Wanita yang kutemui tadi pagi adalah wanita yang pernah berjumpa di makam waktu itu. Ternyata dia sengaja meminta ayahnya untuk melamar Pak Arfan. Dunia sudah terbalik. Namun, tidak satupun pesannya yang dibalas Pak Arfan. Benar-benar lelaki cuek bebek. Dia tidak mau memberikan harapan palsu, tetapi sepertinya wanita itu tidak terima.“Syifa, jangan kelamaan melamun! Nanti kesambet.” Ucapan ayah membuyarkan lamunanku. Duh, kenapa aku jadi bengong begini? Sebaiknya aku menanyakannya langsung kepada Pak Arfan. Aku berdiri dan hendak masuk ke rumah. Malam Jum'at biasanya sepi pembeli.Aku mengambil ponsel di kamar, ada sebuah pesan dari ‘cewek barbar'. [Otewe.]What? Dia udah di jalan. Aku segera berdiri di depan cermin melihat penampilanku. Dia bilang ingin melihatku memakai baju sexy, enak saja! Aku mengenakan celana jeans hitam dan jaket abu-abu gambar kelinci di punggung. Lumayan longgar dan tidak ketat. Aku keluar saat mendengar bunyi motor gede. “Siapa, sih, malam-malam begini
Aku sangat penasaran dengan kado yang diberikan Pak Arfan. Perlahan kubuka kotak berwarna pink itu, dan ternyata isinya .... Benar-benar keterlaluan! Baru saja dia terbangkanku ke awan, kini sudah dia hempaskan. Ingin rasanya aku memakinya. Dasar cowok nackal! Belum juga jadi suami, dia sudah memberikanku baju tidur seperti ini. Aku menenteng sebuah gaun tipis warna violet. Kemudian berdiri di depan kaca. Begitu mengerikan, tipis seperti saringan teh. Tidak ada lengannya pula. Ayah pasti akan mengira anaknya menjadi gembel jika memakai pakaian kurang bahan seperti ini.Aku melipat kembali gaun itu. Tanpa sengaja aku melihat label harganya. Ya Allah, mahal banget baju beginian. Kalau beli daster udah dapat 5 biji. Pemborosan sekali. Kemudian kuambil gamis warna mocca di bawahnya. Sangat manis dan elegan. Banyak payet berbentuk bunga dan manik-manik yang bling-bling. Ternyata bajunya berat, ada nih kalau satu kilogram. Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba. Kulihat pantulan d
Sinar mentari pagi menghangatkan tubuhku. Bukan berjemur, aku hanya menjemur cucian. Aku takut hitam jika lama-lama kepanasan. Nanti enggak imbang sama kulit putihnya Pak Arfan. Hari ini aku berangkat kuliah bersama Nindi. Aku memintanya menjemputku karena ada hal yang harus aku ceritakan. Seharusnya ini menjadi hari bahagiaku karena nanti malam aku akan dilamar. Namun, seperti ada yang mengganggu hati ini. Wanita itu menyebalkan sekali. Bisa-bisanya dia meminta Pak Arfan mengaji di rumahnya. Bukankah ada banyak ustaz di sini? Kenapa mesti calon suamiku? Dan aku tidak diizinkan ikut pula. Huf, aku membuang napas lelah.“Fa, Nindi udah datang!” teriak ayah. Ayah sedang sarapan di dapur bersama Faiha dan Ilham. Aku sudah sarapan lebih dahulu kemudian menjemur baju. Usai berjemur, aku langsung menemui Nindi. “Tunggu sebentar, aku ambil tas dulu.”Aku mengambil tas dan pergi. Sesampainya di kampus, aku mengajak Nindi langsung ke kelas. “Ayo kita masuk, mumpung belum ada anak-anak.”“
Malam ini aku sangat bahagia. Langit nampak cerah diterangi cahaya rembulan, beribu bintang di langit bersinar terang. Mereka seolah tersenyum kepadaku. Dengan gaun yang indah aku bersiap menyambut keluarga Pak Arfan, tetapi yang datang malah keluarga Pak Shaka. Mereka tersenyum dari kejauhan kemudian mengucapkan salam setelah sampai di depan rumah.“Wa’alaikum salam, Bapak mau cari ayah saya? Mau beli bubur lagi, ya? Maaf hari ini kami tidak berjualan.”Mereka pasti mau membeli bubur kacang ijo. “Em, iya, kami–““Sebentar, saya panggilkan ayah dulu.”Aku tidak akan membiarkan mereka masuk. Bisa kacau acara malam ini kalau sampai mereka lama berbincang dengan ayah. Padahal setengah jam lagi keluarga dari Pak Arfan akan datang.“Yah, ayah!” Aku mencari ayah hingga ke dapur, ternyata ayah sedang ada di kamar mandi. “Buruan, Yah. Ada Pak Shaka!”Setelah menyampaikan kedatangan Pak Shaka kepada ayah, aku kembali ke depan mempersilakan mereka duduk. “Silakan duduk, Pak.”“Terima kasih, N
Hari ini aku harus berangkat pagi karena ada presentasi di jam pertama. Aku pergi membawa motor ayah setiap Faiha dan Ilham libur. Ayah masih mempunyai stok bahan untuk membuat bubur karena kemarin tidak berjualan. Semoga saja tidak ditangkap polisi, aku belum memiliki SIM. Maunya ditangkap babang ojol, eh. “Aku berangkat dulu, Yah.” Kucium punggung tangan orang yang selama ini merawat dan membesarkan kami. Ayah memiliki peran doblel, selain sebagai seorang bapak, beliau juga menjadi ibu bagi kami. Ayahku pahlawanku. Dia bisa melakukan semuanya meskipun tidak sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah.“Hati-hati, jangan ngebut, Fa!” teriak ayah. Aku sudah memakai helm warna ungu terong dengan gambar huruf ‘g’ yang ada tanduknya. (Hanya anak yang lahir tahun 90’an yang paham.)Aku menjalankan motor dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Aku memelankan laju kendaraan ketika sampai di lampu lalu lintas. Biasanya hari Minggu seperti ini jalanan lengang, tetapi mengapa di depan ramai sekal
Dia terkekeh kemudian memundurkan langkahnya, “Permisi, aku mau lewat! Kamu menghalangi jalan.” Aku segera menggeser tubuh supaya dia bisa keluar. Ya Allah betapa bodohnya aku. Tempat parkir dosen berbeda dengan mahasiswa. Pantas saja aku tidak melihatnya. Dan yang barusan aku lakukan? Ah, memalukan sekali. Aku merutuki diriku sendiri. Aku tertunduk lemas di lantai, bagaikan tersengat listrik berdekatan dengannya. Aku harus menjaga jarak aman. Belum sempat aku berdiri, suara langkah kaki mendekat. Ibra si ketua kelas selalu berangkat pagi. “Kamu ngapain di situ, Fa?” tanya Ibra. Dia ikut berjongkok di depanku. “Uangku jatuh, bantuin cari, ya!” Dengan segera aku berpura-pura mencarinya. Demi meyakinkan Ibra, aku mengambil sapu di pojokan kemudian mencarinya di bawah meja dan kursi. Ibra berlari mengekoriku dari belakang. “Memangnya berapa uangmu yang hilang?” “Tujuh puluh lima ribu, uang keluaran terbaru.” Ibra mengerutkan dahi, tetapi dia tetap membantuku mencarinya. Padahal di
“Sebut namaku jika kau rindukan aku ...” Lagu terakhir yang masih kuingat hingga sekarang. Baru sehari dia pergi, mengapa aku sudah kelimpungan seperti ini?Dari tadi pagi aku tidak konsen bekerja. Berkali-kali kulihat ponsel, namun tidak ada satupun pesan darinya. Aku bisa gila jika tidak mendapat kabar darinya. Pak Arfan berangkat ke Yogyakarta tadi pagi sehabis Subuh. Dia hanya mengirimkan pesan jika dia sudah otewe. Aku sudah membalasnya, tetapi hingga sekarang tidak ada balasan. Padahal sudah centang dua warna abu. "Ehem, jangan main hape terus, Fa! Dilihatin Pak Herman tuh." Udin melirik ke arah kasir. Aku segera menyimpan ponselku kembali. "Lagi sepi, Din. Gapapa kali.""Kamu 'kan disuruh cek barang, buruan, gih!" Udin baik sekali kepadaku, dia selalu mengingatkan jika aku melakukan kesalahan. Aku segera berdiri mengambil buku serta bolpoin. Setiap hari, aku harus mengecek barang-barang yang sudah habis. Setelah itu, aku akan memberikan catatan kepada Pak Herman. Dia yang
Kulihat penampilanku di cermin sudah oke. Namun saat aku menggeser tombol warna hijau, panggilan sudah berakhir. Hah? Ambyar sudah.Aku mencoba menghubunginya kembali, tetapi sedang sibuk. Dia sedang menghubungi siapa? Ah menyebalkan sekali. Lebih baik aku menunggunya. Mungkin saja dia sedang menghubungi orang tuanya, atu jangan-jangan dia sedang menghubungi mantan? Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dia menelepon lagi. Aku segera mengangkatnya sebelum dimatikan lagi. “Assalamu’alaikum, Syifa.”“Wa’alaikum salam, Mas.” Duh keceplosan. Aku menutup mulutku. Aku segera mengganti video dengan kamera belakang. “Barusan kamu bilang apa?”“Aku cuma menjawab salam.”Kulihat dia terkekeh menatap ke kamera. “Mengapa kameranya diganti? Aku enggak bisa lihat wajah kamu, nih.”“Biarin! Bapak nyebelin.” “Kok Bapak lagi? Enakan dipanggil ‘Mas’ loh.” Benar ‘kan dia itu menyebalkan. “Maaf, tadi khilaf. Sekarang aku udah sadar.” Aku sedang menahan tawa. Rasanya aku ingin bilang jika aku mer