“Begini?” tanya Lina pada Warda.Warda tengah memilah tas di antara tas yang terpajang di lemari kaca milik Indah. Ia mengingat-ingat tas yang jarang sekali di pakai Indah dan mencoba memasukkannya ke dalam kotak. Tak tanggung-tanggung, Warda mencuri tas koleksi Indah berserta kotaknya. Ia melihat Lina menyusun rapi tas yang sudah ia foto untuk ia posting di grup jual beli. Sementara Warda memfoto tas yang bukan miliknya, Lina merapikan kembali dan bahkan mereka mencurinya.“Benar mah. Rapiin yang warna merah. Itu sudah ada yang pesen,” ucap Warda dengan suara setengah berbisik. “Ayo selesein ini sebelum dia balik rumah,” ujarnya lagi. Lina hanya mengangguk. setelah itu ia keluar dan melewati berangkas kecil berwarna hitam di bawah meja rias. Melihat hal itu ia sedikit terkejut, “Warda, warda, hei hei kesini!” ucap Lina sembari mengayun-ayunkan tangannya di angin. Warda terkecoh sembari ikut melihat ke arah mata Lina mengarah. Seketika wanita muda itu membulatkan mata, ia terlihat
“Wah kau sering pergi ke tempat seperti ini?” tanya Indah penasaran. Malam ini ia keluar diam-diam setelah pulang bekerja. Sehabis pulang ia segera membersihkan diri dan keluar rumah diam-diam agar tidak ketahuan Lina. Jika dia ketahuan, Indah bisa saja di larang keluar dan disuruh memasak untuk mereka. Terakhir kali Indah sengaja pulang larut malam hingga membuat keluarga Damas memesan makanan dari luar. Hari ini ia melakukan hal yang sama, ia tak mau lagi di suruh memasakkan mereka makanan atau membersihkan piring-piring bekas mereka makan.“Ah tidak juga. Hanya sesekali. Aku tidak terbiasa pergi ke tempat seperti ini,” ucap Bagas yang memalingkan wajahnya. Ia terlihat melempar pandangan dari wajah Indah ke dinding-dinding lorong, seperti tengah membaca nomor ruangan yang akan mereka kunjungi. Bagas lalu membuka pintu dan masuk lebih dulu, di susul Indah di belakangnya. Di dalam terdapat beberapa orang lelaki yang sudah mabuk. Di samping tubuh mereka yang lunglai terdapat wanita-
Geva melambatkan makannya. Dia sesekali menatap Axton, rasanya Geva penuh haru bertemu dengan lelaki se tampan dan baik pria di depannya. Sudah lama sekali ia tidak di perlakukan sebaik ini. Rasa-rasanya ia tak ingin mengingat rasa trauma di masa lalu, tapi terakadang itu terlintas begitu saja di pikirannya. Tapi Axton yang menyadari Geva menatapnya ikut memberhentikan makannya. Ia kemudian menaruh kedua tangan di bawah dagunya, mengamati Geva dengan tatapan yang mampu membuat wanita manapun meleleh.Geva tersadar dan mulai bingung. Dia awalnya gugup karena mata mereka bertemu di waktu yang tepat lalu ia melempar pandangannya pada pemandangan di luar kaca yang penuh gemerlap di tengah gelap. “Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Geva dengan ragu-ragu.“Ada.” Axton menjawab dengan pelan.“Hah? apa ada sisa makanan? Atau ada cabe yang menyelip di gigiku?” tanya Geva yang mulai mencari sesuatu di samping mulutnya. Ia juga mengambil ponsel dan mulai membuka kamera. “Ada keindahan yang t
“Dasar cewe murahan sialan!” teriak Damas ketika melihat mobil yang akan masuk ke dalam pekarangan rumah Geva. Damas dengan nekat memberhentikan mobil Axton dengan berdiri di depannya. Axton yang terkejut mengerem mendadak. “Ada apa dengannya? Apa itu Damas?” “I-iya.” Geva menjawab dengan khawatir. Axton memegang tangan Geva, ia meremas lembut tangan mungil Geva. “Kau tidak perlu keluar jika tidak ingin. Biar aku yang mengusirnya.” Ucap Axton menyakinkan. Ia merogoh ponselnya dan menelpon seseorang dengan suara tegas. “Hallo detektif Cho. Aku ingin membuat laporan tentang seseorang pria pemabuk yang menerobos ke properti pribadi. Aku akan mengirim alamatnya melalui pesan. Tolong segera datang, ada balita yang sedang terancam.”Geva mendengar itu namun ia mengabaikan fakta bahwa Axton menambah-nambahi informasi yang ada. Ia melepas tangan Axton dan menghela nafas. “Tidak, aku harus keluar. Aku tidak takut dengan pria prengsek itu.” Geva berkata dengan yakin sembari membuka pintu.
“Omong-omong aku tidak sengaja mendengar kau berkata, kau memukulinya agar dia mengingat masa lalu …” Geva tengah menggendong Delvin di pelukannya setelah ia merindukan putranya meski hanya pergi beberapa jam saja. Sementara Santi yang masih syok dengan kejadian itu sedang di wawancarai oleh detektif yang masih tinggal di lokasi mereka untuk mengumpulkan bukti. Mereka berada di lantai bawah, di ruang tamu.Delvin menjadi tenang di pelukan Geva setelah kejadian itu. Sementara di sampingnya Axton tengah menikmati secangkir teh hangat buatan Geva malam itu. Lelaki itu masih belum tenang meninggalkan Geva sendirian di rumah. Mendengar perkataan Geva, Axton memperlambat seruputan tehnya. Dengan mata mendelik dari balik cangkir, ia menatap dalam ke arah Geva. Ia teringat akan masa lalunya. Di mana saat itu, Axton dan keluarganya memulai hidup baru bagi orang biasa. Saat itu ia masih sangat kecil, ia belum mengerti apapun dengan keputusan kedua orang tuanya. Tapi mereka berdua orang baik
Indah baru saja turun dari mobil silver. Ia tak menoleh kebelakang dan berlalu dengan sempoyongan. Indah menuju ke rumah yang remang, ia tak menyadari hari sudah larut malam.“Dari mana saja kau?” Tanya suara berat dari seorang lelaki.Damas berdiri di sana dengan wajah yang tak karuan, bekas memar benar-benar terlihat di sana. Damas berkacak pinggang dan mulai menatap Indah dengan tajam. Ia mengerutkan dahinya, raut wajahnya kesal. “Kau mabuk?!” tanya Damas dengan kesal setelah mendekati beberapa langkah dari Indah.Bau menyengat tercium dari nafas Indah, tak hanya itu bau tubuh Indah juga tercium berbagai bau rokok dan parfum yang menyengat.Seketika tamparan tanpa sadar melayang di wajah Indah. Dia tengah setengah menyipit, tanganya bersandar pada dinding sementara tangannya yang lain memegang tas belanjaan dengan berbagai merk terkenal.“Ouch! Apasih …” keluh Indah.Ketika di tampar oleh Damas dengan kencang, Indah masih setengah sadar hingga terhuyung dan menghantam tembok. Ia b
“Lagi pula ada apa sih dengan badannya itu?” pikir Indah.Ia duduk di kantornya. Dia teringat sejam yang lalu ketika dia bangun dari tidurnya, bersiap untuk berangkat ke butik dan mendapati tubuh Damas menyisakan babak belur. Sejak itu Damas tak lagi menegurnya, Indah hanya ingat ia bertengkar dengan Damas. Dia ingat beberapa kata, dan perselingkuhannya dengan Bagas menjadi salah satu.Ponsel Indah berdering seiring ia terus memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan ancaman Damas. Ia ingat Damas di waktu Indah ingin berangkat kerja sempat mengancam dirinya akan membocorkan pada Damas tentang kehidupan lama Indah.“Bagas?” ucapnya ketika melihat nama di panggilan ponselnya.Jantung Indah berdetak kencang, “Apa si brengsek itu sudah melakukannya?” pikir Indah.Untuk beberapa detik, ia termakan oleh ancaman yang di berikan oleh Damas. Ia mengangkat panggilan Bagas namun hanya diam saja untuk sejenak.“Indah?” panggilnya. Indah masih tak menjawab beberapa kali namanya dipanggil sampai di
Damas meminta uang pada Indah, ia menadahkan tangannya dan menagih uang pada Indah dengan wajah dingin.Indah yang melihat itu mengerutkan dahinya, “Apa-apaan ini. Bukannya harusnya kau yang memberiku nafkah?” celetuk Indah kesal.“Kau sudah berjanji akan memberiku hasil uang yang sudah kau hasilkan dari pengusaha itu. Kita sudah sepakat akan hal ini bukan?” celetuk Damas dengan wajah serius. Dia benar-benar percaya diri akan membuat Indah menyesal jika tidak mematuhi kesepakatan.Indah menjadi sangat kesal, moodnya mudah berubah. “Ya ya!” gertak Indah. “Akan aku berikan nanti. Kau pergilah bekerja, sialan. janganDia baru pulang dan mengabaikan Damas di ruang tamu. Ketika melewati Damas, Indah melihat Warda dan Lina mengintip dari balik pintu kamar Warda yang berada seberang kamarnya. Indah melirik ke arah lubang yang terbuka dengan wajah sombong.Indah menenteng beberapa tas belanjaan dan berjalan melenggok di depan dua beranak itu. “Kalau kalian ingin hadiah, datang saja ke kamarku