Lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam sengaja aku menunggu agar Mas Lucky tertidur. Masuk ke kamar, aku pura-pura akan tidur dan mengetes Mas Lucky. Menggoyang tubuhnya tapi Mas Lucky tidak bangun juga.
Segera aku sambar kunci mobil di meja dan menutup pintu kamar dengan pelan. Tiba di garasi, memasukkan kunci lalu pintu mobil terbuka gegas aku masuk kedalam. Mengambil kotak coklat dan membukanya dengan berdebar. Lalu saat melihat isinya, aku terkejut dan mulut mendadak kelu. Kotak besar itu berisi pakaian seksi wanita, sebuah lingerie hitam. Begitu cantik dipadu celana dalam yang bolong sana sini. Aku bergidik melihat modelnya, bagaimana cara memakai bila semuanya bolong gini, gumamku heran. Untuk siapa Mas Lucky membeli ini, tidak mungkin kan untukku. Selama setahun menikah bahkan Mas Lucky tidak pernah membeli lingerie seksi. Palingan cuma daster yang murah karena katanya itu lebih cocok untukku. Mas Lucky pasti ingin memberikan ini pada Maya. Huh, semakin keterlaluan saja kamu Mas. Perhatian banget pada wanita lain tapi pada istri sendiri tidak. Awas kamu! Aku akan balas kalian berdua. Saat akan memasukkan lingerie ke dalam kotak, mataku terpaku pada kotak mungil di dalamnya. Apa ini? Dengan penasaran aku pun membukanya. Cahaya kemilau dari lingkar kecil itu menyilaukan mataku. Aku lebih terperanjat, ya aku melihat sebuah cincin berlian. Cincin itu aku ambil dan memasangkan ke jari manis. Pas! Aku pun mencoba menggoyangkan tangan, begitu cantiknya cincin ini di jariku. Sayangnya ini bukan untukku, tiba-tiba hatiku sedih. Sebagai istri Mas Lucky tidak pernah membelikan barang mahal, saat menikah hanya cincin emas biasa yang diberikannya. Tunggu, kalo aku tidak mendapatkannya maka Maya juga. Terlintas ide untuk mengambil cincin ini tanpa sepengetahuan Mas Lucky. Ya, aku lebih memilih cincin daripada lingerie. Karena aku lebih berhak daripada Maya. Dengan mengulum senyum, aku pun merapikan kembali seperti semula. Kemudian segera keluar dari mobil lalu menutup pintu dengan pelan. Masuk ke dalam rumah sudah tidak ada siapapun. Semua orang pasti sudah tidur termasuk Bi Inem. Sebelum masuk kamar, aku akan ke ruang kerja dulu untuk menghapus rekaman diriku yang menuju garasi. Untung saja pintu ruangan ini tak pernah dikunci karena Mas Lucky mengira aku bodoh dan tak tau apapun hingga dia merasa aman saja. Selesai dihapus tanpa meninggalkan jejak, aku masih duduk sebentar memikirkan di mana akan aku sembunyikan cincin berlian ini. Kalo disimpan kamar ibu maka ibu akan disiksa bila ketahuan. Tidak, aku harus cari tempat yang aman. Bagaimana kalo aku simpan di kamar Bi Inem saja. Mungkin dia akan menolak karena takut dipecat mertua. Akan tetapi, di kamarnya tempat yang paling aman. Semoga saja Bi Inem belum tidur. Dalam gelapnya ruangan, aku berjalan mengendap-endap ke kamar Bi Inem. Mengetuk pelan pintu lalu terdengar suaranya dari dalam. "Siapa?" "Ini aku Bi, Ayu!" jawabku pelan seperti berbisik. Pintu dibuka Bi Inem, gegas aku masuk dan menutup pintu. Mata Bu Inem yang sudah mengantuk mendadak bulat. "Non Ayu sedang apa?" tanyanya heran. "Sssttt, jangan kuat-kuat Bi!" kataku sambil meletakkan jari di bibir. "Ayu ingin minta tolong, Bi. Tolong simpan cincin berlian ini ya!" pintaku memohon. "Punya siapa, Non?" "Punya Ayu, Bi! Ini Ayu ambil dari mobil Mas Lucky." "Jangan, Non! Bibi takut entar Den Lucky dan Nyonya akan marah. Kalo dilaporkan ke polisi bagaimana, Bibi nggak mau dipenjara," tolak Bi Inem sambil menggeleng. "Tolonglah, Bi! Cuma di kamar Bibi yang aman. Mas Lucky nggak akan mencurigakan Bibi kan nggak mungkin Bibi bisa buka mobil," kataku menjelaskan sambil merayunya. Sekilas Bi Inem bergeming dan menatap cincin itu. Aku menangkupkan tangan tanda memohon. "Please, Bi! Apa Bibi nggak kasihan sama Ayu? Cincin ini akan Mas Lucky berikan pada Maya," isakku. Akhirnya Bi Inem mengangguk dan mencoba mencari tempat aman di kamarnya. Bi Inem lalu melongok ke kolong tempat tidur dan menggesernya. Bi Inem membuka sepetak keramik lalu terlihat sebuah tempat menyimpan barang. Aku terkejut melihatnya, ternyata di kamar Bi Inem ada tempat rahasia. "Ini Bibi temukan saat mulai kerja di sini, saat itu Bibi juga ingin menyimpan barang kemudian menemukan ini. Mungkin sebelum Bibi di sini pembantu sebelumnya yang membuat," jelas Bi Inem. Aku mengangguk lalu menyerahkan kotak mungil itu. Bi Inem menerimanya dan memasukkan ke dalam lalu menutup dengan keramik lagi dan menggeser tempat tidur ke semula. Bi Inem dan aku bernafas lega, akhirnya aman. Aku tersenyum dan menggenggam tangan Bi Inem. "Bi, makasih ya udah bantu Ayu. Cincin itu kelak berguna untuk kita bila suatu saat kita keluar dari sini." "Tapi, Non! Kalo Bibi keluar mau kerja di mana?" tanya Bi Inem galau. "Percayalah, Bi! Ayu nggak akan melupakan kebaikan Bibi dan akan membantu Bibi semampu Ayu," kataku lalu bangun. "Ayu mau ke kamar dulu ya! Kalo lama-lama ntar Mas Lucky curiga. Ini rahasia kita berdua." Bi Inem mengangguk kemudian menutup pintu saat aku keluar. Melewati kamar ibu lalu membuka pintunya dan beliau sudah tidur. Sebelum masuk kamar aku juga mengambil minum di dapur dan membawanya masuk. Mas Lucky masih tertidur nyenyak, sudut bibirnya tersenyum mungkin lagi bermimpi Maya. Aku hanya tertawa dalam hati mengingat ekspresi Mas Lucky akan pucat setelah tau kehilangan cincin. Rasain kamu Mas! ** Pagi hari, usai sarapan Mas Lucky pamit kerja. Bi Inem membersihkan meja dan aku melihat ibu. Sedangkan mertua yang mengantar Mas Lucky hingga ke depan. Mertua selalu melarang bila aku yang mengantar karena beralasan ingin mengenang almarhum Papa mertua. Daripada berdebat aku mengalah dan membantu Bi Inem di dapur. Keadaan ibu sudah sedikit membaik dan sudah bisa berjalan sendiri. Alhamdulillah, aku bersyukur ibu cepat pulih. "Bu, kita makan saja di dapur ya!" ajakku. Ibu mengangguk dan aku gandeng ke kamar mandi untuk bersihkan diri dulu baru makan. Namun, belum juga sampai di kamar mandi terdengar teriakan Mas Lucky memanggilku. "Ayu!" Akhirnya Mas Lucky menemuiku di dapur. "Ada apa, Mas? Blom pergi kerja?" tanyaku sambil mendudukkan ibu di kursi. "Apa tadi malam kamu masuk ke mobil?" selidik Mas Lucky. "Nggak kok, aku kan nonton TV trus tidur," jawabku tegas tapi di hati cekikan pasti Mas Lucky ingin menanyakan cincin. "Lalu kemana ya?" gumam Mas Lucky bicara sendiri. "Sudah dapat blom, Ky?" tanya mertua berjalan mendekat. Mas Lucky menggeleng frustasi, lalu mertua menatap ibu tajam. "Pasti ibu Ayu yang mengambilnya!" Spontan ibu terkejut bila kejadian kemarin terulang kembali. "Tunggu, sebenarnya apa yang kalian cari sampai menuduh ibuku?" kataku berpura-pura marah. "Mas kehilangan barang di mobil dan itu sangat penting buat Mas," jawab Mas Lucky berang. "Mas, apa kamu nggak lihat kalo ibu aja susah berjalan bagaimana mungkin bisa mengambil barang di mobil. Lagian kunci mobil kan Mas yang simpan. Sebenarnya barang apa sih?" Aku terus merongrong agar Mas Lucky mau bicara.Mas Lucky tetap tidak mau jawab, aku akan menjebaknya. "Apa barang itu untuk Maya?" tanyaku ketus. "Bu-bukan! Ya udah kalo kamu nggak tau," ujar Mas Lucky. "Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar."Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar. "Mas, jangan sampai kamu masuk kamar ibu dan mengacak-acak. Kali ini Ayu nggak akan biarkan kejadian kemarin terulang lagi," ujarku mengingatkan. "Ayu, ingat ini rumah Mama dan Mama berhak untuk menggeledah isi kamar siapa aja yang sudah mencuri," timpal mertua ngotot. "Baiklah, tapi dengan syarat Ayu ikut ke dalam dan apabila nggak terbukti ibu mengambilnya maka Mas harus bilang itu barang apa dan untuk siapa," tantangku pada Mas Lucky. Mas Lucky melirik mamanya seperti meminta pendapat. Mertua memutar bola matanya malas dan terserah. Dengan menggaruk kepalanya, Mas Lucky pun mengangguk. Mertua dan Mas Lucky berjalan ke arah kamar ibu, secepatnya Bi Inem mendekatiku. "Non, gimana?" tanyanya cemas. Aku memberi isyarat pada Bi Inem supaya diam dulu lalu menyusul mereka ke kamar ibu. Begitu masuk, mertua dan Mas Luc
Aku bangun berjalan lalu memeluk ibu. "Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" "Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. "Ibu masih ingat kan wanita yang kemarin udah memfitnah Ibu?" tanyaku menatapnya dalam. "Ya, memang kenapa dengan dia?" "Wanita itu yang akan menjadi istri kedua Mas Lucky, Ayu nggak menyangka Bu kalo Mas Lucky mengkhianati Ayu. Dia udah nggak cinta Ayu lagi!" ujarku sesenggukan. Ibu lalu iba dan memeluk, dielusnya punggungku lembut. "Ayu, Ibu udah tau walaupun kamu nggak ngomong apa-apa. Dari perilaku mereka semua itu sudah menampakkan mereka nggak suka sama kita. Jadi, mau kamu bagaimana Ibu akan tetap mendukungmu." Aku terharu mendengarnya, ah ibu ternyata dirimu peka dan terus memberi semangat. Oleh karena itu membuatku semakin sayang dan ingin memberi kebahagiaan pada ibu. Di usianya yang sudah tua aku harus mengurusnya dengan baik. Tetapi bagaimana? Aku belum menemukan caranya. Kalo pergi sekarang juga bisa saja tapi ak
"Sudah sana pergi jangan kebanyakan bacot, ambil tas kalian dan pergi dari sini!" hardik mantan mertua dengan kasar mendorongku. Aku membawa ibu ke kamarnya untuk mengambil tas. Bi Inem menangis melihat kami akan pergi. "Non, mau kemana?" tanyanya sedih. "Bi, Ayu sudah ditalak Mas Lucky jadi sekarang juga kami akan pergi! Bibi harus jaga kesehatan dan baik-baik di sini," kataku sambil memeluknya. Sedikit tidak rela meninggalkan Bi Inem. Tetapi dia dan aku harus melanjutkan hidup masing-masing. Aku janji dalam hati kalo suatu saat nanti kaya aku akan mencari Bi Inem. "Non, gimana cincin itu?" ujar Bu Inem berbisik. "Bibi simpen dulu, besok saat Bibi akan belanja ke pasar Bibi bawa dan kita ketemu di sana. Kalo Ayu bawa sekarang ntar mereka akan menggeledahnya lagi," titahku, Bi Inem mengangguk mengerti. Selesai membereskan tas ibu, aku melanjutkan ke kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa, hanya baju tanpa perhiasan. Ya perhiasan yang aku punya hanya cincin nikah. Sebelum kelua
Aku sempat tak percaya dan meminta mengirimi fotonya dan ibu. Tak lama notifikasi masuk terlihat tiga foto dikirim, foto pertama saat ibu dan adiknya masa kecil. Foto kedua saat keduanya belum terpisah dan terakhir foto sekarang. "Bu ...!" panggilku shock. "Ayu, kenapa Nak?" sahut ibu heran melihatku bengong menatap ponsel. Aku menyerahkan ponsel pada ibu agar melihat kiriman foto dari seseorang yang mengaku Paman. Mata ibu membulat sempurna memandangi foto di ponsel. Berulangkali mengucek matanya agar tidak salah. "Bukankah ini Seno!" seru Ibu terperanjat. Ibu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Ayu, darimana kamu dapatkan foto ini? Katakan, Nak!" desak Ibu. "Barusan ada yang mengirim, Bu! Dia mengaku sebagai Paman Ayu. Apa benar Ibu punya adik kandung?" tanyaku setengah tak percaya. Ibu menghembuskan napas pelan, lalu mengangguk. Tapi sejurus kemudian menatap kembali foto itu dan mengelusnya seraya bergumam sendiri. "Seno, di mana kamu sekarang? Mbak kangen sama kamu." Waj
"Saya membutuhkan asisten untuk membantu tugas saya di kantor maupun di rumah. Apakah kamu mau jadi asisten saya?" tanyanya dengan senyum mengembang. "Apa, asisten Pak?" tanyaku kaget. "Iya, gimana? Mau kan jadi asisten saya?" Sekali lagi Pak Adit bertanya dengan serius. "Tapi, Pak! Saya nggak pantas, saya hanya ingin jadi karyawan aja. Lagian, saya udah bukan gadis lagi," ucapku menunduk malu. "Jadi, kamu udah menikah?" Aku mengangguk dan terlihat Pak Adit mendelik tak percaya. Ya, walaupun aku sudah menikah orang pasti tak percaya karena penampilanku masih seperti gadis. Setelah menikah aku tak banyak bersolek jadi tetap seperti gadis kampung. Terdengar Pak Adit menghela napas. "Kalo gitu, kamu minta ijin dulu sama suami kamu kalo mau menjadi asisten saya." "Nggak perlu ijin, Pak! Saya udah cerai dengan suami saya," jawabku jujur. Kembali Pak Adit menatapku tak percaya, kemudian mengangguk dan tersenyum. Aku heran kenapa Pak Adit malah ingin menjadikanku asisten. Bukankah di
"Sudah, kamu kerja aja di perusahaan Om. Perusahaan itu akan Om alihkan untukmu," kata Om Seno serius. Uhuuk !! Balik aku yang tersedak. Terkejut mendengar Om Seno mengatakan yang mimpi pun aku tak berani. Ibu juga tak kalah kaget, lalu menoleh Om Seno. "Seno, jangan becanda kamu!" ucap Ibu heran. "Aku serius, Mbak! Rencana perusahaan memang ingin aku beri sama Ayu untuk diurus. Aku sudah tua nggak selamanya berkutat di sana terus, aku ingin lebih cepat pensiun," jawab Om Seno dengan nada lelah. "Tapi, Om kan punya Widya! Kenapa nggak Om suruh aja dia, secara dia lebih berhak karena anak Om," kataku menolak halus. Terdengar berat napas yang dikeluarkan Om Seno, ekspresi wajahnya sulit dimengerti. Om Seno menghentikan makan dan melamun. Ibu dan aku bingung kenapa Om Seno jadi sedih. Ibu lalu menepuk pundak Om Seno. "Seno, ada apa? Sepertinya kamu menyimpan beban, apa mau cerita sama Mbak?" "Mbak, kalo aku cerita kalian nggak akan percaya. Kalian bisa lihat sendiri nanti, aku ha
Di pasar, aku membeli berbagai kebutuhan dapur. Mulai dari sayur, ikan, daging, bumbu dapur dan rempah-rempah. Terakhir mampir ke supermarket membeli gula, minyak, susu, teh, dan lainnya. Semua total belanjaan aku tulis di kertas, agar jika Pak Adit tanya aku bisa menunjukkan buktinya. Sisa tinggal seratus ribu untuk ongkos pulang balik. Sampai di rumah, dibantu satpam aku membawa barang belanjaan ke dapur. "Pak, terima kasih udah bantu saya!" "Sama-sama, Neng!" jawabnya tersenyum. "Pak, saya mau tanya! Kok rumah ini sepi sekali, kemana orang tua dan pembantu Pak Adit?" tanyaku ingin tau. Satpam tertawa. "Pak Adit memang tinggal sendiri, Neng! Orang tuanya di luar negeri, jarang datang kemari kalo nggak ada urusan." "Oh, begitu ya, Pak! Lalu untuk urusan makan dan rumah siapa yang mengerjakan kalo nggak ada pembantu?" tanyaku lagi, ini lebih aneh bagaimana Pak Adit bisa hidup sendiri. "Ehm, sebenarnya Pak Adit nggak suka pake pembantu. Dulu ada kejadian pembantu suka diam-diam m
"Ayu, Yu ...!" Bahu yang terguncang membuatku tersentak bangun. Aku pun membuka mata lalu terkejut, saat Pak Adit sudah berdiri di depanku. Tapi, yang membuat lebih kaget aku sudah berada di atas kasur. Loh, bukankah aku tidur di atas sajadah kok bisa berpindah di kasur. Di tengah kebingungan, suara Pak Adit menyadarkan. "Ayu, apa kamu sudah sadar!" sindir Pak Adit. Seketika aku menatap Pak Adit, malu. Ya seharusnya aku segera menyahut panggilannya tadi, ini malah bingung sendiri. Kemudian aku menurunkan kaki dan duduk di tepi kasur. "Maaf, Pak! Saya ketiduran, apa ada yang perlu saya lakukan?" tanyaku sigap. "Sudah sore, kita pulang aja!" kata Pak Adit kecewa. Astaga! Sudah sore, berarti aku kelamaan tidur tapi kenapa Pak Adit tidak membangunkan aku? Melihat ekspresi Pak Adit yang masih cemberut membuatku ingin tertawa tapi mencoba tahan. "Maaf, Pak! Lain kali saya nggak tidur lagi, jujur saya capek karena baru hari pertama kerja. Mohon Pak Adit maklumi," ujarku menyatukan tan
Suara azan Subuh mengalun merdu, membangunkan tidurku yang lelap. Saat mataku terbuka kulihat Mas Adit masih tertidur di sampingku. Wajah tampannya begitu sempurna, alis tebal dan hidung mancung ditambah kulit yang bersih. Aku mengelus pipi dan mengecup keningnya. "Mas, bangun! Kita sholat Subuh berjamaah yuk!" bisik ku ditelinga suamiku. "Hum, sudah pagi, Yang?" ujarnya bergumam. Tanpa menunggu Mas Adit yang belum bangun, aku masuk ke kamar mandi duluan membersihkan diri sambil keramas. Saat mandi, aku tersenyum mengingat sebagai pengantin baru mulai ijab qobul, resepsi hingga malam pertama semua berseliwaran dimata. Keluar dari kamar mandi, Mas Adit sudah duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk. Aku terkekeh melihat wajahnya yang masih capek. "Mas, sudah sana mandi keburu siang!" ujarku sambil mengelap rambut yang basah. "Yang, sini peluk dong!" ucapnya manja sambil merentangkan tangannya. "Mandi dulu, Mas! Sholat bareng kita, baru deh peluk," jawabku tersenyum sambil mem
Kasus persidangan Mas Lucky pun bergulir. Setelah memberi keterangan di kantor polisi, aku dan Mas Adit hadir di pengadilan sebagai saksi. Turut di temani Ibu dan Om Seno yang ingin melihat langsung jalannya persidangan. Selain kami, datang juga istri pria gembul itu dan juga rekan-rekannya. Menurut kabar pria gembul itu tidak akan diperkarakan. Tapi, orang tua Maya sudah menuntut balik atas perzinahan yang dilakukannya. Malangnya, istri pria gembul itu tidak percaya perbuatan mesum suaminya. Untuk membantu orang tua Maya, aku akan laporkan kepala HRD itu atas kasus korupsi penggelapan uang proyek. Pengacara yang sudah ku sewa juga turut hadir. Selain membantu orang tua Maya, aku ingin meringankan hukuman Mas Lucky. Bagaimanapun dia sudah menyesali perbuatannya dan berjanji akan merubah sikap dan hidupnya. Begitu hakim masuk, semua yang hadir berdiri memberi hormat. Seperti sidang yang sudah-sudah, kali ini prosesnya juga sama. Jaksa penuntut umum membacakan segala rentetan kejadia
POV Author Saat masih dalam kamar mayat itulah, terbuka pintu dari luar. Kemudian terdengar suara keras bersamaan masuk beberapa pria berseragam. "Itu dia orangnya yang sudah membunuh, Pak!" ujar pria gembul itu menunjuk Lucky. Lucky dan kedua orang tua Maya terkejut dengan kedatangan polisi. Beberapa pria berseragam itu segera berlari mendekati Lucky dan menangkapnya, tanpa perlawanan dari pelaku. Tangan Lucky segera diborgol dan dibawa keluar. Ramai para pengunjung rumah sakit berkerumun ingin tau. Komandan polisi lalu bertanya pada orang tua Maya. "Anda siapanya korban?" tanya komandan polisi. "Kami orang tuanya, Pak!" "Berdasarkan saksi mata, kami menangkap pelaku. Jadi, saat interogasi dan sidang nanti kalian wajib datang untuk diminta keterangan!" jelas komandan polisi itu. Setelah menerangkan polisi itu keluar dengan pria gembul itu. Akan tetapi, orang tua Maya segera memanggilnya. "Tunggu!" Komandan polisi dan pria gembul itu berhenti dan menoleh. Bapak Maya maju untu
"Apa kamu bilang?" Mas Lucky akan menaikkan tangannya ke atas, seperti ingin menampar lagi. Tiba-tiba sebuah tangan gembul menghentikan tangan Mas Lucky. "Cukup! Jangan sakiti wanitaku dan anakku!" hardiknya menepis tangan Mas Lucky. Kami semua menoleh ke arah pria itu dan terkejut. Dia kan kepala HRD di perusahaanku, juga pacar gelapnya Maya. Berani benar dia terang-terangan mengaku di hadapan semua orang kalo anak yang dikandung Maya itu anaknya. "Oh, jadi kamu yang sudah menghamili istriku! Dasar tua bangka!" hardik Mas Lucky meninju pria gembul itu hingga tersungkur. Dengan susah payah Maya berdiri dan menghalangi Mas Lucky memukul pacarnya. Namun, Mas Lucky sudah sangat marah hingga saat akan menyerang lagi Maya yang berada di depannya pun terkena pukulan kuat hingga terjatuh. "Aaaawww, aduh!" teriak Maya kesakitan sambil memegang perutnya. Darah merembes keluar mengalir ke kakinya. Kami lagi-lagi terkejut, pria gembul itu segera bangkit dan mendekati Maya. "Aduh, Om! Tolon
"Tante nggak berhak melarang, awas aja kalo sampai Tante menyakiti Bi Inem, Ayu nggak tinggal diam!" ancamku. Tante Ratna tertawa. "Eh, perempuan miskin jangan belagu jadi orang. Mentang-mentang punya pacar kaya berani main ancam. Berkaca dulu, yang kaya itu pacarnya bukan kamu!" ledek Tante Ratna angkuh. Saat aku mau membalas lagi, Mas Adit mencegah. "Sudah, Yang! Kita pulang aja, nggak perlu memamerkan siapa diri kita. Ntar Tante Ratna akan tau juga." Kulihat Tante Ratna hanya mencibir. Mantan mertuaku itu masih dengan sikap sombongnya. Aku ada akal ingin memberinya kejutan, sambil celingukan ke dalam aku bertanya pada Bi Inem. "Bi, Maya kemana kok nggak nampak?" "Anu, Non Ayu! Maya kalo siang gini sering pergi keluar dan nggak mau berdiam di rumah katanya bosan," jawab Bi Inem sambil melirik majikannya yang mendelik. "Eh, Ayu! Untuk apa tanya-tanya Maya? Menantuku itu nggak seperti kamu, yang cuma ndekam di rumah. Maya keluar untuk menghibur diri biar gak bosenan," cetus Tant
Esoknya, pagi-pagi setelah sarapan Lik Slamet dan keluarganya mulai berkemas. Ibu masih menyuruh mereka untuk sarapan sebagai etika tuan rumah. Walaupun dengan perasaan malu, mereka tetap makan untuk mengganjal perut di jalan. Saat Bulik Marni dan Risa di kamar berkemas, Ibu memanggil Lik Slamet. "Slamet, ini Mbak ada sedikit pemberian untuk kamu. Ambil, gunakan untuk buka usaha." "Nggak usah, Mbak! Saya nggak enak menerimanya!" tolak Lik Slamet tidak enakan. "Sudah ambil aja, kalo akangmu masih hidup Mbak yakin pasti akan memberimu. Pemberian ini sebagai rasa syukur Mbak dan Ayu dengan kehidupan sekarang. Ambillah, ingat Ayu masih butuh kamu sebagai wali nikahnya nanti," ujar ibu sambil menyerahkan amplop berisi uang. "Terima kasih banyak, Mbak! Saya akan gunakan uang ini dengan baik," kata Lik Slamet terharu dan menyimpannya di saku baju. "Jangan tau Marni dan Risa, bungkusan yang ini baru beri pada istrimu. Semoga hidup kalian semakin bagus nanti." Lik Slamet mengangguk. "Aam
Kami memesan sebuah cincin nikah yang berbentuk indah dan bermatakan berlian serta seperangkat perhiasan lainnya. Selain itu mengunjungi sebuah percetakan undangan, lagi-lagi Mas Adit menyerahkan pilihan padaku. Setelah itu baru Mas Adit mengajak ke sebuah cafe. Kali ini kami ingin suasana yang beda, aku pun mengiyakan ajakan Mas Adit. Kami menikmati cemilan yang dihidangkan pelayan cafe. Hari ini baru pembukaan, jadi menu yang dihidangkan gratis. Pantas saja, Mas Adit mengajakku kemari rupanya cafe baru diresmikan. "Hai, bro!" panggil seorang pria pada Mas Adit, lalu berjalan mendekat. Mereka saling berjabat tangan. "Kirain kamu nggak datang!" katanya cekikan. "Tentu, aku nggak bakal lupa untuk mendukungmu," jawab Mas Adit sambil menyeruput capuccino. Pria yang belum aku ketahui namanya melirikku kemudian beralih pada Mas Adit. "Siapa dia, bro? Pacar ya?" "Kenalkan, namanya Ayu! Calon istriku. Ayu, ini teman kuliahku dulu, Gerry!" ucap Mas Adit mengenalkan. "Hebat kamu, bro!
Pagi ini aku bersemangat berada di kantor, karena tak perlu melihat wajah kedua orang anak dan ibu itu. Sungguh tamu yang tak tau diri dan buat kesal. Sudahlah, tidak usah dipikirkan dulu, sekarang fokus untuk urusan kantor. "Permisi, Bu!" suara Olivia mengetuk pintu. "Ya, masuk! Ada agenda apa hari ini?" tanyaku sambil meletakkan tas di sisi kanan meja. Olivia menyerahkan beberapa berkas di map. Aku meneliti sebentar, kemudian pandanganku terpaut kontrak kerjasama dengan mister Nicholas. Aku hampir melupakan dirinya. "Gimana perkembangan pembangunan proyek asing itu?" tanyaku menunjukkan berkas pada Olivia. "Oh, lancar aja, Bu! Bagian HRD yang bertanggung jawab atas perekrutan karyawan sudah menjalankan tugasnya dengan baik," jawab Olivia. "Bisa bawakan biodata kepala HRD itu pada saya?" tanyaku ingin mengenal lebih jauh. "Bisa, Bu! Saya akan ambil dulu." Sambil menunggu Olivia, aku membaca berkas lainnya. Tidak ada yang istimewa, semua bagian dari tugas perusahaan. Saat asyi
Aku tersenyum kala memasak ditemani kekasih, Mas Adit mengajakku ngobrol hingga tak terasa capek. Kadang kami tertawa bersama karena ada lucunya. Kebersamaan kami di dapur terganggu dengan ulah Risa. Tanpa malu-malu, Risa menepuk bahu belakang Mas Adit. "Mas, perhatian banget sama Mbak Ayu!" canda Risa tertawa. Mas Adit kaget dan refleks berdiri. Aku pun sontak melotot tak senang. "Kamu jadi orang bisa sopan sikit, nggak?" kata Mas Adit ketus. Alamak, kali ini Mas Adit yang sembur Risa. Jangankan Risa, aku pun sampai mendelik mendengar suara Mas Adit. Tapi akui, kekasihku sangat jantan. Mas Adit memang tak suka perempuan gatal seperti itu. "Sudah sana kamu pergi, Risa! Bukankah kalian sedang istirahat," timpalku mengusirnya. "Halah, Mbak! Mentang-mentang orang kaya baru aja sombong! Baru dipegang sikit aja udah galak, Mas!" kekeh Risa sambil kedipan mata. Aku mendengus kesal, Mas Adit berjalan menghampiriku dan berdiri di sampingku. Lalu membantuku agar cepat selesai. Kami berd