Edwin memegangi kepalanya yang sudah berdarah. Ia meringis kesakitan. Elaine segera berlari menuju ke kamarnya, ia mengambil tas ranselnya, jaket hoodie diambil dan sepatu kets miliknya juga diambil. Tas selempang dan ponsel juga dibawanya. Elaine berlari meninggalkan rumah sewanya. Ia menuju ke jalan besar.
“Tunggu, El!” jeritan dari Edwin tidak dihiraukannya, ia tidak mau membahayakan keselamatan dengan terus berada di rumah itu. Edwin sudah berani masuk ke dalam rumah sewanya. Sudah dua kali ini ia dilecehkan oleh paman yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, meskipun ia tahu, Edwin hanyalah sepupu ibunya.
Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya 3 tahun lalu telah memaksanya harus tinggal bersama Edwin. Paman yang terus mengintainya seperti elang yang mencari peluang untuk menerkam mangsanya.
Elaine mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dan tinggal di asrama, sampai ia lulus 6 bulan lalu. Ia bekerja di restoran Pixy untuk biaya hidupnya. Keluar dari asrama ia kaget karena rumah peninggalan kedua orang tuanya sudah beralih pemilik, Edwin yang pemabuk dan penjudi telah menggadaikan rumah itu pada lintah darat.
Elaine segera menyetop taksi dan masuk ke dalamnya dengan buru-buru. Takut Edwin akan mengejarnya.
“Perumahan Greenpeace, Paman.”
“Baik, Nona.” Elaine memakai sepatunya, ia mengatur napas dan menyandarkan tubuhnya. Ia bertekad tidak akan bertemu dengan Edwin lagi. Pria itu memiliki niat yang tidak baik dengannya. Nomor ponsel Ema dihubungi.
“Ema, aku sekarang naik taksi menuju rumahmu.” (El, kau baik-baik saja, kan?)
Terdengar nada khawatir dari suara Ema.
“Aku baik, nanti aku cerita, oke bye.”
(Hati-hati, El)
Setelah menutup panggilan, Elaine segera memakai sepatunya, supir taksi yang bisa melihat Elaine dari kaca pandang di atasnya hanya menggelengkan kepala. Gadis muda yang ceroboh.
Taksi berhenti tepat di depan rumah Ema, memang sudah beberapa kali Elaine datang ke rumah sahabatnya itu, bahkan dengan orang tua Ema juga ia sudah akrab.
Setelah membayar ongkos taksi, gadis itu berjalan menuju ke arah pagar. Ia memencet bel, tampak Ema sedang berdiri di teras. Ema membuka pintu pagar dan menyuruhnya masuk. Ema mengerutkan dahi melihat temannya membawa tas ransel.
“El, kamu mau kemana sebenarnya, ayo langsung ke kamarku, Dady dan Mommy sedang keluar, belum pulang.”
“Aku besok mulai kerja, dan berangkat dari sini, Em. Kalau dari rumah sewaku terlalu jauh.”
Tas ranselnya diletakkan di atas sofa. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Ema yang luas. Ema keluar dari kamarnya. Perlakuan Edwin tadi terbayang di benaknya. Elaine memejamkan mata.
“Bisa cerita sekarang?” Ema memberikan segelas air putih pada Elaine. Elaine duduk dan menyandarkan kepalanya di kepala ranjang.
“Aku menerima tawaran pekerjaan itu, Em,”
“Benarkah? Banyak tidak bayarannya.”
“Terlalu banyak, sehingga aku bisa membeli lagi rumah peninggalan kedua orang tuaku.”
“Wow! Kerja apa itu El, pasti bukan pekerjaan biasa, Nyonya itu mencari gadis yang bisa ilmu bela diri, apa kau akan jadi pembunuh bayarannya?” Ema begitu antusias. Elaine berdecak kesal. Ada-ada saja.
“Ck, kau ini! Yang benar saja. Masa aku jadi pembunuh bayaran.” Elaine meninju bahu sahabatnya pelan. Ema tertawa perlahan.
“Ya, siapa tahu saja. Kau kan jago berkelahi. Ingat tidak? Waktu kita pulang kuliah terus kita mau jalan ke mall, dua preman itu kau hajar sampai babak belur. Dari situ aku yakin, kamu ini adalah titisan si dragon ball.” Elaine terkekeh dan melempar bantal pada Ema. Ema menangkap bantal itu.
“Mau dengar ceritaku atau terus melawak dengan halusiansi konyol mu itu, Em?”
“Iya-iya, cerita.”
“Aku bekerja dengan keluarga kaya raya, keluarga Stewart. Kau pernah dengar?” Ema melotot kaget setelah mendengar nama besar itu.
“What? Ini gila, El! Itu nama billionair terkenal seantero negeri, tidak mudah menjalin koneksi dengan keluarga itu.”
Ema begitu antusias mendengar cerita dari temannya.
“Entahlah, aku tidak tahu nama besar itu.”
“Dady sering berbicara tentang nama keluarga itu dengan Mommy, bahkan dengan rekan bisnisnya kalau mereka membuat meeting di sini. Kadang aku tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka.” Ema membenahi letak kaca mata bulatnya. Ia menatap Elaine menunggu kelanjutan ceritanya.
“Putra Stewart mengalami kelumpuhan setelah kecelakaan tragis yang dialaminya 3 tahun lalu. Aku akan menjadi perawat dan bodyguardnya nanti setelah ia mau keluar dari rumahnya. Kau tahu kan? Keluarga kaya raya seperti itu pasti punya banyak musuh.”
Elaine kembali meminum airnya. Ia tidak menceritakan pada Ema tentang perjanjian pernikahan itu, karena ia sudah janji berjanji pada Nyonya Margaret kalau perjanjian itu akan menjadi rahasia untuknya dan keluarga Stewart.
“Tapi, El. kontrak itu sampai berapa tahun? Banyak sekali uang yang kau dapatkan.”
“Hanya 2 tahun, sebenarnya menurut dokter yang menangani pria itu, kelumpuhannya tidak permanen, tapi pria itu yang enggan untuk ke dokter, apa lagi pergi terapi, ia tidak ingin bertemu dengan siapapun. Sudah 3 tahun, Nyonya Margaret sudah putus asa. Jadi ia nekad kembali mencari orang yang bisa menjaga dan merawat putranya.” Elaine merebahkan tubuhnya, ia menoleh ke samping.
“Haish, percuma aku cerita sampai berbuih, orang yang mendengar malah tidur.” gadis itu lalu menarik selimut dan menyelimuti tubuh mereka, ia juga butuh istirahat. Besok adalah hari pertama sebagai seorang bodyguard. Elaine tersenyum lucu. Ia menjadi bodyguard. Kantuk telah menguasainya sehingga tertidur dengan pulas.
****
Pagi-pagi sekali Elaine sudah bangun, setelah sarapan bersama Ema dan kedua orang tuanya, Elaine berpamitan kepada mereka untuk pergi ke kediaman keluarga Stewart. 2 jam perjalanan membuat Elaine kebosanan. Tetapi untung saja ia ada aplikasi membaca novel online, bisa ia pergunakan untuk mengusir rasa bosannya.
Elaine turun dari taksi dan segera membayar ongkosnya. Tas ranselnya dipegang erat. Ada rasa grogi dalam hati. Elaine mengamati rumah besar dan megah itu dari luar pagar. Tangan kanannya menekan lonceng. Seorang satpam datang dan membuka pintu.
“Selamat pagi, nona Elaine? Silakan masuk. Anda sudah ditunggu oleh Nyonya besar.”
“Terima kasih, mmmm.”
“Panggil saya George, Nona. Mari saya antar ke dalam.” pria bernama George yang bekerja sebagai satpam itu menutup pintu pagar.
Ia berjalan menuju ke arah pintu utama. Elaine mengikutinya dari belakang.
“Nyonya, Nona Elaine sudah sampai. Driver sudah menunggu anda di mobil.”
Margaret menoleh, ia mengangguk.
“Kembalilah bekerja George, biar saya berbicara dengan nona Elaine sebentar, sampaikan kepada Leo, 10 menit saya akan keluar.”
“Baik, Nyonya.” George meninggalkan ruang tamu itu.
Nyonya Margaret menatap lekat Elaine dari atas sampai bawah. Memperhatikan penampilannya dengan seksama. Gadis di depannya terlalu tampak biasa. Tanpa ada kesan istimewa sama sekali. Penampilan santai dan terkesan tomboy. Not bad!
“Tina!” Nyonya Margaret memanggil Tina yang sedang memasak air panas untuk membuat teh herbal yang biasa diminum oleh tuan mudanya.
“Iya, Nyonya.”
“Ini Elaine, yang akan menjaga tuan muda Zachary siang dan malam. Siapkan air untuk tuan muda mandi, Biar nona Elaine yang memandikannya.”
“Baik, Nyonya.”
“Nona, maksud saya Ella, kamu mulai bekerja pagi ini, mandikan Zachary dan bujuk dia untuk sarapan ya. Mari, saya antar ke kamarnya.”
Margaret mendahului langkah Elaine, ia menuju ke kamar yang tampak besar dan suram. Pintu terbuka. Mata Elaine terpaku pada sosok pria yang sedang duduk di atas kursi roda, rambut sedikit panjang dengan wajah tirus sedang menatap arah jendela.
“Zach, Mama datang membawa perawat yang akan menjagamu.”
Sepi. Tanpa ada jawaban dari pria itu, membuat nyali Elaine sedikit ciut. Benarkah apa yang akan aku lakukan ini? Jangan-jangan pria itu gila.
“Ella, saya tinggal dulu, ya. Ada meeting penting di kantor yang harus saya pimpin. Tolong kamu jaga putra saya dengan baik. Ingat dengan apa yang kamu janjikan pada saya kemarin.”
“Baik, Nyonya. Silakan anda pergi ke kantor.” Margaret tersenyum senang. Ia melangkah meninggalkan kamar putranya.
Elaine memberanikan diri, melangkah ke depan dan berdiri tepat di belakang Zachary Stewart.
“Hai, saya Elaine yang akan menjaga dan merawat tuan muda.” Elaine memperkenalkan diri. Zachary tidak bergerak sama sekali.
“Pulanglah! aku tidak ingin melihatmu disini!”
Mendengar ucapan pria yang masih membelakanginya penuh dengan penolakan membuat Elaine kaku. ‘Ia butuh pendekatan secara moril.’ Tina datang sambil membawa sarapan untuk Zachary. Nampan yang dibawa diletakkan di atas meja. “Tuan muda, ini nona Elaine yang akan merawat Anda,” Zachary tidak menoleh sama sekali. “Aku ingin sendiri, Tina, katakan pada orang asing itu.” ucapan Zachary sangat ketus. Elaine hanya diam dan memperhatikannya. “Tuan muda, waktunya Anda sarapan. Miss Tina, bisa tinggalkan kami berdua?” Elaine masih tidak putus asa. Tina hanya mengangguk, dan keluar dari kamar itu. “Aku tidak ingin makan.” “Bagaimana anda ada kekuatan jika tidak mau makan?” Elaine mendekati Zachary, ia menatap lekat wajah pria itu, wajahnya cekung dan persis seperti di foto yang ia lihat kemarin, tatapannya seolah tidak ada gairah hidup lagi. Elaine tahu, cara mendekati Zachary adalah dengan berteman dengannya. Mengajaknya bicara dari hati ke hati. “Kenalkan nama saya Elaine Diaz, bisa p
Elaine menghentikan kesibukannya, ia berjalan menuju ke dekat pintu kamar. Margaret sedang berdiri sambil melipat tangannya di depan dada, menatapnya tajam.“Saya sedang mengeluarkan baju-baju istri tuan Zach, dari kamar ini, Nyonya.” Elaine berdiri sambil memegang kain lap yang tadi dipakai untuk membersihkan debu di lemari baju Zachary.“Siapa yang menyuruhmu, Nona?” Margaret berjalan masuk dan berhenti di depan lemari, matanya melihat tumpukan baju-baju Amanda yang masih tersisa.“Ini saran dari teman saya yang bekerja dibawah dokter psikiater, kalau kita perlu menjauhkan barang-barang yang bisa mengingatkan tuan muda pada masa lalunya. Kalau beliau terus menerus ingat dengan hal-hal yang menyakitkan, beliau tidak akan bisa berdamai dengan masa lalunya.” alasan yang sangat masuk akal. Margaret mengangguk-angguk tanda bisa mengerti. “Apa hari ini tuan muda membuat masalah?” Margaret menatap wajah putranya yang sedang tertidur pulas, entah dengan cara apa t
Kicau burung kenari menyatu bersama sorot warna merah mentari menambah ceria suasana pagi hari di kediaman Stewart. Elaine kini sudah bergelar sebagai istri dari seorang Zachary Stewart. Walaupun tugasnya lebih kepada seorang bodyguard merangkap pelayan, tapi itu tidak pernah menyurutkan semangat gadis itu. Semangat untuk menjalani hari, melakukan pekerjaannya sesuai perjanjian dan menunaikan janji yang sudah tertulis hitam di atas putih. Seperti hari sebelumnya, Nyonya Margaret sudah bersiap untuk keluar dari rumah. Hari ini ia ada meeting penting bersama dewan direksi. Ada satu masalah perusahaan yang harus diputuskan bersama. Wanita paruh baya itu menemui putranya yang sekarang sedang duduk berjemur di atas kursi roda. Rambut yang agak panjang diikat rapi, rambut-rambut di wajahnya sudah dicukur dengan rapi. Nyonya Margaret tersenyum sangat puas dengan kerja gadis yang kini menjadi istri di atas kertas putranya. “Good morning, Zach. How are you today?” “I
Elaine tertegun, hatinya tersentuh dengan permintaan dari Zachary. Siapa sebenarnya Grace buat dia?"Kamu mau kan, El? Grace itu putri saya."Entah kenapa ada rasa lega menjamah hati Elaine setelah mendengar ucapan dari Zachary. Ternyata Grace bukan bekas istrinya. "Tentu saja saya akan melakukan apapun untuk kesembuhan Anda, Tuan. Tapi, kerja sama Anda juga sangat dibutuhkan di sini. Kalau keinginan Anda untuk sembuh tidak ada, percuma saja saya berusaha keras untuk membantu kesembuhan Anda."Zachary terdiam, kalimat dari Elaine sangat masuk akal. Ia perlu membangun keinginan dan semangat untuk pulih. "Tentu saja aku akan bersedia untuk bekerja sama." Binar mata Zachary terlihat penuh semangat. Elaine sangat bahagia mendengar tekad dari suami kontraknya itu. Dengan begini keberhasilannya dalam tugas akan semakin cepat, kontrak kerja dengan Nyonya Margaret juga cepat selesai sebelum dua tahun."Sekarang waktunya Anda sarapan Tuan." Elaine membawa baskom ber
Elaine berlari kencang menuju ke arah dua pria yang sepertinya kaget, keduanya menoleh pada gadis yang sekarang sudah berdiri dengan gagah di depan Zachary, pria itu tampak meneguk ludah melihat dua pria tadi mengeluarkan senjata tajam."Kita pulang, El!""Diam di tempat Anda, Tuan!" Elaine berkata tanpa melihat ke belakang sama sekali, ia memperhatikan musuhnya bergantian dan penuh was-was. Tangannya mengepal dan kakinya sudah membentuk kuda-kuda."Jangan ikut campur urusan kami, Nona! Kami hanya mau bermain-main dengan pewaris tunggal kerajaan Stewart ini.""Urusan dengan dia, berarti menjadi urusanku, pecundang!" mendengar itu kedua pria tadi tersenyum mengejek."Memangnya kamu bisa apa? Greg, serang gadis lancang ini! chiaaaaa!"pria bertubuh besar dengan rambut kepala plontos itu mulai menyerang Elaine. dengan sigap gadis itu mengelak, mematahkan serangan dua pria berotot yang menjadi lawannya.Elaine bisa melihat wajah khawatir Zachary, ia tersenyum samar. Zachary tidak tahu s
Elaine tersenyum mendengar kalimat dari Zachary yang menunjukkan kalau pria itu masih memiliki keinginan untuk sembuh. Ancaman dari Zachary tidak membuat ia takut sama sekali. "Dan saya menunggu saat itu datang, Tuan Muda," bisikan Elaine tepat di telinga Zachary membuat pria itu membeku. Harum rambut berwarna cokelat kehitaman membuat dada Zachary sesak. Sudah lama ia tidak merasakan sesuatu yang mendesak seperti sekarang."Gadis lancang!" gumamnya dengan suara berat. Elaine tertawa lepas menampilkan lesung pipinya, gigi rapi dan putih menyempurnakan kecantikan gadis itu. Zachary meneguk ludah beberapa kali. Elaine terus mendorong kursi roda sang suami hingga masuk ke dalam kamar mereka. "Pergilah keluar, saya mau mandi," Zachary mencoba ingin mandiri, dia ingin membuktikan kalau tenaganya mulai pulih dan bisa digunakan tanpa bantuan, kursi roda dipakai hanya saat ia berjalan lebih dari lima menit."Bukankah selalu saya yang akan bantu anda mandi?" "Kali ini aku ingin buktikan k
Tawa Zachary pecah melihat wajah pucat Elaine, gadis itu ternyata tidak seberani tantangan-tantangan yang selalu ia ucapkan sebelum ini. Ia melepaskan pinggang Elaine dan kembali duduk di atas sofa. Elaine menarik nafas lega, sentuhan dan bisikan Zachary tadi rupanya hanya untuk menggertak saja. "Jangan pikir kamu cukup membuat aku tertarik gadis kecil, aku mau makan sekarang!" Elaine mengangguk, dasar pria brengsek! mati-matian ia menenangkan hati yang berdebar hebat. "Katakan pada Mommy, kalau aku mau ke perusahaan besok," "Tapi Anda belum sembuh total, Tuan! Anda masih harus memakai kursi roda," Elaine mengingatkan Zachary. Pria itu tersenyum sinis. Kapan lagi waktu yang tepat untuk membuat gadis ini mengerti kalau tidak mudah hidup berdampingan dengan seorang Zachary. "Bukankah ada kamu yang bisa membantuku? lalu apa gunanya kamu ada bersamaku kalau membuat aku pergi ke kantor saja kamu tidak bisa, tidak sanggup? Kalau menyerah bilang saja, sekarang tinggalkan aku sendiri d
"Kamu harum sekali, baby," serak suara itu samar menyusup gendang telinga Elaine. Ellaine berusaha untuk menarik wajahnya ke belakang, sementara tangannya menepis wajah Zachary yang sekarang tiada jarak sama sekali karena bibir mereka sudah bertaut. Nafas Elaine naik turun, dia tidak bisa menolak sama sekali sentuhan itu. Bohong kalau ia bilang tidak terpancing sama sekali. Darahnya berdesir dan semua bulu kuduknya meremang, ada sesuatu yang menggelitik saraf-saraf sensitifnya. Seketika Ellaine membuka matanya lebar-lebar setelah mengembalikan kesadaran saat merasa ciuman itu semakin dalam dan menuntut, tapi temaram cahaya lampu kamar membuatnya kesulitan untuk mengenal pasti siapa yang sudah mengambil kesempatan dengan mencuri ciuman pertamanya. "Ini aku dan jangan berani-berani untuk melakukan tindakan kasar, aku suami sekaligus tuanmu, Nona! Atau ibuku yang galak itu akan menuduhmu seperti selalu?!" pertanyaan sekaligus ancaman itu membuat Elaine menggemeretakkan giginya. Dasar
Elaine bungkam, ia kemudian membuka laci untuk mengambil beberapa perlengkapan yang harus dikenakan oleh Zachary. Jam tangan, kaos kaki, dasi dan juga blazer. Ia belum menjawab pertanyaan dari sang suami. "Bisa jawab aku siapa pemuda itu?" Zachary menegaskan pertanyaannya tadi. "Bukan siapa-siapa. hanya teman biasa saat kami masih di bangku sekolah dulu." mendengar jawaban yang tidak memuaskan itu membuat Zachary sedikit kesal. Ia merasa kalau istri di atas kertasnya ini tidak jujur. "Saya bantu pakai dasi," Elaine mengalihkan perhatian Zachary. "Jangan pikir aku bodoh dan tidak bisa mencari tahu siapa pemuda itu? Jawab dengan jujur dan katakan terus terang sebelum aku sendiri yang mencari tahu! Kamu tahu akibatnya kalau aku yang bertindak sendiri nanti El!" ancaman sekali lagi dilontarkan oleh Zachary. Entah kenapa Elaine merasa ada yang aneh dengan Zachary. Ia lalu mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk menatap mata pria yang sudah mulai menunjukkan kuasa dominan
"Aku tidak mau dengar soal dia lagi, Mom," Zachary menggemeretakkan giginya. Nama yang coba ia kubur selama ini harus menyapa gegendang telinganya. Nyonya Margareth mendekat kembali ke arah Zachary. "Tapi ini soal gRece, Zach!" mendengar nama gadis kecil yang selama ini aia rindukan membuat Zachary menoleh pada sang ibu dengan tatapan nanar. Grace adlah putri semata wayang hasil pernikahannya dengan Amanda. Gadis kecilnya itu sekarang pasti sudah berusia lima atau enam tahunan. "Ada apa dengan gRece, Mom?" "Momi bertemu dengan Amanda di sebuah acara arisan, penampilan wanita itu sungguh di luar dugaan. Jauh sekali dengan barang mewah. Tapi ini bukan tentang Amanda. ini soal Grace, Zach. Sekarang kamu sudah berangsur pulih. Keadaan perusahaan juga dalam kondisi bagus. Kamu kenal dengan Kim?" "Kimberly? Kenapa dengan dia? Apa maksud momi? Tadi soal Amanda, lalu Grace, apa hubungan kimberly dalam hal ini?" "Sabar dulu biar Momi jelaskan satu-persatu," "Oke, jelaskan dengan
Elaine langsung membulatkan matanya sembari menjauh dari Zachary, tapi pelukan erat pria itu terus menahan pergerakannya. "Tuan, jangan bercanda begini!" cicit Elaine dengan hati penuh gemuruh. Harum tubuh Zachary yang menyusup dalam indera penciumannya sangat maskulin dan mendebarkan. "Kenapa? Kamu takut?" "Saya bukan tipe orang yang suka mengingkari janji, tidak mungkin saya akan mengkhianati nyonya besar," alasan diberikan untuk menutupi gejolak hati Elaine. Sangat munafik kalau ia mengatakan tidak tergoda dengan sentuhan pria yang berpengalaman di atas tempat tidur seperti Zachary. Bukan Elaine mengetahui soal itu, tetapi siapa saja pasti akan bisa menerka jika pria berumur tiga puluh tahun lebih dan sudah memiliki seorang anak, pasti di atas tempat tidur juga lihai. Tidak seperti dirinya yang belum memiliki pengalaman apapun. "Mengkhianati mommy? Siapa bilang begitu?" "Perjanjian tetap perjanjian," Zachary menyipitkan matanya, ia tanpa sadar melonggarkan pelukan dan
"Kamu harum sekali, baby," serak suara itu samar menyusup gendang telinga Elaine. Ellaine berusaha untuk menarik wajahnya ke belakang, sementara tangannya menepis wajah Zachary yang sekarang tiada jarak sama sekali karena bibir mereka sudah bertaut. Nafas Elaine naik turun, dia tidak bisa menolak sama sekali sentuhan itu. Bohong kalau ia bilang tidak terpancing sama sekali. Darahnya berdesir dan semua bulu kuduknya meremang, ada sesuatu yang menggelitik saraf-saraf sensitifnya. Seketika Ellaine membuka matanya lebar-lebar setelah mengembalikan kesadaran saat merasa ciuman itu semakin dalam dan menuntut, tapi temaram cahaya lampu kamar membuatnya kesulitan untuk mengenal pasti siapa yang sudah mengambil kesempatan dengan mencuri ciuman pertamanya. "Ini aku dan jangan berani-berani untuk melakukan tindakan kasar, aku suami sekaligus tuanmu, Nona! Atau ibuku yang galak itu akan menuduhmu seperti selalu?!" pertanyaan sekaligus ancaman itu membuat Elaine menggemeretakkan giginya. Dasar
Tawa Zachary pecah melihat wajah pucat Elaine, gadis itu ternyata tidak seberani tantangan-tantangan yang selalu ia ucapkan sebelum ini. Ia melepaskan pinggang Elaine dan kembali duduk di atas sofa. Elaine menarik nafas lega, sentuhan dan bisikan Zachary tadi rupanya hanya untuk menggertak saja. "Jangan pikir kamu cukup membuat aku tertarik gadis kecil, aku mau makan sekarang!" Elaine mengangguk, dasar pria brengsek! mati-matian ia menenangkan hati yang berdebar hebat. "Katakan pada Mommy, kalau aku mau ke perusahaan besok," "Tapi Anda belum sembuh total, Tuan! Anda masih harus memakai kursi roda," Elaine mengingatkan Zachary. Pria itu tersenyum sinis. Kapan lagi waktu yang tepat untuk membuat gadis ini mengerti kalau tidak mudah hidup berdampingan dengan seorang Zachary. "Bukankah ada kamu yang bisa membantuku? lalu apa gunanya kamu ada bersamaku kalau membuat aku pergi ke kantor saja kamu tidak bisa, tidak sanggup? Kalau menyerah bilang saja, sekarang tinggalkan aku sendiri d
Elaine tersenyum mendengar kalimat dari Zachary yang menunjukkan kalau pria itu masih memiliki keinginan untuk sembuh. Ancaman dari Zachary tidak membuat ia takut sama sekali. "Dan saya menunggu saat itu datang, Tuan Muda," bisikan Elaine tepat di telinga Zachary membuat pria itu membeku. Harum rambut berwarna cokelat kehitaman membuat dada Zachary sesak. Sudah lama ia tidak merasakan sesuatu yang mendesak seperti sekarang."Gadis lancang!" gumamnya dengan suara berat. Elaine tertawa lepas menampilkan lesung pipinya, gigi rapi dan putih menyempurnakan kecantikan gadis itu. Zachary meneguk ludah beberapa kali. Elaine terus mendorong kursi roda sang suami hingga masuk ke dalam kamar mereka. "Pergilah keluar, saya mau mandi," Zachary mencoba ingin mandiri, dia ingin membuktikan kalau tenaganya mulai pulih dan bisa digunakan tanpa bantuan, kursi roda dipakai hanya saat ia berjalan lebih dari lima menit."Bukankah selalu saya yang akan bantu anda mandi?" "Kali ini aku ingin buktikan k
Elaine berlari kencang menuju ke arah dua pria yang sepertinya kaget, keduanya menoleh pada gadis yang sekarang sudah berdiri dengan gagah di depan Zachary, pria itu tampak meneguk ludah melihat dua pria tadi mengeluarkan senjata tajam."Kita pulang, El!""Diam di tempat Anda, Tuan!" Elaine berkata tanpa melihat ke belakang sama sekali, ia memperhatikan musuhnya bergantian dan penuh was-was. Tangannya mengepal dan kakinya sudah membentuk kuda-kuda."Jangan ikut campur urusan kami, Nona! Kami hanya mau bermain-main dengan pewaris tunggal kerajaan Stewart ini.""Urusan dengan dia, berarti menjadi urusanku, pecundang!" mendengar itu kedua pria tadi tersenyum mengejek."Memangnya kamu bisa apa? Greg, serang gadis lancang ini! chiaaaaa!"pria bertubuh besar dengan rambut kepala plontos itu mulai menyerang Elaine. dengan sigap gadis itu mengelak, mematahkan serangan dua pria berotot yang menjadi lawannya.Elaine bisa melihat wajah khawatir Zachary, ia tersenyum samar. Zachary tidak tahu s
Elaine tertegun, hatinya tersentuh dengan permintaan dari Zachary. Siapa sebenarnya Grace buat dia?"Kamu mau kan, El? Grace itu putri saya."Entah kenapa ada rasa lega menjamah hati Elaine setelah mendengar ucapan dari Zachary. Ternyata Grace bukan bekas istrinya. "Tentu saja saya akan melakukan apapun untuk kesembuhan Anda, Tuan. Tapi, kerja sama Anda juga sangat dibutuhkan di sini. Kalau keinginan Anda untuk sembuh tidak ada, percuma saja saya berusaha keras untuk membantu kesembuhan Anda."Zachary terdiam, kalimat dari Elaine sangat masuk akal. Ia perlu membangun keinginan dan semangat untuk pulih. "Tentu saja aku akan bersedia untuk bekerja sama." Binar mata Zachary terlihat penuh semangat. Elaine sangat bahagia mendengar tekad dari suami kontraknya itu. Dengan begini keberhasilannya dalam tugas akan semakin cepat, kontrak kerja dengan Nyonya Margaret juga cepat selesai sebelum dua tahun."Sekarang waktunya Anda sarapan Tuan." Elaine membawa baskom ber
Kicau burung kenari menyatu bersama sorot warna merah mentari menambah ceria suasana pagi hari di kediaman Stewart. Elaine kini sudah bergelar sebagai istri dari seorang Zachary Stewart. Walaupun tugasnya lebih kepada seorang bodyguard merangkap pelayan, tapi itu tidak pernah menyurutkan semangat gadis itu. Semangat untuk menjalani hari, melakukan pekerjaannya sesuai perjanjian dan menunaikan janji yang sudah tertulis hitam di atas putih. Seperti hari sebelumnya, Nyonya Margaret sudah bersiap untuk keluar dari rumah. Hari ini ia ada meeting penting bersama dewan direksi. Ada satu masalah perusahaan yang harus diputuskan bersama. Wanita paruh baya itu menemui putranya yang sekarang sedang duduk berjemur di atas kursi roda. Rambut yang agak panjang diikat rapi, rambut-rambut di wajahnya sudah dicukur dengan rapi. Nyonya Margaret tersenyum sangat puas dengan kerja gadis yang kini menjadi istri di atas kertas putranya. “Good morning, Zach. How are you today?” “I