Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku.
Ya, aku punya rencana untuk menghancurkan mereka. Jangan mereka pikir selama ini aku diam mengalah itu karena takut. Aku hanya mencari waktu yang tepat dan ibulah yang membuat rencanaku berjalan. Mas Lucky tidak pernah tau siapa aku sebenarnya. Karena sebelum menikah, aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bekerja karena fitnah seseorang membuatku dipecat. Setelah dipecat, aku membantu ibu berjualan di pasar. Saat itulah aku ketemu dengan Mas Lucky yang sedang belanja. Aku membantunya memilih sayur segar, sejak saat itu dengan berbagai alasan Mas Lucky kerap datang ke pasar. Sebulan perkenalan, Mas Lucky melamar dan mengajakku menikah. Akan tetapi, Mamanya tak merestui hubungan kami. Oleh karena itu kami tetap menikah dengan sederhana di rumahku. Mas Lucky tidak pernah tau kalau aku ini pernah bekerja di perusahaan. Karena dia tak pernah bertanya, Mas Lucky taunya aku penjual sayur di pasar. Sekarang itu sangat menguntungkan diriku, jadi Mas Lucky tidak curiga aku yang menghapus rekaman CCTV itu. Tanpa menunggu Mas Lucky siap mandi, aku turun ke bawah lagi melihat keadaan ibu. Pasti jamu buatan Bi Inem sudah siap dimasak. Sebelum ke dapur aku ke kamar ibu, ternyata di dalam ada Bi Inem sedang memberi ibu minum. Ibu tersenyum kala aku nongol. "Gimana, Bu jamunya?" tanyaku sambil duduk di kursi yang terletak dekat tempat tidur. "Enak, Bi Inem pandai membuatnya," puji Ibu melirik Bi Inem. Bi Inem tersipu malu. "Ibu bisa aja, saya dulu memang penjual jamu saat di kampung." "Pantas, tapi kenapa nggak jual jamu lagi, Bi?" tanyaku ingin tau. "Saya nggak mau tinggal di kampung karena suami saya menikah lagi dengan janda muda. Sakit hati saya setiap ketemu dia, makanya saya merantau kemari sebagai pembantu," jelas Bi Inem dengan mata berkaca-kaca. Aku menggeleng mendengar kisah hidup Bi Inem. Semua lelaki sama saja tidak muda tua suka selingkuh. Ibu beruntung karena almarhum bapak tetap setia hingga meninggal. Saat asyik mengobrol terdengar teriakan mertua memanggil Bi Inem. "Inem ... Di mana kamu?" Seketika wajah Bi Inem pucat pasi."Aduh, gimana ini Non?" tanya Bi Inem takut. "Bibi jujur aja, Mama nggak akan marah, udah sana temui Mama!" pintaku. Bi Inem mengangguk kemudian menyerahkan gelas jamu padaku. Lalu gantian memberi minum jamu pada ibu. "Yu, kalo Bu Inem dimarah besan gimana? Ibu takut dia diperlakukan seperti ibu tadi," lirih Ibu sedih. "Nggak, Bu! Selama Bi Inem nggak melakukan kesalahan fatal, Mama cuma akan memarahinya aja. Sudah sering Bi Inem kena marah Mama," jawabku menghibur. "Inem, dari mana kamu dipanggil dari tadi nggak menyahut?" tanya mertua keras. Aku dan ibu mendengar suara menggelegar itu karena kamar dekat dengan dapur. Mertua pasti sudah sampai ke dapur mencari Bi Inem jadi suaranya sungguh terdengar jelas. "Ma-maaf Nyonya, saya tadi di kamar ibunya Non Ayu," ucap Bi Inem gugup. "Ngapain kamu di kamarnya? Saya ini majikan kamu bukan dia, paham!" hardik mertua tak suka. Ibu gelisah menatapku terus dan merasa bersalah. Melihatnya yang tak tenang, aku pun keluar untuk membantu Bi Inem bicara. Terlihat mertua berkacak pinggang memarahi Bi Inem. "Bi Inem membuatkan jamu untuk ibu, jadi Mama nggak perlu marah. Tubuh ibu sakit karena Mama tendang tadi apa Mama mau bawa berobat ibuku?" tanyaku sambil masuk ke dapur meletakkan gelas bekas jamu. Melihatku muncul dan protes, mertua pun berhenti marah. Aku mencuci gelas untuk melihat reaksi Mama, Bi Inem segera menghampiriku. "Nggak usah dicuci, Non! Biar bibi aja yang nyuci," cegah Bi Inem. "Nggak apa-apa, Bi! Bibi urus Mama aja, Mama udah nggak marah lagi," kataku sambil melirik mertua yang masih terdiam. "Inem, sini! Nanti kamu masak yang banyak dan enak. Ada tamu spesial yang akan datang," titah mertua seraya memberikan uang belanja. "Baik, Nyonya. Saya akan segera belanja," sahut Bi Inem tergesa-gesa pergi. "Yu, nanti malam ada tamu yang datang. Mama minta ibumu jangan sampai keluar dan terlihat tamu. Mama mengizinkan ibumu di sini bukan berarti bisa berbuat sesuka hati, mengerti!" ujarnya menatapku malas. "Ayu mengerti, Ma! Lagian ibu juga nggak leluasa bergerak, tubuhnya masih sakit. Untung aja nggak parah kalo sampai pingsan, Ayu bakal laporkan Mama ke polisi," ancamku membuatnya bergidik. Mertua lalu pergi dengan kesal, aku cuma tertawa melihatnya. Ternyata senang juga membuatnya ketakutan. Gantian aku yang akan menindas mereka, seperti dulu mereka selalu membuatku susah dan harus mematuhi semua perkataan mereka. Namun, ngomong-ngomong siapa tamu yang akan datang nanti malam ya? Apakah aku juga ikut menyambut atau d idalam saja seperti ibu. Tapi, mertua tadi tak ada melarang berarti boleh. Bukankah tiap ada tamu yang datang mertua tetap mengenalkanku. Ah, siapapun dia bodoh amat. Selama tidak menghina ibu, aku akan bersikap seperti biasa. Selesai di dapur, aku masuk kamar untuk menunaikan sholat Maghrib, azan sudah berkumandang. Mas Lucky tertidur, lantas aku bangunkan. "Mas, bangun sudah Maghrib!" kataku mengguncang tubuhnya. "Apa sih? Ganggu orang tidur aja!" katanya marah. "Sudah Maghrib, Mas! Bangun, sholat." "Bentar lagi, ngantuk ini." "Kata Mama, Maya akan datang untuk makan malam di sini," ucapku sedikit keras di telinga Mas Lucky. Sengaja aku berbohong untuk melihat reaksinya. Pasti Mas Lucky akan senang mendengar kekasih gelapnya datang. Benar saja, refleks Mas Lucky bangun sambil mengucek matanya. "Apa kamu bilang, siapa yang datang?" tanyanya ingin jelas pura-pura kaget tapi sebenarnya bahagia. "Maya, kamu suka 'kan, Mas," ejekku menyindir. "Apa maksud kamu? Mas suka? Ada-ada aja kamu," gerutu Mas Lucky takut ketahuan. "Buktinya, saat aku sebut Maya langsung Mas bangun. Atau jangan-jangan kalian ada apa-apanya," selidikku menatap netra Mas Lucky. Mas Lucky yang ditatap seperti itu mendadak salah tingkah. Lalu gegas bangun dan masuk kamar mandi. Aku mencibir dan membentang sajadah, untuk menjalankan sholat sendirian. Sampai aku siap sholat, Mas Lucky baru keluar dari kamar mandi. Tercium aroma yang sangat wangi, pasti Mas Lucky sengaja mandi lagi dan bersih-bersih. Kentara di wajahnya sangat bahagia dengan sosok tamu yang akan datang. Aku pun tertawa melihatnya, Mas Lucky heran. Namun, dia tidak menggubrisku. Tanpa tau siapa tamu yang datang, begitu pedenya Mas Lucky bermandi ria. Aku ingin lihat ekspresi terkejutnya nanti, membayangkan wajahnya yang kecewa membuatku semakin terkekeh. "Sudah sana, gantian tempatnya!" ujar Mas Lucky mengusir. Aku pun menyingkir agar Mas Lucky bisa sholat. Selesai melipat mukena, aku memakai baju yang pantas dan berdandan tipis. Bagaimanapun tamu yang datang jangan melihatku lusuh agar mereka tidak mengejekku dan mertuaa juga tak malu. Aroma masakan sudah tercium lezat. Pasti Bi Inem lagi masak, gegas aku turun ke bawah untuk melihat masakan apa saja yang akan dihidangkan. Mataku membulat sempurna saat menatap hidangan. Ada sekitar sepuluh menu yang disiapkan untuk menyambut sang tamu. Begitu spesialkah tamu itu sampai harus dimasak begini banyak. Bi Inem tersenyum kala melihatku terbengong di dekat meja. "Non, kenapa bengong?" tegur Bi Inem.Begitu spesialkah tamu itu sampai harus dimasak begini banyak. Bi Inem tersenyum kala melihatku terbengong di dekat meja. "Non, kenapa bengong?" tegur Bi Inem. "Jarang-jarang Bibi masak menu segini banyak, lauknya juga istimewa. Enak banget, Bi!" pujiku sambil mengambil sepotong daging lalu memakannya. "Biasa aja, Non! Oh iya, Non Ayu ambilkan makan untuk ibu sekarang. Jangan sampai dilihat Nyonya," pinta Bi Inem. "Oke, makasih Bi," ucapku segera mengambil piring beserta nasi dan lauknya. Sengaja aku ambil sepiring lagi lauknya agar Ibu kenyang memakannya. Keluar dapur belum nampak batang hidung mertua. Aman, aku masuk ke kamar ibu dan meletakkan nasi di meja. Aku tuntun beliau ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Mengurus ibu dulu sebelum tamu datang, keluar dari kamar mandi kembali aku tuntun. Berpapasan dengan mertua yang akan ke dapur, melihatku menuntun ibu. Kemudian berhenti lalu berkata, "Ingat yang Mama bilang tadi!" tegurnya. Aku mengangguk kemudian membantu
Tatkala masih asyik melamun, terdengar suara pintu dibuka. Seketika aku menoleh, Mas Lucky masuk dengan ekspresi lesu. Aku hanya mencibir melihatnya, pasti rasa kecewa itu masih bersarang di hatinya. "Kamu kenapa, Mas? Dari tadi mukanya nggak semangat gitu. Apa karena Maya nggak datang?" Mas Lucky menatap tajam, sepertinya perkataanku barusan membuatnya kikuk. "Kamu ngomong apa, kenapa Maya terus yang kamu tanyakan!" ucapnya ketus. "Mas suka Maya, kan? Jujur aja, Mas! Sebenarnya apa yang kamu sukai dari dirinya?" tanyaku sambil mendekat. Mas Lucky semakin salah tingkah, demi menutupi kebohongannya dia berpura-pura melihat ponsel. Aku pun terus menatapnya sambil bersedekap kedua tangan. "Kamu pasti mengirimkan chat sama Maya kan, Mas?" tanyaku lagi. Lama-lama Mas Lucky jengah karena terus aku tanya. Tanpa menjawabku dia malah mengalihkan pembicaraan. "Tadi kamu kenapa pake masker?" "Oh, itu tadi aku hanya nggak ingin kalian malu kalo tamu tau wajahku yang miskin ini," jawabku m
Lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam sengaja aku menunggu agar Mas Lucky tertidur. Masuk ke kamar, aku pura-pura akan tidur dan mengetes Mas Lucky. Menggoyang tubuhnya tapi Mas Lucky tidak bangun juga. Segera aku sambar kunci mobil di meja dan menutup pintu kamar dengan pelan. Tiba di garasi, memasukkan kunci lalu pintu mobil terbuka gegas aku masuk kedalam. Mengambil kotak coklat dan membukanya dengan berdebar. Lalu saat melihat isinya, aku terkejut dan mulut mendadak kelu. Kotak besar itu berisi pakaian seksi wanita, sebuah lingerie hitam. Begitu cantik dipadu celana dalam yang bolong sana sini. Aku bergidik melihat modelnya, bagaimana cara memakai bila semuanya bolong gini, gumamku heran. Untuk siapa Mas Lucky membeli ini, tidak mungkin kan untukku. Selama setahun menikah bahkan Mas Lucky tidak pernah membeli lingerie seksi. Palingan cuma daster yang murah karena katanya itu lebih cocok untukku. Mas Lucky pasti ingin memberikan ini pada Maya. Huh, semakin keterlaluan s
"Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar. "Mas, jangan sampai kamu masuk kamar ibu dan mengacak-acak. Kali ini Ayu nggak akan biarkan kejadian kemarin terulang lagi," ujarku mengingatkan. "Ayu, ingat ini rumah Mama dan Mama berhak untuk menggeledah isi kamar siapa aja yang sudah mencuri," timpal mertua ngotot. "Baiklah, tapi dengan syarat Ayu ikut ke dalam dan apabila nggak terbukti ibu mengambilnya maka Mas harus bilang itu barang apa dan untuk siapa," tantangku pada Mas Lucky. Mas Lucky melirik mamanya seperti meminta pendapat. Mertua memutar bola matanya malas dan terserah. Dengan menggaruk kepalanya, Mas Lucky pun mengangguk. Mertua dan Mas Lucky berjalan ke arah kamar ibu, secepatnya Bi Inem mendekatiku. "Non, gimana?" tanyanya cemas. Aku memberi isyarat pada Bi Inem supaya diam dulu lalu menyusul mereka ke kamar ibu. Begitu masuk, mertua dan Mas Luc
Aku bangun berjalan lalu memeluk ibu. "Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" "Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. "Ibu masih ingat kan wanita yang kemarin udah memfitnah Ibu?" tanyaku menatapnya dalam. "Ya, memang kenapa dengan dia?" "Wanita itu yang akan menjadi istri kedua Mas Lucky, Ayu nggak menyangka Bu kalo Mas Lucky mengkhianati Ayu. Dia udah nggak cinta Ayu lagi!" ujarku sesenggukan. Ibu lalu iba dan memeluk, dielusnya punggungku lembut. "Ayu, Ibu udah tau walaupun kamu nggak ngomong apa-apa. Dari perilaku mereka semua itu sudah menampakkan mereka nggak suka sama kita. Jadi, mau kamu bagaimana Ibu akan tetap mendukungmu." Aku terharu mendengarnya, ah ibu ternyata dirimu peka dan terus memberi semangat. Oleh karena itu membuatku semakin sayang dan ingin memberi kebahagiaan pada ibu. Di usianya yang sudah tua aku harus mengurusnya dengan baik. Tetapi bagaimana? Aku belum menemukan caranya. Kalo pergi sekarang juga bisa saja tapi ak
"Sudah sana pergi jangan kebanyakan bacot, ambil tas kalian dan pergi dari sini!" hardik mantan mertua dengan kasar mendorongku. Aku membawa ibu ke kamarnya untuk mengambil tas. Bi Inem menangis melihat kami akan pergi. "Non, mau kemana?" tanyanya sedih. "Bi, Ayu sudah ditalak Mas Lucky jadi sekarang juga kami akan pergi! Bibi harus jaga kesehatan dan baik-baik di sini," kataku sambil memeluknya. Sedikit tidak rela meninggalkan Bi Inem. Tetapi dia dan aku harus melanjutkan hidup masing-masing. Aku janji dalam hati kalo suatu saat nanti kaya aku akan mencari Bi Inem. "Non, gimana cincin itu?" ujar Bu Inem berbisik. "Bibi simpen dulu, besok saat Bibi akan belanja ke pasar Bibi bawa dan kita ketemu di sana. Kalo Ayu bawa sekarang ntar mereka akan menggeledahnya lagi," titahku, Bi Inem mengangguk mengerti. Selesai membereskan tas ibu, aku melanjutkan ke kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa, hanya baju tanpa perhiasan. Ya perhiasan yang aku punya hanya cincin nikah. Sebelum kelua
Aku sempat tak percaya dan meminta mengirimi fotonya dan ibu. Tak lama notifikasi masuk terlihat tiga foto dikirim, foto pertama saat ibu dan adiknya masa kecil. Foto kedua saat keduanya belum terpisah dan terakhir foto sekarang. "Bu ...!" panggilku shock. "Ayu, kenapa Nak?" sahut ibu heran melihatku bengong menatap ponsel. Aku menyerahkan ponsel pada ibu agar melihat kiriman foto dari seseorang yang mengaku Paman. Mata ibu membulat sempurna memandangi foto di ponsel. Berulangkali mengucek matanya agar tidak salah. "Bukankah ini Seno!" seru Ibu terperanjat. Ibu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Ayu, darimana kamu dapatkan foto ini? Katakan, Nak!" desak Ibu. "Barusan ada yang mengirim, Bu! Dia mengaku sebagai Paman Ayu. Apa benar Ibu punya adik kandung?" tanyaku setengah tak percaya. Ibu menghembuskan napas pelan, lalu mengangguk. Tapi sejurus kemudian menatap kembali foto itu dan mengelusnya seraya bergumam sendiri. "Seno, di mana kamu sekarang? Mbak kangen sama kamu." Waj
"Saya membutuhkan asisten untuk membantu tugas saya di kantor maupun di rumah. Apakah kamu mau jadi asisten saya?" tanyanya dengan senyum mengembang. "Apa, asisten Pak?" tanyaku kaget. "Iya, gimana? Mau kan jadi asisten saya?" Sekali lagi Pak Adit bertanya dengan serius. "Tapi, Pak! Saya nggak pantas, saya hanya ingin jadi karyawan aja. Lagian, saya udah bukan gadis lagi," ucapku menunduk malu. "Jadi, kamu udah menikah?" Aku mengangguk dan terlihat Pak Adit mendelik tak percaya. Ya, walaupun aku sudah menikah orang pasti tak percaya karena penampilanku masih seperti gadis. Setelah menikah aku tak banyak bersolek jadi tetap seperti gadis kampung. Terdengar Pak Adit menghela napas. "Kalo gitu, kamu minta ijin dulu sama suami kamu kalo mau menjadi asisten saya." "Nggak perlu ijin, Pak! Saya udah cerai dengan suami saya," jawabku jujur. Kembali Pak Adit menatapku tak percaya, kemudian mengangguk dan tersenyum. Aku heran kenapa Pak Adit malah ingin menjadikanku asisten. Bukankah di
Suara azan Subuh mengalun merdu, membangunkan tidurku yang lelap. Saat mataku terbuka kulihat Mas Adit masih tertidur di sampingku. Wajah tampannya begitu sempurna, alis tebal dan hidung mancung ditambah kulit yang bersih. Aku mengelus pipi dan mengecup keningnya. "Mas, bangun! Kita sholat Subuh berjamaah yuk!" bisik ku ditelinga suamiku. "Hum, sudah pagi, Yang?" ujarnya bergumam. Tanpa menunggu Mas Adit yang belum bangun, aku masuk ke kamar mandi duluan membersihkan diri sambil keramas. Saat mandi, aku tersenyum mengingat sebagai pengantin baru mulai ijab qobul, resepsi hingga malam pertama semua berseliwaran dimata. Keluar dari kamar mandi, Mas Adit sudah duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk. Aku terkekeh melihat wajahnya yang masih capek. "Mas, sudah sana mandi keburu siang!" ujarku sambil mengelap rambut yang basah. "Yang, sini peluk dong!" ucapnya manja sambil merentangkan tangannya. "Mandi dulu, Mas! Sholat bareng kita, baru deh peluk," jawabku tersenyum sambil mem
Kasus persidangan Mas Lucky pun bergulir. Setelah memberi keterangan di kantor polisi, aku dan Mas Adit hadir di pengadilan sebagai saksi. Turut di temani Ibu dan Om Seno yang ingin melihat langsung jalannya persidangan. Selain kami, datang juga istri pria gembul itu dan juga rekan-rekannya. Menurut kabar pria gembul itu tidak akan diperkarakan. Tapi, orang tua Maya sudah menuntut balik atas perzinahan yang dilakukannya. Malangnya, istri pria gembul itu tidak percaya perbuatan mesum suaminya. Untuk membantu orang tua Maya, aku akan laporkan kepala HRD itu atas kasus korupsi penggelapan uang proyek. Pengacara yang sudah ku sewa juga turut hadir. Selain membantu orang tua Maya, aku ingin meringankan hukuman Mas Lucky. Bagaimanapun dia sudah menyesali perbuatannya dan berjanji akan merubah sikap dan hidupnya. Begitu hakim masuk, semua yang hadir berdiri memberi hormat. Seperti sidang yang sudah-sudah, kali ini prosesnya juga sama. Jaksa penuntut umum membacakan segala rentetan kejadia
POV Author Saat masih dalam kamar mayat itulah, terbuka pintu dari luar. Kemudian terdengar suara keras bersamaan masuk beberapa pria berseragam. "Itu dia orangnya yang sudah membunuh, Pak!" ujar pria gembul itu menunjuk Lucky. Lucky dan kedua orang tua Maya terkejut dengan kedatangan polisi. Beberapa pria berseragam itu segera berlari mendekati Lucky dan menangkapnya, tanpa perlawanan dari pelaku. Tangan Lucky segera diborgol dan dibawa keluar. Ramai para pengunjung rumah sakit berkerumun ingin tau. Komandan polisi lalu bertanya pada orang tua Maya. "Anda siapanya korban?" tanya komandan polisi. "Kami orang tuanya, Pak!" "Berdasarkan saksi mata, kami menangkap pelaku. Jadi, saat interogasi dan sidang nanti kalian wajib datang untuk diminta keterangan!" jelas komandan polisi itu. Setelah menerangkan polisi itu keluar dengan pria gembul itu. Akan tetapi, orang tua Maya segera memanggilnya. "Tunggu!" Komandan polisi dan pria gembul itu berhenti dan menoleh. Bapak Maya maju untu
"Apa kamu bilang?" Mas Lucky akan menaikkan tangannya ke atas, seperti ingin menampar lagi. Tiba-tiba sebuah tangan gembul menghentikan tangan Mas Lucky. "Cukup! Jangan sakiti wanitaku dan anakku!" hardiknya menepis tangan Mas Lucky. Kami semua menoleh ke arah pria itu dan terkejut. Dia kan kepala HRD di perusahaanku, juga pacar gelapnya Maya. Berani benar dia terang-terangan mengaku di hadapan semua orang kalo anak yang dikandung Maya itu anaknya. "Oh, jadi kamu yang sudah menghamili istriku! Dasar tua bangka!" hardik Mas Lucky meninju pria gembul itu hingga tersungkur. Dengan susah payah Maya berdiri dan menghalangi Mas Lucky memukul pacarnya. Namun, Mas Lucky sudah sangat marah hingga saat akan menyerang lagi Maya yang berada di depannya pun terkena pukulan kuat hingga terjatuh. "Aaaawww, aduh!" teriak Maya kesakitan sambil memegang perutnya. Darah merembes keluar mengalir ke kakinya. Kami lagi-lagi terkejut, pria gembul itu segera bangkit dan mendekati Maya. "Aduh, Om! Tolon
"Tante nggak berhak melarang, awas aja kalo sampai Tante menyakiti Bi Inem, Ayu nggak tinggal diam!" ancamku. Tante Ratna tertawa. "Eh, perempuan miskin jangan belagu jadi orang. Mentang-mentang punya pacar kaya berani main ancam. Berkaca dulu, yang kaya itu pacarnya bukan kamu!" ledek Tante Ratna angkuh. Saat aku mau membalas lagi, Mas Adit mencegah. "Sudah, Yang! Kita pulang aja, nggak perlu memamerkan siapa diri kita. Ntar Tante Ratna akan tau juga." Kulihat Tante Ratna hanya mencibir. Mantan mertuaku itu masih dengan sikap sombongnya. Aku ada akal ingin memberinya kejutan, sambil celingukan ke dalam aku bertanya pada Bi Inem. "Bi, Maya kemana kok nggak nampak?" "Anu, Non Ayu! Maya kalo siang gini sering pergi keluar dan nggak mau berdiam di rumah katanya bosan," jawab Bi Inem sambil melirik majikannya yang mendelik. "Eh, Ayu! Untuk apa tanya-tanya Maya? Menantuku itu nggak seperti kamu, yang cuma ndekam di rumah. Maya keluar untuk menghibur diri biar gak bosenan," cetus Tant
Esoknya, pagi-pagi setelah sarapan Lik Slamet dan keluarganya mulai berkemas. Ibu masih menyuruh mereka untuk sarapan sebagai etika tuan rumah. Walaupun dengan perasaan malu, mereka tetap makan untuk mengganjal perut di jalan. Saat Bulik Marni dan Risa di kamar berkemas, Ibu memanggil Lik Slamet. "Slamet, ini Mbak ada sedikit pemberian untuk kamu. Ambil, gunakan untuk buka usaha." "Nggak usah, Mbak! Saya nggak enak menerimanya!" tolak Lik Slamet tidak enakan. "Sudah ambil aja, kalo akangmu masih hidup Mbak yakin pasti akan memberimu. Pemberian ini sebagai rasa syukur Mbak dan Ayu dengan kehidupan sekarang. Ambillah, ingat Ayu masih butuh kamu sebagai wali nikahnya nanti," ujar ibu sambil menyerahkan amplop berisi uang. "Terima kasih banyak, Mbak! Saya akan gunakan uang ini dengan baik," kata Lik Slamet terharu dan menyimpannya di saku baju. "Jangan tau Marni dan Risa, bungkusan yang ini baru beri pada istrimu. Semoga hidup kalian semakin bagus nanti." Lik Slamet mengangguk. "Aam
Kami memesan sebuah cincin nikah yang berbentuk indah dan bermatakan berlian serta seperangkat perhiasan lainnya. Selain itu mengunjungi sebuah percetakan undangan, lagi-lagi Mas Adit menyerahkan pilihan padaku. Setelah itu baru Mas Adit mengajak ke sebuah cafe. Kali ini kami ingin suasana yang beda, aku pun mengiyakan ajakan Mas Adit. Kami menikmati cemilan yang dihidangkan pelayan cafe. Hari ini baru pembukaan, jadi menu yang dihidangkan gratis. Pantas saja, Mas Adit mengajakku kemari rupanya cafe baru diresmikan. "Hai, bro!" panggil seorang pria pada Mas Adit, lalu berjalan mendekat. Mereka saling berjabat tangan. "Kirain kamu nggak datang!" katanya cekikan. "Tentu, aku nggak bakal lupa untuk mendukungmu," jawab Mas Adit sambil menyeruput capuccino. Pria yang belum aku ketahui namanya melirikku kemudian beralih pada Mas Adit. "Siapa dia, bro? Pacar ya?" "Kenalkan, namanya Ayu! Calon istriku. Ayu, ini teman kuliahku dulu, Gerry!" ucap Mas Adit mengenalkan. "Hebat kamu, bro!
Pagi ini aku bersemangat berada di kantor, karena tak perlu melihat wajah kedua orang anak dan ibu itu. Sungguh tamu yang tak tau diri dan buat kesal. Sudahlah, tidak usah dipikirkan dulu, sekarang fokus untuk urusan kantor. "Permisi, Bu!" suara Olivia mengetuk pintu. "Ya, masuk! Ada agenda apa hari ini?" tanyaku sambil meletakkan tas di sisi kanan meja. Olivia menyerahkan beberapa berkas di map. Aku meneliti sebentar, kemudian pandanganku terpaut kontrak kerjasama dengan mister Nicholas. Aku hampir melupakan dirinya. "Gimana perkembangan pembangunan proyek asing itu?" tanyaku menunjukkan berkas pada Olivia. "Oh, lancar aja, Bu! Bagian HRD yang bertanggung jawab atas perekrutan karyawan sudah menjalankan tugasnya dengan baik," jawab Olivia. "Bisa bawakan biodata kepala HRD itu pada saya?" tanyaku ingin mengenal lebih jauh. "Bisa, Bu! Saya akan ambil dulu." Sambil menunggu Olivia, aku membaca berkas lainnya. Tidak ada yang istimewa, semua bagian dari tugas perusahaan. Saat asyi
Aku tersenyum kala memasak ditemani kekasih, Mas Adit mengajakku ngobrol hingga tak terasa capek. Kadang kami tertawa bersama karena ada lucunya. Kebersamaan kami di dapur terganggu dengan ulah Risa. Tanpa malu-malu, Risa menepuk bahu belakang Mas Adit. "Mas, perhatian banget sama Mbak Ayu!" canda Risa tertawa. Mas Adit kaget dan refleks berdiri. Aku pun sontak melotot tak senang. "Kamu jadi orang bisa sopan sikit, nggak?" kata Mas Adit ketus. Alamak, kali ini Mas Adit yang sembur Risa. Jangankan Risa, aku pun sampai mendelik mendengar suara Mas Adit. Tapi akui, kekasihku sangat jantan. Mas Adit memang tak suka perempuan gatal seperti itu. "Sudah sana kamu pergi, Risa! Bukankah kalian sedang istirahat," timpalku mengusirnya. "Halah, Mbak! Mentang-mentang orang kaya baru aja sombong! Baru dipegang sikit aja udah galak, Mas!" kekeh Risa sambil kedipan mata. Aku mendengus kesal, Mas Adit berjalan menghampiriku dan berdiri di sampingku. Lalu membantuku agar cepat selesai. Kami berd