Damas tengah fokus pada minumannya di sebuah meja bar, sementara di sekelilingnya mulai ramai dan meriah. Tapi ia yang pusing dengan keadaan di rumah memilih fokus dengan segelas bir murah di kelilingi teman-teman bermainnya. Tatapannya tertuju pada seorang wanita di pojok ruangan yang mencuri pandang padanya, ia awalnya merasa tak tertarik tetapi ketika Damas memutuskan berpisah pada temannya wanita itu seolah melihat peluang untuk mendekatinya. Damas merasa wanita itu sangat cantik dengan tubuh langsing dan tinggi semampai, wajahnya yang oriental dengan kulit putih berseri mulai sengaja menyentuh lengannya berdekatan dengan lengan Damas. “Apa kau sendirian?” tanyanya dengan manis Damas. Dan lelaki itu hanya mengangguk.Damas meneguk perlahan birnya sampai habis, melihat ia digoda begitu membuat hasrat sombongnya naik. Segera ia memesan cocktail import dengan senyuman sombong.“Hei! Tolong dua yang spesial di menumu,” kata Damas pada bartender dengan memberikan senyuman simpul pad
Beberapa hari kemudian berlalu.“Kenapa kau kemari?” tanya Damas yang heran ketika ia mendapatkan panggilan bahwa seseorang mencarinya dan itu adalah Feby yang sudah menunggunya di loby kantor.“Ya tentu saja aku harus datang menemuimu! Kau tidak mencoba lari dari diriku kan?!” tanya Feby dengan ancaman. Ia mulai membuka ponselnya dan mengirim sebuah foto yang ia rekayasa sebelumnya. “Kau mengambil keperawananku malam itu. kau tau kan?!” Damas yang melihat foto itu megerutkan dahinya. Dia teringat ketika bangun sendiri di penginapan dan ia melihat banyak bercak darah di kasur bahkan juga ada sedikit bercak di perut orang itu.Awalnya ia t ak ambil pusing, ia bahkan tak mengingat apa yang terjadi malam itu, ia bangun dalam keadaan terlanjang dan Feby sudah tidak ada di kamar. “Dasar sinting! Kau pikir kau bisa mengancamku dengan modus seperti ini?!” bentak Damas yang mulai memegang lengan Feby dengan kencang dan menghentak gadis itu untuk ikut dengannya. Ia menarik lengan Feby untu
Damas terlihat santai makan bersama Feby, bahkan Feby tak sengaja melihat wanita asing dari balik punggung Damas. Itu adalah Indah yang menatap mereka dengan marah yang terlihat jelas, melihat hal itu Indah segera berpura-pura tidak mengenal wanita itu dan bertingkah seperti biasa, ia bahkan menyodorkan makanan miliknya dengan menggunakan sendoknya kepada Damas. “Ini enak deh, cobain!” pinta Indah dengan mata membulat mendesak Damas.Damas menurut dan membuka mulutnya, tiba-tiba seorang wanita berdiri di samping mejanya. Brak!Indah yang sejak menerima pesan sudah tak bisa mengontrol emosi segera mendatangi meja mereka berdua dan mengambil minuman milik Damas, ia menyiramnya tepat di wajah Damas namun gelas itu segera di tepis oleh lelaki itu hingga hanya mengenai celananya.“Dasar kurang ajar!” teriak Indah di depan wajah Damas yang berhasil mengelak siramannya.Seketika café yang riuh dan ramai itu menjadi sunyi beberapa detik karena suara Indah yang melengking. Semua orang yang a
Geva membolak balikkan isi lemari miliknya. Ia terus memilah pakaian yang bergantung di lemari sebelahnya. Sesekali ia mengambil satu pakaian yang ia punya lalu berdiri di depan cermin dan menempelkannya di tubuhnya sembari bercemin dan berkata, “Tidak!” atau, “Jangan ini!” , lalu mengulang aktivitasnya sembari berteriak kecil, “Tidak ada yang cocok!” “Ini gila!” pikir Geva. Ia sudah sering makan bersama dengan Axton, di kantor, di luar kantor ketika meeting atau ketika weekend ketika mereka sedang piknik bersama putranya Delvin. Tapi kenapa kali ini jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Tidak hanya sepoerti ia gugup karena diburu sebuah ketakutan, Ia seperti akan muntah karena perutnya terus berputar-putar.“Haruskah aku membatalkan ini semua?” pikir Geva dengan tak karuan. Ia memegangi kepalanya yang pening setengah mati.“Arghhh!” dengus Geva kesal pada dirinya di depan kaca, ia lalu menunjuk dirinya, “Seharusnya kau tidak menyetujui itu dasar bodoh!” gertaknya kesal. Lalu k
“Dia sudah datang?” tanya Geva penuh awas. Dia memang sejak tadi sudah gelisah, Geva bahkan bisa merasakan tisu yang ia genggam mulai menyerap keringat di tangannya yang gtak terkontrolSanti mengangguk pelan dengan wajah berbinar terlihat jelas di sana, “Ya, ayo!” ajak Santi dengan berbisik. Sebuah mobil sedan mewah seharga dua milliar yang baru-baru ini tranding terlihat terparkir di halaman rumah Geva, dan Santi sudah tahu bahwa itu pasti adalah Axton, bossnya. Geva berjalan perlahan keluar rumah sembari mba Santi menuntunnya dari belakang, “Tenang saja!” ucap mba Santi dengan tangan mengepal di atas menyemangati Geva yang terlihat sangat gugup.“Ergh?” Geva terperanjat kecil saat dia keluar, dirinya mendapati Axton dengan balutan setelan jas sanat rapi dan mewah tengah berdiri dari balik pintu.“Hi Geva,” Sapanya dengan senyuman sumringah. Menampakkan gigi putih yang berjejer rapi di wajah tampan Axton.“Hi,” sapa balik Geva dengan gagu. Ia Gugup setengah mati, memang. Tulang ra
Beberapa jam yang lalu, Egar bangun dari tidur panjangnya dan baru teringat untuk melaporkan pada Axton bahwa ia sudah melakukan reserfasi. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, ia baru bangun dan harus melakukan makan malam juga pertemuan dengan seorang notaris hukum. Egar sudah menyiapkan semua bahan yang ingin ia serahkan dan konsultasikan pada sang naotaris hukum itu. “Berapa tahun untuk hukuman seseorang yang memalsukan dokumen?” tanya Egar pada orang di depannya. Orang itu sejak tadi terus saja membenarkan kaca matanya yang longgar sembari membolak balikkan berkas yang tengah ia baca. Pria baru baya itu mulai menjelaskan tentang masa hukuman seorang yang memalsukan dokumen. “Apa bukti-buktinya sudah kau siapkan?” tanya dia dengan setengah berbisik.“Kenapa anda berbisik-bisik pak?” tanya Egar penasaran, ia mulai mengeluarkan sebuah alat yang dikenal sebagai pemblokiran sinyal. Alat yang bisa memblokirkan semua penyadap, “tenang saja, aku sudah menyiapkan ini,” jelasny
“Begini?” tanya Lina pada Warda.Warda tengah memilah tas di antara tas yang terpajang di lemari kaca milik Indah. Ia mengingat-ingat tas yang jarang sekali di pakai Indah dan mencoba memasukkannya ke dalam kotak. Tak tanggung-tanggung, Warda mencuri tas koleksi Indah berserta kotaknya. Ia melihat Lina menyusun rapi tas yang sudah ia foto untuk ia posting di grup jual beli. Sementara Warda memfoto tas yang bukan miliknya, Lina merapikan kembali dan bahkan mereka mencurinya.“Benar mah. Rapiin yang warna merah. Itu sudah ada yang pesen,” ucap Warda dengan suara setengah berbisik. “Ayo selesein ini sebelum dia balik rumah,” ujarnya lagi. Lina hanya mengangguk. setelah itu ia keluar dan melewati berangkas kecil berwarna hitam di bawah meja rias. Melihat hal itu ia sedikit terkejut, “Warda, warda, hei hei kesini!” ucap Lina sembari mengayun-ayunkan tangannya di angin. Warda terkecoh sembari ikut melihat ke arah mata Lina mengarah. Seketika wanita muda itu membulatkan mata, ia terlihat
“Wah kau sering pergi ke tempat seperti ini?” tanya Indah penasaran. Malam ini ia keluar diam-diam setelah pulang bekerja. Sehabis pulang ia segera membersihkan diri dan keluar rumah diam-diam agar tidak ketahuan Lina. Jika dia ketahuan, Indah bisa saja di larang keluar dan disuruh memasak untuk mereka. Terakhir kali Indah sengaja pulang larut malam hingga membuat keluarga Damas memesan makanan dari luar. Hari ini ia melakukan hal yang sama, ia tak mau lagi di suruh memasakkan mereka makanan atau membersihkan piring-piring bekas mereka makan.“Ah tidak juga. Hanya sesekali. Aku tidak terbiasa pergi ke tempat seperti ini,” ucap Bagas yang memalingkan wajahnya. Ia terlihat melempar pandangan dari wajah Indah ke dinding-dinding lorong, seperti tengah membaca nomor ruangan yang akan mereka kunjungi. Bagas lalu membuka pintu dan masuk lebih dulu, di susul Indah di belakangnya. Di dalam terdapat beberapa orang lelaki yang sudah mabuk. Di samping tubuh mereka yang lunglai terdapat wanita-