Sama seperti Lily, Erwin juga datang ke sana dengan tujuan yang sama, yaitu untuk melakukan tes DNA antara Kaila dan Bima.Setelah berhasil mendapatkan beberapa helai rambut Kaila, Erwin menyarankan kepada istrinya untuk mencari sampel rambut Bima. Dan tempat yang paling mungkin adalah sisir yang Bima gunakan.Erwin ingat, Bima memiliki kebiasaan unik sejak kecil, yaitu rambutnya yang mudah rontok saat disisir.Jadi, mendapatkan sampel dari Bima tidak perlu repot-repot menarik rambutnya secara langsung. Cukup dari sisir milik Bima sendiri, dia bisa mendapatkan rambut Bima yang rontok. Dan yang pasti, itu adalah rambut Bima yang baru saja selesai mandi pagi tadi."Hasil tes DNA-nya akan keluar seminggu atau dua mingguan lagi ya, Pak," kata Dokter itu memberitahu."Baik, Dok." Erwin mengangguk. "Tapi tolong rahasiakan masalah ini pada siapa pun, ya? Apalagi jika ada yang tanya-tanya kepada dokter.""Baik, Pak."Setelah itu, Erwin pun pamit keluar dari sana. Lily yang melihatnya segera b
"Saya tau, tapi biar terdengar sopan saja," jawab Budi, lalu ikut masuk ke dalam mobil dan mengemudi."Panggil Jenny saja sudah cukup sopan kok, Pak," balasnya. "Dan ohya, Pak. Bagaimana sidang pertama Pak Bima dan Bu Raya? Apa sukses?""Saya kurang tau, Nona. Nona bisa tanyakan langsung nanti kepada Pak Bima kalau dia sudah pulang kerja.""Ih Pak Budi, kan aku udah bilang tadi buat panggil Jenny saja." Jenny terlihat tidak suka. Karena menurutnya, panggilan 'Nona' itu terdengar tidak cocok untuknya. Jenny cukup sadar diri."Maaf, tapi Pak Bima yang meminta. Karena walau bagaimanapun... Nona ini 'kan istrinya Pak Bima."Budi berbicara apa adanya. Benar Bima yang meminta untuk mengubah panggilan itu. Mungkin kalau Nyonya terdengar dewasa, apalagi Ibu. Akan lebih bagus panggil Nona saja, karena itu sesuai dengan umur Jenny yang masih belia."Ya udah, terserah kamu Bapak saja." Jenny yang tak mau mengambil pusing akhirnya menyetujuinya.**Sesampainya di apartemen, Jenny terkejut melihat
Reaksi Bima dan Weni sungguh wajar, mengingat betapa mengejutkannya pengakuan Jenny karena selama ini perempuan itu banyak menutupi masa lalunya. "Jen ... cepat beritahu aku!" desak Bima dengan nada tegas, ingin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi."Eh, Pak. Tapi itu udah masa lalu." Jenny langsung menarik tangan Bima, mencoba meredam keingintahuan Bima yang semakin memuncak."Masa lalu?!" Bima tampak bingung. Dia mengerutkan dahinya, berusaha memahami apa yang dimaksud Jenny. "Apa maksudmu itu adalah alasan dimana kamu hamil, Jen?""Iya." Jenny mengangguk cepat, menatap Bima dengan tatapan sedih."Kenapa kamu nggak cerita padaku dari awal, Jen? Dan siapa orangnya?" Bima bertanya dengan nada yang semakin tegas."Aku udah nggak mau membahasnya lagi, Pak." Jenny menggeleng cepat, mencoba menghindari pertanyaan Bima. "Itu sudah masa lalu.""Enggak ada istilah masa lalu tentang kasus pemerkosaan, Jen," ucap Weni penuh dengan kepedulian. "Aku yakin kamu pasti mengalami trauma selam
"Dia suami barunya Bu Lily, Om Lukman.""Om Lukman?!" Bima dan Eka berseru bersama-sama, terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar."E-eh, kamu serius, Jen?" tanya Eka dengan perasaan yang masih terkejut."Iya, Bu," Jenny mengangguk. "Dia orangnya.""Kurang ajar!!!" geram Bima. Emosinya tiba-tiba meluap, naik ke permukaan.Kantong plastik yang sedari tadi dia pegang langsung dijatuhkan. Dan ternyata isinya adalah beberapa buah apel merah. Tanpa ragu, Bima berdiri dan berlari keluar dari apartemennya.Melihat itu, Jenny yang tampak panik segera berlari mengejar Bima."Pak Bima mau ke mana?" tanya Jenny, tapi Bima sudah masuk ke dalam lift lebih dulu dan pintunya segera tertutup. "Apa Pak Bima mau pergi ke rumah Bu Lily dan menemui Om Lukman?" tebaknya dengan penuh tanda tanya. Jantungnya pun tiba-tiba berdebar kencang. "Apa tindakanku tadi salah? Bagaimana kalau nantinya ada masalah? Aku takut.""Kamu nggak salah apa-apa, Jen," kata Weni yang tiba-tiba datang dan merangkul bahu J
"Karena dia adalah orang yang telah memperkosa Jenny, Ma!!" jawab Bima seraya berteriak."APA?! Memperkosa Jenny?!" Lily sontak membelalakkan matanya. Dia yang tampak terkejut langsung menatap ke arah Lukman hang baru saja berdiri. Namun, pria itu dengan cepat menggelengkan kepalanya."Itu sama sekali nggak benar, Yang!" tegasnya membela diri. "Pasti si Bima ini habis dihasut oleh Jenny, karena yang sebenarnya kamu sendiri tau 'kan ... kayak gimana?!""Berhenti bicara omong kosong bajingaan!!" geram Bima. "Aku akan mencari bukti-bukti yang akan memberatkanmu!! Kupastikan kau akan mendekam didalam penjara!" tambahnya mengancam."Usir Bima dari sini, Pak!" perintah Lukman kepada satpam."Baik, Pak." Satpam itu mengangguk, kemudian menyeret Bima untuk keluar dari sana meskipun dengan bersusah payah sebab pria itu sempat memberontak."Apa Papa baik-baik saja?" tanya Soraya dengan khawatir. Dia mendekat ke arah Lukman lalu menangkup kedua pipinya."Iya, Papa baik-baik saja kok, Ray." Lukma
"Iya, Bud. Kasihan banget 'kan si Jenny. Aku harus membantunya. Dia harus mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.""Apa Jenny memberitahu, siapa pelakunya? Kalau sudah tau mending kita langsung seret dia ke penjara saja, Pak," kata Budi memberikan usul."Kalau pelakunya dia tau, Bud. Tapi masalahnya di sini ... kejadian sekitar setahun yang lalu itu sama sekali tak memiliki bukti. Jadi pelakunya susah untuk masuk penjara.""Jenny pas diperkosa memangnya nggak langsung lapor polisi? Atau minta untuk divisum gitu, Pak?""Aku belum tanya soal ini sih, Bud. Tapi kayaknya sih enggak.""Coba Bapak tanya dulu, biar pasti. Nanti kalau informasi dari Jenny sudah jelas ... saya akan langsung menghubungi anak buah saya, Pak.""Iya, Bud. Nanti pas sampai apartemen aku langsung bertanya padanya.""Tapi ngomong-ngomong, Pak. Pelakunya siapa? Apa Jenny menyimpan fotonya?""Enggak perlu pakai foto segala, Bud. Karena pelakunya adalah Lukman.""Lukman??" Budi mengulang nama itu, tapi dia masih belum
Dengan rasa penasaran yang membara, Weni memutuskan untuk menempelkan telinganya ke pintu. Dia berusaha mendengar setiap suara yang keluar dari ruangan tersebut, berharap dapat memahami apa yang sedang terjadi di dalam.Namun sayangnya, meski sudah hampir setengah jam berlalu, Weni tidak mendengar suara apa pun dari dalam kamar tersebut.'Apa yang mereka lakukan di dalam sana? Kenapa nggak ada suara sama sekali?' Weni bertanya-tanya dalam hati, rasa penasarannya semakin memuncak. Jika dia berani, dia mungkin akan langsung mengetuk pintu itu. Namun, dia tidak berani melakukannya, takut akan reaksi Bima. 'Apa mungkin kamar Pak Bima memang kedap suara, sehingga aku nggak bisa mendengar apa-apa?' Weni mencoba menebak dalam hati, sambil terus memerhatikan pintu kamar tersebut.Sementara itu, di dalam kamar, Bima yang telah membawa Jenny masuk dengan lembut meletakkan tubuhnya di atas kasur. Dengan penuh kasih sayang, dia masih terus mencium bibir Jenny.Bima dengan lembut melepaskan jas ya
Bima memutuskan untuk mengajak Jenny sarapan di.salah satu restoran mewah miliknya di kota. Restoran tersebut terkenal dengan suasana yang elegan dan makanan yang lezat.Ketika mereka memasuki restoran, suasana yang ramai langsung menyambut mereka. Meja-meja di restoran ini hampir penuh dengan para tamu yang menikmati sarapan pagi mereka.Terdapat perpaduan antara suara percakapan yang riuh dan aroma harum dari makanan yang sedang disajikan.Restoran ini dirancang dengan sangat indah. Dinding-dindingnya dilapisi dengan panel kayu yang mewah, menciptakan suasana hangat dan nyaman.Lampu gantung cantik tergantung di langit-langit, memberikan pencahayaan yang lembut di setiap sudut ruangan. Pemandangan kota yang indah terlihat melalui jendela-jendela besar, menambah nuansa romantis.Bima dan Jenny dipandu oleh pelayan yang ramah ke meja privasi yang terletak di sudut restoran. Meja tersebut dikelilingi oleh tirai tipis yang memberikan privasi mereka. Mereka bisa berbicara dengan bebas tan
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek