Resta mengernyit ketika melihat wajah Gyan tertekuk. Pria itu langsung mengempaskan diri ke sofa. Bibirnya berkerut sementara dua langannya terlipat di dada. Meninggalkan pekerjaannya, Resta pun menghampiri pria itu. "Ada apa? Kok pulang-pulang cemberut?" tanya Resta. "Kamu nggak habis berantem sama Pak Daniel kan?" Gyan menggeleng. Mukanya masih terlihat sangat kecut. Mata birunya lantas melirik Resta, lalu tiba-tiba bergerak memeluk wanita itu. "Kesal sekali aku sama Kavia." Dua alis Resta menyatu. "Memang Kavia ngapain?" "Masa dia tiba-tiba bilang ke kami kalau dua minggu lagi dia mau nikah? Gimana aku nggak kesal?" Resta mengerjap seketika. Tidak heran Gyan begini. Pria itu sudah cukup bersabar menerima keputusan Resta untuk menikah dua bulan lagi. Mendengar kabar adiknya yang malah akan menikah lebih dulu, pasti membuatnya uring-uringan. "Terus gimana?" tanya Resta ikut bingung. "Mau nggak kalau kita menikah secara agama dulu?" Resta terdiam. Mendadak kepalanya berdenyut.
"Ke Bude? Kok tiba-tiba, Bu?" "Iya, cucu bude kamu lagi sakit. Dia minta ibu buat jagain, karena bude sama pakde kamu hari ini berangkat ke Surabaya. Nggak apa-apa tho kalian berdua ibu tinggal?" Resta dan Gyan saling pandang sejenak. Entah kenapa dari rautnya, Resta bisa membaca kalau Gyan malah kegirangan akan ditinggal ibu. Sementara Resta agak khawatir lantaran rumah ini berada di lingkungan baru. "Nggak apa-apa kok, Bu. Jangan cemas. Kami pasti bisa menjaga rumah dengan baik," sahut Gyan tersenyum lebar. Senyum yang mencurigakan bagi Resta. Tak lama Kae muncul dari kamarnya sudah menenteng ransel. Kepalanya mengenakan topi hitam, bahkan pakaiannya pun sudah rapi. "Loh kamu juga mau pergi, Kae?" tanya Resta melihat penampilan adiknya itu. "Iya, Mbak. Ada penelitian," sahut Kae sambil membenarkan topinya. "Malam-malam begini?" "Ya mau gimana lagi, pagi siangnya kami kan sibuk." "Pulangnya jam berapa?" "Mungkin besok." "Eh?" Resta menatap adik dan ibunya berganti. Apa me
"Mau ke mana?" Tangan Gyan terulur, menarik perut Resta saat wanita itu bergerak. Namun matanya masih terkatup erat. "Mau pipis," sahut Resta pelan. Alih-alih melepaskan Resta, Gyan malah beringsut merapat dan mencium bahu terbuka wanita itu. "Mau aku antar?" "Nggak perlu, Gy." Resta baru bangkit begitu Gyan melepasnya. Itu pun dengan gerakan yang sangat hati-hati. Bagian intimnya benar-benar tidak nyaman sekarang. Sebelum keluar dia sempatkan diri mengenakan dress midi yang dia ambil dari tasnya. Rumah Ibu hanya punya satu kamar mandi bersama yang letaknya di dekat dapur. Ini sedikit menyulitkan Resta yang selama ini selalu memakai kamar mandi pribadi. Apalagi saat ini dirinya sudah bersuami. Beruntung sekarang Ibu dan Kae sedang tidak ada di rumah. "Udah?" tanya Gyan begitu Resta kembali ke kamar. "Sakit?" Resta mengangguk. "Sedikit." Dia bergabung kembali dengan Gyan, dan langsung disambut pelukan lelaki itu. "Nanti juga enggak." "Rasanya kayak punya kamu masih nyangkut di
Gyan masih tidur dengan posisi menelungkup ketika hidungnya mencium aroma wangi kopi. Hidung bangirnya bergerak-gerak mengendus. Perlahan kepalanya terangkat dan mengikuti aroma kopi itu berasal dengan mata yang masih terpejam. Sementara di depannya Resta cekikikan melihat reaksi suaminya. Dia sengaja mengerjai Gyan dengan mendekatkan cangkir berisi kopi yang baru dia buat ke hidung pria itu, lalu menjauhkannya lagi. Sejauh ini cara itu cukup ampuh untuk membangunkan suaminya yang sudah pukul delapan pagi masih betah terlelap. Rencana mengajak lelaki itu jogging pun akhirnya gagal total. Gyan membuka malas sebelah matanya. "Kamu selalu berhasil bikin aku bangun," ujarnya dengan suara serak. Dia membalikkan badan sampai selimut yang menutupi tubuh kekarnya melorot sebatas perut. Pria yang rambutnya acak-acakan itu pun bergerak bangkit dan bersandar ke tumpukan bantal. Nyawanya belum sepenuhnya ngumpul. Dia masih mengantuk karena semalam tidur begitu larut. "Kita udah telat jogging,"
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa