Geva membolak balikkan isi lemari miliknya. Ia terus memilah pakaian yang bergantung di lemari sebelahnya. Sesekali ia mengambil satu pakaian yang ia punya lalu berdiri di depan cermin dan menempelkannya di tubuhnya sembari bercemin dan berkata, “Tidak!” atau, “Jangan ini!” , lalu mengulang aktivitasnya sembari berteriak kecil, “Tidak ada yang cocok!” “Ini gila!” pikir Geva. Ia sudah sering makan bersama dengan Axton, di kantor, di luar kantor ketika meeting atau ketika weekend ketika mereka sedang piknik bersama putranya Delvin. Tapi kenapa kali ini jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Tidak hanya sepoerti ia gugup karena diburu sebuah ketakutan, Ia seperti akan muntah karena perutnya terus berputar-putar.“Haruskah aku membatalkan ini semua?” pikir Geva dengan tak karuan. Ia memegangi kepalanya yang pening setengah mati.“Arghhh!” dengus Geva kesal pada dirinya di depan kaca, ia lalu menunjuk dirinya, “Seharusnya kau tidak menyetujui itu dasar bodoh!” gertaknya kesal. Lalu k
“Dia sudah datang?” tanya Geva penuh awas. Dia memang sejak tadi sudah gelisah, Geva bahkan bisa merasakan tisu yang ia genggam mulai menyerap keringat di tangannya yang gtak terkontrolSanti mengangguk pelan dengan wajah berbinar terlihat jelas di sana, “Ya, ayo!” ajak Santi dengan berbisik. Sebuah mobil sedan mewah seharga dua milliar yang baru-baru ini tranding terlihat terparkir di halaman rumah Geva, dan Santi sudah tahu bahwa itu pasti adalah Axton, bossnya. Geva berjalan perlahan keluar rumah sembari mba Santi menuntunnya dari belakang, “Tenang saja!” ucap mba Santi dengan tangan mengepal di atas menyemangati Geva yang terlihat sangat gugup.“Ergh?” Geva terperanjat kecil saat dia keluar, dirinya mendapati Axton dengan balutan setelan jas sanat rapi dan mewah tengah berdiri dari balik pintu.“Hi Geva,” Sapanya dengan senyuman sumringah. Menampakkan gigi putih yang berjejer rapi di wajah tampan Axton.“Hi,” sapa balik Geva dengan gagu. Ia Gugup setengah mati, memang. Tulang ra
Beberapa jam yang lalu, Egar bangun dari tidur panjangnya dan baru teringat untuk melaporkan pada Axton bahwa ia sudah melakukan reserfasi. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, ia baru bangun dan harus melakukan makan malam juga pertemuan dengan seorang notaris hukum. Egar sudah menyiapkan semua bahan yang ingin ia serahkan dan konsultasikan pada sang naotaris hukum itu. “Berapa tahun untuk hukuman seseorang yang memalsukan dokumen?” tanya Egar pada orang di depannya. Orang itu sejak tadi terus saja membenarkan kaca matanya yang longgar sembari membolak balikkan berkas yang tengah ia baca. Pria baru baya itu mulai menjelaskan tentang masa hukuman seorang yang memalsukan dokumen. “Apa bukti-buktinya sudah kau siapkan?” tanya dia dengan setengah berbisik.“Kenapa anda berbisik-bisik pak?” tanya Egar penasaran, ia mulai mengeluarkan sebuah alat yang dikenal sebagai pemblokiran sinyal. Alat yang bisa memblokirkan semua penyadap, “tenang saja, aku sudah menyiapkan ini,” jelasny
“Begini?” tanya Lina pada Warda.Warda tengah memilah tas di antara tas yang terpajang di lemari kaca milik Indah. Ia mengingat-ingat tas yang jarang sekali di pakai Indah dan mencoba memasukkannya ke dalam kotak. Tak tanggung-tanggung, Warda mencuri tas koleksi Indah berserta kotaknya. Ia melihat Lina menyusun rapi tas yang sudah ia foto untuk ia posting di grup jual beli. Sementara Warda memfoto tas yang bukan miliknya, Lina merapikan kembali dan bahkan mereka mencurinya.“Benar mah. Rapiin yang warna merah. Itu sudah ada yang pesen,” ucap Warda dengan suara setengah berbisik. “Ayo selesein ini sebelum dia balik rumah,” ujarnya lagi. Lina hanya mengangguk. setelah itu ia keluar dan melewati berangkas kecil berwarna hitam di bawah meja rias. Melihat hal itu ia sedikit terkejut, “Warda, warda, hei hei kesini!” ucap Lina sembari mengayun-ayunkan tangannya di angin. Warda terkecoh sembari ikut melihat ke arah mata Lina mengarah. Seketika wanita muda itu membulatkan mata, ia terlihat
“Wah kau sering pergi ke tempat seperti ini?” tanya Indah penasaran. Malam ini ia keluar diam-diam setelah pulang bekerja. Sehabis pulang ia segera membersihkan diri dan keluar rumah diam-diam agar tidak ketahuan Lina. Jika dia ketahuan, Indah bisa saja di larang keluar dan disuruh memasak untuk mereka. Terakhir kali Indah sengaja pulang larut malam hingga membuat keluarga Damas memesan makanan dari luar. Hari ini ia melakukan hal yang sama, ia tak mau lagi di suruh memasakkan mereka makanan atau membersihkan piring-piring bekas mereka makan.“Ah tidak juga. Hanya sesekali. Aku tidak terbiasa pergi ke tempat seperti ini,” ucap Bagas yang memalingkan wajahnya. Ia terlihat melempar pandangan dari wajah Indah ke dinding-dinding lorong, seperti tengah membaca nomor ruangan yang akan mereka kunjungi. Bagas lalu membuka pintu dan masuk lebih dulu, di susul Indah di belakangnya. Di dalam terdapat beberapa orang lelaki yang sudah mabuk. Di samping tubuh mereka yang lunglai terdapat wanita-
Geva melambatkan makannya. Dia sesekali menatap Axton, rasanya Geva penuh haru bertemu dengan lelaki se tampan dan baik pria di depannya. Sudah lama sekali ia tidak di perlakukan sebaik ini. Rasa-rasanya ia tak ingin mengingat rasa trauma di masa lalu, tapi terakadang itu terlintas begitu saja di pikirannya. Tapi Axton yang menyadari Geva menatapnya ikut memberhentikan makannya. Ia kemudian menaruh kedua tangan di bawah dagunya, mengamati Geva dengan tatapan yang mampu membuat wanita manapun meleleh.Geva tersadar dan mulai bingung. Dia awalnya gugup karena mata mereka bertemu di waktu yang tepat lalu ia melempar pandangannya pada pemandangan di luar kaca yang penuh gemerlap di tengah gelap. “Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Geva dengan ragu-ragu.“Ada.” Axton menjawab dengan pelan.“Hah? apa ada sisa makanan? Atau ada cabe yang menyelip di gigiku?” tanya Geva yang mulai mencari sesuatu di samping mulutnya. Ia juga mengambil ponsel dan mulai membuka kamera. “Ada keindahan yang t
“Dasar cewe murahan sialan!” teriak Damas ketika melihat mobil yang akan masuk ke dalam pekarangan rumah Geva. Damas dengan nekat memberhentikan mobil Axton dengan berdiri di depannya. Axton yang terkejut mengerem mendadak. “Ada apa dengannya? Apa itu Damas?” “I-iya.” Geva menjawab dengan khawatir. Axton memegang tangan Geva, ia meremas lembut tangan mungil Geva. “Kau tidak perlu keluar jika tidak ingin. Biar aku yang mengusirnya.” Ucap Axton menyakinkan. Ia merogoh ponselnya dan menelpon seseorang dengan suara tegas. “Hallo detektif Cho. Aku ingin membuat laporan tentang seseorang pria pemabuk yang menerobos ke properti pribadi. Aku akan mengirim alamatnya melalui pesan. Tolong segera datang, ada balita yang sedang terancam.”Geva mendengar itu namun ia mengabaikan fakta bahwa Axton menambah-nambahi informasi yang ada. Ia melepas tangan Axton dan menghela nafas. “Tidak, aku harus keluar. Aku tidak takut dengan pria prengsek itu.” Geva berkata dengan yakin sembari membuka pintu.
“Omong-omong aku tidak sengaja mendengar kau berkata, kau memukulinya agar dia mengingat masa lalu …” Geva tengah menggendong Delvin di pelukannya setelah ia merindukan putranya meski hanya pergi beberapa jam saja. Sementara Santi yang masih syok dengan kejadian itu sedang di wawancarai oleh detektif yang masih tinggal di lokasi mereka untuk mengumpulkan bukti. Mereka berada di lantai bawah, di ruang tamu.Delvin menjadi tenang di pelukan Geva setelah kejadian itu. Sementara di sampingnya Axton tengah menikmati secangkir teh hangat buatan Geva malam itu. Lelaki itu masih belum tenang meninggalkan Geva sendirian di rumah. Mendengar perkataan Geva, Axton memperlambat seruputan tehnya. Dengan mata mendelik dari balik cangkir, ia menatap dalam ke arah Geva. Ia teringat akan masa lalunya. Di mana saat itu, Axton dan keluarganya memulai hidup baru bagi orang biasa. Saat itu ia masih sangat kecil, ia belum mengerti apapun dengan keputusan kedua orang tuanya. Tapi mereka berdua orang baik