Axton tengah menyetir mobilnya, hari ini dia sedikit terlambat dan berangkat lebih siang. Padahal dia memiliki rapat satu jam lagi, tapi Axton tak perduli akan hal itum toh Egar yang biasa menjadi perwakilannya sudah pulang dari liburan. Dari balik telepon yang dia sematkan melalui earphone, Axton berbicara, “lalu bagaimana perkembangannya?” “Semuanya sudah beres, surat sidang sudah di keluarkan dan akan dilaksanakan seminggu kemudian. Bukti dan saksi sudah di kumpulkan. Tinggal satu, notaris yang membantu membalikkan nama surat tanah rumah “itu” tidak di temukan. Catatan terakhir kerja miliknya, dia adalah pekerja di kantor pemerintah, lalu pensiun dan membuka kantor notaris swasta tapi sejak saat itu kantornya tutup dan dia menghilang.” Egar menjelaskan dengan seksama. Sama dengan Axton, Egar sendiri bangun terlalu siang karena dia tidur larut malam setelah menyelesaikan pekerjaan Axton yang terbengkalai. Setelah liburan berlalu, dia kembali pada rutinitas di mana dia harus beker
Geva sejak tadi mondar mandir keluar dari ruangan Axton dan ruangan kerjanya. Dia sedang menyelesaikan dokumen yang harus di cek dan tanda tangani oleh Axton, itulah sebabnya Geva sangat sibuk. Dia mencoba profesional meski dia dan Axton saling diam-diaman. Meski masalah ciuman di dalam mobil itu sudah di selesaikan dengan baik, Geva masih menjaga jarak untuk hatinya agar tidak terlalu jatuh pada Axton. Dia ingin terus berkerja dengan baik demi masa depan dirinya dan buah hatinya. Clack!Suara pintu terdengar terbuka, Geva mengetuk sebelum membukanya. Dan lagi ketika dia masuk, dia melihat Axton menunduk terlihat sedang tak fokus, “Ada apa?” tanya Geva dengan setengah formal. Axton kemudian sedikit terperanjat dan mendongakkan kepala, yang awalnya dia menatap secarik kertas yang kosong dia lalu menatap kea rah Geva yang sudah masuk dan berdiri di depan pintu.“Ada apa Gev?” tanya Axton kaget.“Dia seperti orang linglung,” pikir Geva. Dia lalu maju dan memberikan berkas yang sudah d
“Aish sudah beberapa hari aku tidak masuk ya. Semuanya gara-gara dua orang sialan itu. Yang satu masuk penjara jadi aku tidak bisa meminta uang saku, dan yang satu lagi kabur dengan membawa barang-barangnya, aku jadi tidak bisa meminjam tas dan sepatunya,” Warda mengomel sepanjang jalan sembari memainkan ponselnya. Warda berangkat kuliah, Dia berangkat naik bis kota yang hanya perlu kartu pelajar untuk bisa mendapatkan gratis biaya, dan bis itu memiliki pemberhentian yang cukup jauh dari jalanan besar menuju ke gerbang utama kampusnya. Namun sejak tadi dia merasa seseorang menatapnya dari jauh ketika dia berhasil turun dari bis. Hanya saja firasat Warda tak sejeli itu, dia hanya berfikir orang mungkin memperhatikannya karena dia memakai pakaian murahan dari pada sebelumnya dia bisa memakai pakaian mahal milik iparnya. Warda mendengus kesal, berkali-kali menghela nafas karena tak puas dengan apa yang dia punya. Dia lalu melihat kafe yang tak jauh dari tempatnya berdiri, café itu mem
Tapi Indah merasa ak puas dengan perkataan itu, dia menendang dada Warda dengan ujung lututnya.Buagh!“Aarghh!” Warda berteriak kesakitan. “Tutup mulutmu! Atau aku patahin ni tanganmu.” Gertak Indah lagi, dia lalu tertawa, “Kalau tangamu patah, kau tidak bisa mencuri atau melayani om om kan wanita murahan!” Indah meledeknya dan menghina Warda.“Ampun mba, enggak mba. Aku minta maaf mba soal waktu itu mba,” Warda membela diri dan memohon dengan tersedu-sedu. Dia menangis di depan Indah. Tangannya masih di pelintir Indah. Dan kini dadanya sangat sakit dan sesak.Indah yang masih kesal bertambah kesal memukul punggung Warda dengan sikutnya sampai tangan yang dia pelintir berbunyi ‘krek’ dan Warda berteriak kesakitan. Tangannya keseleo dan punggung atasnya kesakitan karena hantaman ujung tumpul dari sikutnya Indah. Warda akhirnya berlutut di depan Indah. Sementara Indah berdiri dengan berkacak pinggang di depan Warda, dia sudah menjatuhkan topi dan masker hitamnya, dia menatap Warda de
“Mba santi?” Geva terkejut ketika Santi masuk ke ruangannya. Dia celingukkan dan melihat papan nama di pintu sudut ruang, itu adalah pintu menju ke ruangan CEO. “Ada apa mba?” panggil Geva yang menuju ke arahnya.“Gev, entahlah. Aku tiba-tiba di panggil CEO.” Jelas Santi yang canggung ketika melihat ke dalam banyak staff dari bawahan petinggi lainnya. Dia hanyalah staf biasa dari divisi pemasaran, jika di bandingkan dengan jabatan, mereka mungkin lebih tinggi setingkat dengannya karena mereka adalah staf yang berada langsung di bawah CEO. “Ada apa Gev?" Tanya Xiao Ling yang baru datang. Dia melihat keberadaan Geva dan Santi yang di luar ruangan. Geva yang melihat mba Xiao Ling segera memberitahukan maksud mba Santi. "Ah begitu. Langsung saja Gev." Ujar Xiao Ling dengan santai. Dia begitu ramah bahkan menyimpulkan senyumannya pada Geva dan Want.Ketika Santi mulai Bergerak menuju pintu ruang Axton, Xiao Ling membuka pembicaraan ke Geva, "Aku punya beberapa berkas yang harus kau perik
Melihat apa yang dilakukan Santi tiba-tibq dia dicemooh berapa staf karena mengagetkn mereka. "Ada apa san?" Tanya salah satu staf yang tadinya ikut menggosip.Santi lalu menilik mereka Dari balik komputernya, "bukan apa-apa hanya ada binatang yang tiba-tiba muncul di mejaku." Jawabnya mengelak."alah paling dia merasa tidak terima," bisik salah satu. Staf tetangga yang tergabung Dari Tim orang-orang penggosip. Dia mengatakan itu dengan gamblang tapi setengah berbisik. Hingga suaranya mungkin tak terdengar di seluruh ruangan tapi terdengar di jarak Santi meski samar.Santi ingin berdiri Dan menghampiri meja yang membuatnya begitu muak bekerja di ruangan itu. Dia ingin menggebrak meja sang penggosip itu Sampai salah satu datang ke meja Santi, "mba, ini ada berkas yang ingin kepala divisi berikan pada mba."Wanita muda yang baru magang itu memberikan berkas pada Santi. "kepala divisi akan kembali setelah jam makan siang. Dia ada urusan di luar katanya. Dan memberikan posisi pengawasan p
Warda pingsan setelah di pukul habis-habisan dengan Indah. Dia terbangun setengah jam kemudian, dengan perasaan was-was.“Hah!” saat Warda terbangun di pingsannya. Dia menyadari terbaring di tengah gang yang sepi. Hanya ada tumpukkan sampah di sekitarnya. Rasanya semua tulang di tubuhnya seperti akan melepas dari tempatnya. Warda benar-benar merasakan kesakitan yang luar biasa.“Siapapun … ada yang bisa menolongku?” tanyanya pada keadaan yang sepi. Dia berusaha bangkit dengan tertatih. Dengan kayu yang sebelumnya dia ingat dia gunakan pada Indah, sekarang dia gunakan untuk menompang tubuhnya yang tertatih susah untuk bangkit karena rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya.Warda akhirnya bisa bangkit dan berjalan menggunakan tongkat itu. Dia pergi ke UKS kampus dan di gossipin telah di habisi orang asing. Warda memilih bungkam dan mengabaikan semua yang orang itu bicarakan tentangnya.“Dasar sialan,” pikirnya pada tatapan wajah kasihan manusia yang melihat dirinya, tatapan menyedihkan
“Siram dia air!” titah Bagas pada Ian yang kini menyamar lagi sebagai kaki tangannya.Bagas mengenangkan topeng monster mengerikan, dengan mata dari topeng itu yang melotot seperti akan lepas. Dan Ian mengenangkan topeng badut yang berlumuran darah, mereka berdua bertingkah seperti seorang pembunuh yang profesional.“Hah?” Ian bingung dengan printah itu, lebih tepatnya dia tidak bisa melakukan itu di dalam mobilnya yang berharga. Apalagi menyiram air di mana dia biasa bekerja, itu akan sangat fatal.“Tidak usah banyak! hanya segela, nanti kita lap lagi sampai kering. Siram saja tepat di bagian mata dan hidungnya.” Titah Bagas lagi.Kali ini, Ian menurut. Dia mengerti. Dia berjongkok di depan tubuh Warda yang mereka dudukkan di pojok mobil Van, semenatra Feya hanya duduk di depan kemudi dengan mengangkat kakinya di setir sembari menikmati percakapan mereka yang menggelikan.Feya hanya cengengesan, dia menutup saluran bicara mereka yang melalui sekat dari dalam van ke dalam bagian kemud