"Udah belum nangisnya?" Resta menyusut hidungnya yang juga berair gara-gara menangis. "Hm, aku tuh mau marah-marah sama kamu. Eh, belum apa-apa udah mewek duluan." Gyan meringis ketika pukulan Resta mendarat di dadanya. Dengan gemas dia menarik Resta ke pelukannya lagi. "Gimana mau marah coba?" Resta mendorong Gyan menjauh lalu bergerak bangkit dari tempat tidur. Tangannya kembali menarik tisu banyak-banyak. "Mana heelsku?" tanya dia kemudian. Mendengar itu Gyan langsung bangkit dan ternganga. "Setahun nggak ketemu kamu malah nanya heels? Bener-bener ya." Dia menggeleng, tak habis pikir. "Heels lebih penting ternyata." Bukannya Resta tidak peduli dan mementingkan heels. Hanya saja bertemu Gyan lagi setelah sekian lama, bikin dia tidak tahu harus mengatakan apa. Jangankan menanyakan kabar, sampai saat ini saja syoknya masih belum bisa hilang. "Kamu muncul terlalu tiba-tiba," ucap Resta menunduk, memunggungi lelaki itu. Rasa sesak di dadanya sedikit berkurang setelah lumayan banya
Gyan membimbing paksa Resta agar duduk di kursi kayu bersamanya. Dia sendiri menyusul duduk di sebelah wanita itu. Pria itu memesan banyak makanan karena sengaja ingin makan bersama. "Kamu harus banyak makan. Aku lihat sekarang kamu kurusan," ujarnya sembari sibuk mendekatkan makanan ke depan Resta. Wanita itu menghela napas. Menatap makanan di depannya tanpa berselera. "Ini menyalahi SOP pekerjaanku. Aku harus kembali, Gy." "Kamu kerja juga butuh istirahat, butuh isi perut. Kalau kamu sakit yang rasain siapa? Bukan perusahaan, tapi diri sendiri. Udah ayo makan. Apa mau aku suapin?" Kalimat terakhir, Gyan ucapkan dengan nada menggoda. Yang serta merta mendapat decapan dari Resta. Mau tak mau wanita itu pun meraih garpu dan sendok. Duduk lagi bersama dengan Gyan seperti membuka memori lama yang sudah berusaha Resta kubur. Ada kalanya dia merindukan momen itu, tapi tidak pernah terpikir itu bakal terjadi lagi. Namun sekarang, Gyan nyata ada di dekatnya. Bertingkah seolah tidak pern
"Who's she?" Mata biru dengan bulu lentik itu melebar. Rambut cokelatnya bergoyang saat mendekati Gyan. "Kamu merayu pegawai resort ini? Gila banget sih ini." Kepalanya lantas menggeleng, dan tawanya pecah. Gyan yang masih duduk di kursi mendengus. Dia menatap wanita yang kini duduk di depannya dengan sebal. "Kamu ganggu momen kami. Kalau mau masuk ketuk pintu dulu. Jangan asal nyelonong. Be a good sister." Kavia tertawa lagi. Hanya sebentar sebelum melayangkan tatapan menggoda. "Sekarang kamu nakal ya, Mas. Udah berani godain cewek." "Aku nggak godain cewek ya," bantah Gyan. Dia meraih tisu dan mengelap mulutnya sebelum beranjak berdiri. "She's my girlfriend." Kepala Kavia meneleng, lalu ikut beranjak. "Bukannya kamu lagi jomblo ya, Mas? Mami bilang kamu ditinggalin pacar kamu." "Kamu pikir aku ke sini mau apa kalau nggak buat nyusulin dia?" Untuk beberapa saat Kavia terdiam. Dan ketika mengerti maksud kakaknya, rahangnya terbuka. "Jadi dia cewek itu?" "Hm." "Oh, sori. Aku u
Aaron meringis seraya memegangi kantong es di sudut bibirnya. Tatapan kesalnya belum juga hilang. Kalau bukan karena Resta menahannya dia tidak segan membalas serangan Gyan. Dia mendengus. Bersikap tidak peduli Aaron pun membiarkan dua insan yang gagal move on itu berdebat di taman belakang rumahnya. "Gila, jadi selama ini kamu tinggal di rumah ini sama orang itu?!" Gyan terperangah. Wajahnya tampak tak terima mengetahui fakta itu. "Bahkan kamu menolak tinggal denganku yang pacar kamu sendiri. Yang benar saja, Resta!" Kepala Resta berdenyut kencang. Emosi Gyan makin memuncak. Dan dia agak kewalahan menangani pria itu. "Aku memang tinggal di sini. Tapi kamar kami terpisah. Bahkan Kak Aaron lebih sering tinggal di resort daripada rumahnya." "Satu tahun itu lama. Siapa yang tahu kalian berdua ngapain aja selama itu." Mata Resta menyipit. Ucapan Gyan menyinggungnya. "Maksud kamu?" "Maksud aku jelas. Kamu menolak tidur denganku, tapi kamu tidur sama dia!" Tepat setelah Gyan mengataka
Untuk apa Gyan masih mencarinya kalau memang sudah ada wanita lain? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Resta. Sudah satu tahun berlalu, tapi melihat Gyan bersama wanita lain hati Resta rasanya seperti diiris-iris. Perih dan nyeri. Sia-sia sudah perjuangan move on selama ini. Dia menyadari bahwa cintanya pada pria itu ternyata masih bercokol. "Kamu oke?" Langkah Resta kontan berhenti mendadak saat tahu-tahu Aaron sudah ada di depannya. Pria itu sepertinya baru datang. Lebam baru di sudut bibirnya membuat ketampanannya sedikit berkurang. "Kalian baikan atau..." Resta menggeleng lemah. Dan ketika seseorang berteriak bahwa petugas damkar datang, dia pun melanjutkan langkah karena Aaron lantas sibuk dengan urusan resort yang lebih butuh banyak perhatiannya. Namun begitu urusan kebakaran selesai, Aaron kembali menemui Resta. Mudah menemukan wanita itu saat sedang bermuram durja. Kebiasaan yang diam-diam sering Aaron perhatikan sejak Resta datang. "Kenapa lagi? Setelah ribu
Hari ini aku dobel up karena Bos Galak masuk promo rekomendasi. Besok-besok kayaknya rutin satu bab sehari. Lagi banyak kerjaan di Mid Year. Jadi yang minta dobel-dobel up, maaf jangan kecewa. Tapi kalo masuk beranda promo aplikasi lagi, bisalah dipertimbangkan. Muehehe. Makanya yuk ramaikan di ulasan cover depan juga. Biar statistiknya makin bagus. Ciayou===========Wajah Gyan merah padam saat membaca laporan keuangan yang Kavia sodorkan. Sudah beberapa hari dia menemukan kesalahan pada lajur dan baris di atas kertas dokumen itu. Dari awal Kavia sudah memberitahu jika yang mengerjakan laporan itu staf baru. Meskipun begitu masa hanya membuat laporan simpel saja tidak becus?"Kenapa nggak kamu masukan aja ini ke meja Romi? Aku nggak mau melihat laporan acak adul begitu ada mejaku." Gyan melempar dokumen begitu saja. Alis Kavia naik sebelah sembari mengarahkan tatap ke dokumen yang Gyan empaskan. "Emang salah lagi?" "Bilang sama orang HR kalau masukin staf ke sini pastikan orang itu
Resta mengernyit ketika melihat wajah Gyan tertekuk. Pria itu langsung mengempaskan diri ke sofa. Bibirnya berkerut sementara dua langannya terlipat di dada. Meninggalkan pekerjaannya, Resta pun menghampiri pria itu. "Ada apa? Kok pulang-pulang cemberut?" tanya Resta. "Kamu nggak habis berantem sama Pak Daniel kan?" Gyan menggeleng. Mukanya masih terlihat sangat kecut. Mata birunya lantas melirik Resta, lalu tiba-tiba bergerak memeluk wanita itu. "Kesal sekali aku sama Kavia." Dua alis Resta menyatu. "Memang Kavia ngapain?" "Masa dia tiba-tiba bilang ke kami kalau dua minggu lagi dia mau nikah? Gimana aku nggak kesal?" Resta mengerjap seketika. Tidak heran Gyan begini. Pria itu sudah cukup bersabar menerima keputusan Resta untuk menikah dua bulan lagi. Mendengar kabar adiknya yang malah akan menikah lebih dulu, pasti membuatnya uring-uringan. "Terus gimana?" tanya Resta ikut bingung. "Mau nggak kalau kita menikah secara agama dulu?" Resta terdiam. Mendadak kepalanya berdenyut.
"Ke Bude? Kok tiba-tiba, Bu?" "Iya, cucu bude kamu lagi sakit. Dia minta ibu buat jagain, karena bude sama pakde kamu hari ini berangkat ke Surabaya. Nggak apa-apa tho kalian berdua ibu tinggal?" Resta dan Gyan saling pandang sejenak. Entah kenapa dari rautnya, Resta bisa membaca kalau Gyan malah kegirangan akan ditinggal ibu. Sementara Resta agak khawatir lantaran rumah ini berada di lingkungan baru. "Nggak apa-apa kok, Bu. Jangan cemas. Kami pasti bisa menjaga rumah dengan baik," sahut Gyan tersenyum lebar. Senyum yang mencurigakan bagi Resta. Tak lama Kae muncul dari kamarnya sudah menenteng ransel. Kepalanya mengenakan topi hitam, bahkan pakaiannya pun sudah rapi. "Loh kamu juga mau pergi, Kae?" tanya Resta melihat penampilan adiknya itu. "Iya, Mbak. Ada penelitian," sahut Kae sambil membenarkan topinya. "Malam-malam begini?" "Ya mau gimana lagi, pagi siangnya kami kan sibuk." "Pulangnya jam berapa?" "Mungkin besok." "Eh?" Resta menatap adik dan ibunya berganti. Apa me