau mertuanya?""Bukan dua-duanya, Dokter," jawab Eka dengan wajah yang penuh keheranan. "Memangnya kenapa ya, Dok? Kenapa Dokter bertanya-tanya tentang kami yang disini?""Ini berkaitan dengan kondisi Jenny, Bu. Sa
Tooookkk ... Tooookkk ... Tooookk.Suara palu yang ditabuhkan terdengar membahana, memenuhi setiap sudut ruangan sidang, sebagai tanda akhir dari sebuah sidang kedua.Sidang kedua tersebut masih mediasi, tapi ini upaya terakhir untuk menemukan jalan damai, sebuah harapan tipis untuk kembali bersatu. Namun, Bima, layaknya karang yang berdiri kokoh ditengah badai, tak tergoyahkan. Keputusannya untuk berpisah telah terukir jelas, meski Soraya menangis, memohon dan meratap sepanjang proses sidang, menolak untuk melepaskan Bima.Dengan bukti-bukti yang kuat di tangan, hakim akhirnya mengabulkan permohonan cerai mereka. Bima juga berhasil memenangkan hak asuh anak.Kaila, meski bukan darah dagingnya, tapi dia adalah bagian dari hidupnya. Bima tidak akan pernah rela melihat Kaila berada di bawah asuhan Soraya.Mengingat semua peristiwa yang telah terjadi, Bima telah menyimpulkan bahwa Soraya bukanlah ibu yang baik untuk Kaila."Maaaaasss! Tunggu sebentar, Maaaasss!!" Soraya memanggil dengan
"Jenny hamil. Dan hanya kamu yang menjadi tersangka kuat yang membuatnya hamil!" ujar Eka dengan suara gemetar. Tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Sebelum dia meminta Bima datang, Eka memang sempat mempertanyakan sejauh mana kedekatan antara Bima dan Jenny kepada Weni dan Budi. Budi di sini masih terlihat agak enggan untuk memberikan informasi, mungkin karena dia masih ingat permintaan dari bosnya untuk menjaga kerahasiaan. Tetapi Weni, babysitter Kaila itu justru membeberkan semuanya. Apalagi saat momen dimana Bima mengajak Jenny berciuman sampai dengan menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam kamar. "Je-Jenny hamil?! Apa Bunda serius?" Bima terbata, sangking terkejut dengan apa yang dia dengar. Tapi wajahnya tampak berseri-seri, karena sungguh dia begitu bahagia sekali. Kemarin-kemarin, setelah mengetahui bahwa ternyata Kaila bukanlah darah dagingnya, hati Bima terasa seperti hancur berkeping-keping. Itulah alasan mengapa dia memilih untuk menja
Karena terlalu emosi, jadilah Bima mengatakan hal yang tidak seharusnya dia katakan.Semua orang di sana langsung terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Bima. Terutama Soraya, yang terkena dampaknya."Bima, apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh kasar kepada Raya," kata Eka dengan lembut, mencoba menasehati anaknya.Dari kecil, Bima tidak pernah diajari untuk berperilaku kasar seperti itu. Terlebih lagi, kepada seorang wanita."Sudah cukup!! Aku sudah cukup sabar dengan semua kelakuan Raya, tapi sekarang ... Enggak lagi, Bun!!" ujar Bima dengan suara yang penuh amarah, yang seakan-akan merobek jiwanya. "Aku nggak akan terima jika ada seseorang yang telah menghina anakku. Apalagi anak itu belum lahir ke dunia," tambahnya sambil lembut mengelus perut Jenny.Suasana menjadi hening seketika. Ekspresi Bima mencerminkan keputusasaan dan kekecewaan yang mendalam.Semua orang terdiam, merasakan beban emosional yang melingkupi ruangan itu."Mas, keterlaluan!! Mas akan membayar semua ini! Sem
"Kamu nggak perlu mengkhawatirkan hal itu, Jen." Bima menggeleng, lalu mengelus lembut perut Jenny mencoba untuk menenangkannya. "Sekarang fokus saja pada anak kita, aku ingin dia selalu sehat begitu pun denganmu."***Sepekan telah berlalu sejak terkuaknya hubungan di antara Bima dan Jenny, namun Soraya masih merasa terngiang-ngiang dengan ucapan Bima tentang dirinya mengandung anak orang lain.Jujur saja, dia belum memahami maksudnya. Tapi tidak mungkin juga kalau dirinya harus kembali mempertanyakan hal itu kepada Bima."Apa, ya, maksud dari ucapan Mas Bima? Sejak kapan juga aku mengandung anak orang lain? Kan anakku cuma Kaila," kata Soraya mencoba berpikir untuk mencari jawabannya. "Ooohhh, atau jangan-jangan ...." Tiba-tiba, Soraya justru menebak jika yang dimaksud Bima adalah Kaila. Dan sebenarnya memang benar, karena sudah jelas anak yang dia kandung hanya Kaila."Masa, sih, Kaila bukan anak kandung Mas Bima? Padahal jika dibandin
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek