Sekalipun cacat duduk di kursi roda, ternyata karena kepandaiannya serta lulusan terbaik dari Universitas yang terkenal di London, dia diterima menjadi dosen.
Satu minggu sudah Ahem menjadi dosen di Unversitas swasta terkenal di Jakarta. Tekanan hidup dan trauma yang berat menjadikan hidupnya tertekan penuh ketakutan. Selalu ketakutan, anak-anak kesayangannya akan menjadi tarjet kejahatan berikutnya.
Setiap pagi kedua anaknya menyertainya pergi ke kampus. Arjun dan Ruhi dititpkan di PAUD, dan di jemput sepulang mengajar. Begitu terus rutinitasnya sekarang. Mulai malam itu saat semua takbir terbuka, tak sekejab pun Ahem melepas anaknya tanpa dia.
Pagi itu si gadis culun dengan Scoopy barunya menuju parkiran. Dia asal memarkir motornya karena sudah terlambat.
"Selamat pagi, Pak?" sapa Tiffara kepada seorang dosen baru.
"Lihat jam berapa sekarang? Ini pertemuan kita untuk pertama kalinya, jadi aku masih memberi toleransi. Tapi mulai pertemuan ber
Tiffara tidak menyangka dosen di kampusnya yang dingin dan killer itu adalah bosnya di tempat kerjanya. Untung dia menyamar sebagai gadis lugu dan culun. Sehingga Ahem tidak tahu bahwa bodyguardnya adalah muridnya di kampus. Tiffara rela menjadi bahan cemoohan teman-temannya demi penyamarannya. Dia ingin mendapatkan kembali memorinya yang telah hilang, tanpa orang lain tahu bahwa sebenarnya dia sedang amnesia. Tiffara memarkirkan scoopynya dengan asal masuk. Kerena motor barunya takut tergores dengan motor mahasiswa lain, dia mengambil tempat parkir yang longgar dan bahkan ada atapnya sehingga aman dari panas maupun hujan. "Melody, berani amat parkir di situ? Itu tempat parkir preman kampus, tau!" ujar Lusi teman sekelas Tiffara. "Emangnya kenapa, aku punya hak, aku kuliah di sini juga bayar?" jawab Tiffara asal nyeplos. "Dasar kepala batu, lihat saja nanti, aku udah mengingatkan kamu," Lusi kembali mengingatkan. Semenjak mendapa
Tiffara terbelalak kaget, ada ikatan kuat antara Arjun dan Ruhi dan Virgo. Mereka bertiga berpelukan, "Ayo kita ganti baju terus makan dulu, baru main!" ujar Virgo sambil menggendongnya kanan dan kiri. "Melo, tolong bawa aku ke kamarku!" perintah Ahem datar. "Baik, Big Bos," ujar Tiffara. Tanpa disadari Tiffara membawa Ahem ke depan tangga. "Bagaimana kamu membawaku di depan tangga?" tanya Ahem heran. "Bukankah kamar Pak Bos di atas itu?" tanya Tiffara sambil menunjuk kamar utama. "Kok kamu tahu?" sahut Ahem curiga. "Tidak Big Bos asal nebak aja," jawab Tiffara. "Iya itu dulu kamarku, sekarang karena sakit aku tidak mungkin naik tangga makanya aku tidur di kamar bawah," kata Ahem menjelaskan. "Oh begitu Big Bos?" kata Tiffara berkelakar. "Big Bos? Bisa aja kamu ..." ujar Ahem tersenyum. "Oh betapa tampannya bila kamu tersenyum Pak Dosen," batin Tiffara . "Trus kamar Big Bos sebelah mana?"
Ahem sudah selesai mandi, dia berteriak memanggil Tiffara. "Melo ...!" "Iya Big Bos, sudah belum?" tanya Tiffara berteriak. "Sudah Melo!" teriak ketus Ahem menjawab. Akhirnya Tiffara masuk ke kamar Ahem, dia menghampiri Ahem di kamar mandi. "Cepat bantu aku ke luar kamar mandi!" perintah Ahem ketus. "Gimana cara aku membawanya ke luar kamar mandi? Badannya tinggi dan kekar, sedang aku minimalis. Mana aku bisa?" keluh Tiffara dalam hati. "Ayo kenapa bengong di situ?" hardik Ahem. "Iya Big Bos," jawabnya ragu. Tiffara tertegun melihat Ahem yang mengenakan handuk kimono asal saja. Sehingga dadanya yang bidang terbuka dan tampak oleh Tiffara. Dia jadi salah tingkah dan malu menunduk. "Sampai kapan kamu akan berdiri di situ, Melo?" tanya Ahem ketus. "Oh iya Big Bos, sekarang juga datang!" jawab Tiffara bergegas menghampirinya. Tiffara berjalan masuk ke kamar mandi, Ahem bergegas meraih leher T
"Assalamua'alaikum ...?" sapa dosen Ahem begitu berada di depan kelas. "Waalaikum salam, Pak ...!" jawab mahasiswa serempak. "Kita lanjut ke masalah proposal ya? Kemarin kita belum selesai membahas proposal kan?" tanya dosen. "Iya Pak ...!" jawab para mahasiswi kompak sambil mata tertegun menatap sang dosen. Memang dosen duda itu sangat keren membuat para kaum hawa klepek-klepek. Wajahnya sangat tampan, cold penuh karismatik. Memang perangainya dingin dan keras bagai gunung es. Meskipun duduk di kursi roda tetap membuatnya menarik, apalagi kalau mengenakan setelan jas berkelas warna biru tua atau hitam sangat mempesona. Banyak mata tertegun tak berkedip bila sang dosen sedang mengajar. "Diantara kalian pasti mengenal proposal. Apalagi kalian yang aktif di organisasi pasti sering membuat ini. Ada sayembara buat kalian, barang siapa yang bisa mengerjakan proposal dalam waktu 90 menit ada hadiah laptop buat kalian. Ini laptop yang kupakai speknya
Bukan saja Bagus, bahkan ketujuh anggota geng dan preman kampus itu keluar mengerumuni Tiffara. Semua orang ikut tercekam membayangkan kebrutalan para preman itu. Tidak perduli seorang gadis mereka tetap tidak punya hati. Dua bulan yang lalu ada seorang gadis yang mendapat perundungan dari mereka akhirnya bunuh diri melompat dari atas gedung dengan sebuah surat di genggaman tangannya. "Dasar wanita gila, cari mati, dia bakal bernasib sama dengan Maria!" gumam salah seorang mahasiswa yang berdiri di dekat kursi roda Dosen Ahem. "Siapa Maria?" tanya Dosen Ahem. "Mahasiswa sastra, Pak, dua bulan yang lalu bunuh diri karena dipermalukan oleh mereka, Pak," jawab mahasiswa itu. "Ada urusan polisi tidak?" tanya Ahem penasaran. "Sudah Pak, tapi nyatanya tidak ada tindak lanjutnya. Mereka masih bebas berlenggang," jawab mahasiswa yang lain. "Hei cewek Culun, apa kamu sudah bosan hidup? Emang siapa kamu berani-beraninya berteriak keras m
Ketujuh preman kampus itu dipaksa menurunkan motor Tiffara. Para bodyguard Ahem mengawasinya dengan geram. "Cuci motornya sampai bersih, cepat!" teriak Aris memerintah. "Baik, Pak," beberapa orang menjawab serempak. "Big Bos, Mbak Melody pulang sendiri naik motornya," ujar Lukman sang bodyguard. "Ya sudah kita pulang, sekarang!" sahut Ahem. "Big Bos, di rumah nanti ada tamu, tadi Mas Virgo menghubungi saya," ujar Lukman lagi. "Tamu? Siapa?" tanya Ahem kaget. "Nona Dania, Big Bos," jawab Lukman. "Hah? Ada apa lagi dia?" gumamnya datar. Ahem bersama bodyguard pergi meninggalkan kampus setelah melihat Tiffara menghampiri motornya. "Dasar gadis tidak punya otak, basa-basi bilang makasih kek, udah ditolong, dibelikan alat mandi dan baju, nyelonong aja pulang tanpa ba-bi-bu," gerutu Ahem ngedumel. Tiffara dengan tergesa-gesa melajukan motor scoopynya. Disusul mobil Ahem melaju mendahuluinya. Di t
Semenjak pengakuan Ahem bahwa dirinya impoten, suasana jadi berubah. Armand tersenyum puas, bahkan dia berpikir dengan melenyapkan dua bocah kecil itu maka tumpaslah keturunan Abidin. Tidak ada lagi keturunan sebagai generasi penerus tahtanya. Keluarga Dania pulang dengan hati kecewa, keinginan meneruskan rencana perjodohan itu akhirnya batal. Terbersit rencana Armand untuk tetap melanjutkan perjodohan itu tapi bukan lagi dengan Ahem melainkan dengan Virgo. Tapi Dania minta waktu untuk berpikir, demikian juga dengan Virgo. Tiffara yang mendengarkan pengakuan Ahem bahwa dia sekarang impoten, dia terperanjat dan turut bersedih. "Salah satu diantara mereka adalah mantan suamiku siapakah dia? Mungkinkah Ahem? Tapi kenapa aku belum bisa mengingat apapun?" batin Tiffara. "Melo ...!" teriak Ahem memanggil Tiffara. "Saya, Big Bos!" jawab Tiffara datang tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ambilkan flashdisk di laci kamar atas!" perintah Ahem.
Ahem dengan mengenakan handuk kimono siap untuk keluar dari kamar mandi."Melo ...!" teriak Ahem."Iya Big Bos, jangan teriak aku masih disini," kata Bodyguard Melo.Melo membuka pintu kamar mandi dan harus membantu Ahem keluar dari kamar mandi. Tangan Ahem mulai meraih leher Melo untuk berpegangan. Sontak Melo menepis dan menjerit."Aaah! Big Bos!" teriaknya menjerit."Kamu ngapain sih? Teriak-teriak nggak jelas, nanti dikira orang ngapain coba?" hardik Ahem."Jangaan pegang leher, Big Bos, geli tahu!" jawab Melo menghardik."Ribet amat sih jadi orang, atau jangan-jangan kamu tuh banci ya?" umpat Ahem."Big Bos!" pekik Melo. "Orang aneh, asal nyeplos nggak punya perasaan!" gumamnya lirih."Selalu saja kayak tawon laceng, mbengung nggak jelas! Ayo cepat keburu tamunya datang, Melo!" desak Ahem."Big Bos biasa saja nggak perlu ke leher, pundak saja ya?" pinta Melo."Terlalu banyak permintaan kamu, cepe
"Ikut aku!" ajak Ahem tiba-tiba."Kemana?" tanya Tiffara penasaran.Ahem tidak menjawab, dia berjalan menuju mobilnya. Tiffara terpaksa mengikuti tanpa banyak bertanya. Para mahasiswa tertegun menatapnya."Masuk!" perintah Ahem singkat."Apa dia yang terpilih?" teriak seorang mahasiswi."Apa benar?" yang lain menimpali.Ahem membukakan pintu dan meminta Tiffara masuk. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang.Dret ... dret ... dret! Ponsel Tiffara berdering, Virgo yang menelepon. Ini saatnya Tiffara membalas Ahem, dia telah membuat hati Tiffara tercekam cemburu karena biro jodoh yang dia buka."Kak Virgo?" sapanya manja."Tiffara, lagi dimana nih?" tanyanya lembut."Lagi jalan, Kak Virgo. Kakak sendiri lagi ngapain?" "Aku lagi suntuk, aku butuh teman ngobrol, Tiffa," kata Virgo sedih."Lagi mikirin apa? Boleh berbagi sama aku, udah makan belum? Apa kita ketemu makan malam saja," Tiffara dengan lembut menawarkannya.Ciiiit!Spontan Ahem menginjak rem dan berhenti. Ternyata sikap gen
"Akulah yang pertama jatuh cinta padamu, Tiffa. Dan kamu malah menikah dengan Ahem adikku yang belum kamu kenal sebelumnya. Dan selama menikah pun kamu tidak pernah bahagia, tapi anehnya aku tidak bisa masuk diantara kalian," kata Virgo sedih."Maafkan aku Kak Virgo, yang belum bisa membalas cintamu," jawab Tiffara sedih."Aku tidak akan pernah memaksa perasaanmu, tapi setidaknya kamu mau percaya padaku bahwa aku sangat mencintaimu," Virgo meyakinkan."Duh, kok malah curhat di depanku sih," gerutu Ahem dalam hati.Dret ... dret ... dret! Ponsel Virgo berdering, Diva yang sedang menelepon."Aku keluar dulu, Tiffa!" pamit Virgo."Papa Virgo mau kemana?" tanya kedua bocah kecil itu bersamaan."Papa keluar sebentar, Sayang! Nanti kembali lagi," janji Virgo.Dia segera keluar ruangan dan mengangkat telepon dari Diva."Dimana kamu?" tanya Virgo kasar. Dia berpapasan dengan Bagas tapi Virgo tidak menyadarinya. Sontak membuat Bagas penasaran dan berpikiran ingin membuntutinya dan menguping.
Tiffara mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebentar dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Sontak dia bangun dan hendak turun dari tempat tidur tapi tiba-tiba perutnya mual dan pusing-pusing. Akhirnya kembali dia roboh di tempat tidur. "Tiffa, istirahatlah dulu! Kamu masih terkena pengaruh racun ular," gumam Bagas yang baru saja masuk ruangan. Bagas membantu membaringkan tubuh Tiffara kemudian memeriksa keningnya apakah masih demam ataukah sudah membaik. "Syukurlah kamu sudah membaik, Tiffa," gumam Bagas lega. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Kak Ahem, Mas?" tanya Tiffara khawatir. "Anak-anak sudah baik-baik saja, Tiffa. Jangan khawatir!" hibur Bagas. "Gimana dengan Kak Ahem?" tanya Tiffara masih khawatir. "Kenapa kamu mengkhawatirkan dia? Dia kan bukan apa-apa kamu?" tanya Bagas menggoda. "Dia kan papa dari kedua anakku, Mas. Dia juga dosenku, apakah salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jawab Tiffara tersipu malu. "Ooo jadi seorang
Karena jaraknya tidak jauh Bagas dan Tiffara sudah sampai di rumah Ahem. Pintu pagar juga masih tertutup rapat. Dua satpam menjaga dengan aman pintu gerbang, tidak ada tanda-tanda ada orang keluar masuk lewat pintu. Apa itu artinya mereka pelakunya orang dalam sendiri. Din ... din ... din! Klakson mobil dibunyikan, Bagas dan Tiffara telah sampai dan satpam berlari membukakan pintu. Satu-satunya akses untuk keluar masuk rumah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Bagas saat turun dari mobil. "Ada penyusup, Mas. Kenapa kamu masih di sini tidak mencari atau mengejarnya?" ketus Bagas. "Bos Ahem yang minta kami berdua harus jaga ketat pintu keluar," jawab salah satu satpam. "Dua bodyguard sudah berusaha mengejarnya,' lanjutnya. Tiffara bergegas berlari menuju rumah, sebelum kaki melangkah masuk dia melihat sekilas bayangan di semak-semak rerimbunan tanaman bunga. Sontak dia berhenti dan berbalik arah. "Mas Bagas, itu dia!" teriak Tiffara. Sontak sosok yang bersembunyi itu pun segera berlari t
Kini acara pertunangan telah selesai. Tiffara diam-diam mengawasi Ahem, apakah benar tidak ada luka di hatinya. Sebelum Tiffara hadir dalam hidupnya, Ahem dan Diva adalah sepasang kekasih. Rasanya tidak mungkin tidak ada luka di hatinya, apakah dia menutupinya? Tiffara sambil memegang foto yang dia temukan di lemari Ahem, dia terus mengingat-ingat. "Ada apa denganmu, Tiffa?" tanya Bagas. "Mas, kemarin Mbak Diva tunangan sama Kak Virgo," ujarku. "Sama Virgo? Iyakah? Hati-hati Tiffa, dia ular! Jaga anak-anakmu!" pesan Bagas. "Sebenarnya Kak Ahem meminta aku untuk tidur di sana agar bisa fokus mengawasi anak-anak. Tapi aku masih minta waktu berpikir, Mas," ungkap Tiffara. "Kenapa harus berpikir, Tiffa? Demi anak-anakmu ke sampingkan egomu, Tiffa," pesan Bagas. "Jangan sampai kamu menyesal," lanjutnya sedih. Tiffa mulai berpikir serius dengan apa yang baru dikatakan Bagas. Selama ini dia belum berpikir sejauh itu. "Ma
Tak berselang lama Ahem masuk ke kamarnya. Saat itu Tiffara sedang berdiri di depan pintu akan keluar kamar. Ahem terperanjat, melihat Tiffara yang tampil cantik sekali. Ahem berjalan mendekati Tiffa sehingga membuatnya terdesak mundur. "Apa yang kamu lakukan?" ketus Tiffa. "Aku akan memperkosa kamu lagi," kata Ahem terus menggoda. "Hiks ... hiks ... hiks, silakan! Emang Dede'nya bisa bangun?" balas Tiffa menggoda diiringi tawanya. "Boleh kita coba, kamu akan menjadi kelinci percobaanku," desaknya sambil terus memepet Tiffa sampai terhimpit antara dinding dan tubuh Ahem. "Kak Ahemmmm!" pekik Tiffara sambil memejamkan mata. Tak sadar kedua tangan Tiffara mencengkeram pinggang Ahem membuatnya semakin terbakar birahinya. Bibir sexinya melumat lembut bibir Tiffara. Membuat cengkeraman itu semakin kuat bahkan tak sadar tangan Tiffara melingkar kuat di pinggang Ahem membuat Ahem semakin terjebak dalam pagutannya. "Kak Ahem," desahnya
"Mana ada impoten malah dipamerkan, di gembar-gembor kan, malah kita tidak percaya dong!" sahut mahasiswi sambil ngekeh. Sambil berlalu Dosen Ahem tertawa kecil. Melody terus memantaunya dari jauh, dia mengikuti dari belakang. Kini dia sembunyi dibalik pot besar di pinggir jalan. "Kok cepat menghilang sih?" gerutu Melody kesal sambil beranjak bangun. Saat hendak beranjak bangun, dia mendapati bayangan sosok lelaki berdiri di sampingnya. Perlahan dia mendongak ke atas. "Hah!" pekiknya. "Bagaimana bapak tiba-tiba di sini?" lanjut Melody terkejut. "Kamu sendiri ngapain di sini, ngikuti aku kan?" tanya Ahem menohok. "Apa? Mengikuti bapak? Ya nggaklah!" teriakku membantah. "Melody atau Tiffara ya? Ya Melody sajalah terlanjur terbiasa dengan Melody di kamus. Tolong bawakan tas dan bukuku ke ruanganku!" perintah Dosen Ahem. "Saya, Pak?" sahut Melody bertanya. "Iya, kamu. Kenapa? Nggak mau, Bodyguard Melo?" desak Ahem.
Ahem terperanjat dengan perkataan Arman yang mengatakan Virgo tiba-tiba akan menikahi Diva. Padahal sebelumnya Virgo tidak pernah dekat dengan Diva. Entah karena cemburu atau apa, Ahem merasa seolah tidak rela Virgo menikahi Diva dan diajak tinggal bersama satu rumah. Tapi sementara Ahem belum bisa mengungkapkan rasa keberatan itu kepada Virgo. "Aku ganti baju dulu, Melo, tolong bereskan kopiku!" pinta Ahem. Iya, Bos," jawab Melo. Aku mengambil lap dan membersihkan tumpahan kopi. "Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya Ahem bila Diva hidup bahagia bersama Virgo," ujar Arman yang tiba-tiba muncul, mengejek. "Jadi paman bahagia bila melihat Ahem menderita, begitu?" tanya Melo. "Bisa dibilang begitu, dia sudah lama bahagia sudah waktunya ganti kakaknya yang harus bahagia," jawab Arman. "Boleh juga, asal bukan dengan cara licik, Paman. Bahagia tidak bisa diraih dengan cara kotor," ujar Melo. "Anda bisa melakukan sesuka hat
"Ma, mama ... mamaku mana, Om Melo?" tanya lirih Ruhi saat membuka matanya. Saat itu Melo sedang tidur di bibir ranjang, pantatnya di kursi. Segera matanya terbuka mendapati Ruhi memanggilnya. "Sayang, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Melo gugup bercampur bahagia. "Ruhi, kamu sudah bangun?" teriak Arjun. "Sebentar aku panggil dokter!" teriak Melo masih gugup. "Dokter!" teriak Melo di depan pintu. Saking gugupnya, padahal di samping ranjang ada tombol untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lama seorang dokter dan seorang perawat datang dengan tergesa-gesa. "Dok, anak saya sudah sadar, tolong periksa dia!" kata Melo bahagia. Dokter memeriksa sekilas tentang kesehatannya. Perawat membantu memeriksa tensi darahnya. Melo hanya tertegun seolah tak percaya. "Anda siapa?" tanya dokter. "Saya mamanya, maksud saya ... saya pengasuhnya, Dok," jawab Melo gugup. "Mana ke