Home / Romansa / Pesan Rindu Dari Ma'had / Bab 1 : Santri Baru

Share

Pesan Rindu Dari Ma'had
Pesan Rindu Dari Ma'had
Author: Aryani15

Bab 1 : Santri Baru

Author: Aryani15
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

_Kinan_

"Hiks..hiks..mau pulang ikut Mama!!"

"Sayang, kan sudah janji sama Mama! Nanti di sini senang banyak teman, belajar ngaji, belajar nulis arab, banyak lagi. Ya kan Mbak?"

Aku mengangguk sopan menanggapi salah seorang wali santri yang masih sibuk menenangkan anaknya. Yah seperti tahun-tahun sebelumnya, disaat tahun ajaran baru seperti ini, aku dan beberapa teman yang sudah diamanahi jadi pengurus pondok mulai sibuk menyambut santri baru.

Melihat adik-adik santri baru yang menangis seperti ini membuat aku ingat kenangan beberapa tahun lalu disaat aku juga menjadi santri baru di pesantren Al- Anwar ini. Aku yang waktu itu baru lulus SD diantar ibu dan ayah sowan kesini dan mendaftar sebagai santri untuk menimba ilmu dan mengharap barakah kyai.

Aku saja yang waktu itu memang sudah niat untuk mondok masih merasa sangat berat ketika ditinggal pulang, apalagi adik-adik ini yang mungkin saja masih setengah hati masuk ke pesantren ini.  Tapi percayalah nyantri itu pasti akan terasa berat diawal tapi seiring berjalannya waktu kita akan menemukan kenyamanan tersendiri bahkan segala sesuatu yang ada di pesantren akan sangat dirindukan ketika kita sudah menjadi alumni. Begitu sih kata teman-teman yang sudah lulus.

"Kinan! Bagaimana ini?" bisik  salah satu sahabat sekaligus pengurus di sini.

"Kamu mau yang sebelah kiri apa sebelah kanan, Mak?" ujarku tak kalah lirih takut para wali santri ini dengar.

"Aku kiri, yang kanan kayaknya mamanya ribet, tipe ibu-ibu sosialita!" bisiknya lagi. Aku hanya meliriknya sekilas, Pemilik nama lengkap Ma'rifatul Hidayah ini tahu saja mana yang gampang di handle.

"Kalian sudah menentukan pilihan?"  Tiba-tiba Mbak Dita mendusel di tengah-tengah kami.

"Sudah Mbak!" bisik kita dengan lebih mantap.

"Oke, sip! Maju!!"

"Siap!" jawabku dan Ma'rifatul kompak.

Aku dan Mamak-panggilan akrabku pada Ma'rifatul, kalau yang lain biasa panggil dia Rifah- jalan ke kiri dan ke kanan menghampiri adik-adik santri baru ini, membantu membujuk mereka agar mau ditinggal oleh orangtuanya. Saat ini di aula pertemuan lumayan gaduh suasananya karena tidak sedikit yang menangis bahkan ada yang sampai menjerit tidak mau ditinggal. Ada yang lari-lari juga sampai gerbang.

Aku dan pengurus-pengurus lain hanya bisa saling pandang dan memberi semangat satu sama lain lewat tatapan mata dan cengiran.

"Dek! Kenalin nama Mbak adalah Kinan, sama Mbak ya? Biar mamanya pulang." ucapku seramah mungkin tapi adik manis yang baru lulus SD ini menggeleng dengan keras.

"Mbak di sini ada fasilitas Video Call enggak?" tanya mama dari anak itu.

"Maaf Ibu, tidak ada. Kita hanya menyediakan telepon rumah biasa, itupun hanya di hari-hari tertentu santri bisa menghubungi keluarganya."

"Nanti anak saya tidur sekamar berapa orang? Ada AC enggak? Atau minimal kipas angin? Soalnya anak saya enggak bisa kalau panas."

Kinan, keep smile!

"Mohon maaf Ibu, seperti yang sudah dijelaskan dipertemuan wali sebelum ini bahwa di sini tidak ada fasilitas seperti itu dan nanti Insyaallah satu kamar ada 6 orang."

"Di rumah saya ada kipas angin nganggur, boleh enggak saya shodaqohkan tapi khusus buat kamar anak saya?"

Kinan sayang! Senyum Nak! Jangan emosi!

"Di komplek Khadijah ini kurang lebih ada 11 kamar putri Ibu, kalau panjenengan

berkenan shodaqoh bisa untuk 11 kamar itu, seandainya mau pahala lebih banyak bisa tambah 9 untuk kamar putra, kami akan sangat berterimakasih."

Ibu itu malah melengos dan menghampiri anaknya lagi. Bagaimana sih jadinya? Mau shodaqoh apa enggak ini?

Ibu itu melupakan soal kipas angin, beliau kembali mendekati anaknya. Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan santri baru bernama Nisa itu sampai akhirnya dia mau ditinggal dan ikut bersamaku.

Aku membantu Nisa membawa barang-barang bawaannya, cukup banyak! Satu koper, dua tas ransel, dua kardus dan satu ember berisi peralatan mandinya. Yak! Sekali-kali jadi kuli angkut.

Aku mengantarkan Nisa ke kamar yang sudah ditentukan lalu membantunya menata baju-baju dan buku di lemari yang juga sudah disediakan.

"Terimakasih ya Mbak!" ucapnya masih dengan suara sedikit serak.

"Sama-sama Nisa, nanti kalau perlu apa-apa cari Mbak saja ya! Kamar Mbak B1 yang paling ujung dekat pintu masuk tadi." Dia hanya mengangguk.

"Yang sabar dan ikhlas ya Dek! Insyaallah nanti lama-lama terasa nikmatnya."

"Iya mbak, terimakasih."

Aku menepuk bahunya, berharap 40 hari kedepan akan dia lalui dengan lancar. Peraturan di pesantren sini untuk santri baru, 40 hari pertama dilarang dijenguk dulu sebagai riyadhoh atau ikhtiar agar mereka lancar kedepannya dalam tholabul 'ilmu di sini. Setelah lulus 40hari baru ada jadwal sambangan setiap sebulan sekali.

Aku meninggalkan Nisa, sepertinya sudah mendapat kenalan sesama santri baru. Melihat Nisa aku seperti melihat diriku dulu waktu pertama kali masuk sini, dulu selalu nangis di setiap senja datang, rasanya melihat langit yang mulai gelap diiringi suara adzan itu sangat syahdu, membuat aku ingat ayah dan ibu di rumah.

"Bagaimana Kinan? Aman?" tanya Rifah begitu aku masuk ke ruang pengurus bergabung dengan yang lain.

"Alhamdulillah aman."

"Mulai sekarang awasi ya, dibuat nyaman adik-adik santri barunya. Jangan galak-galak sampai ada yang kabur seperti kasus tahun lalu." titah Mbak Rahma selaku lurah komplek ini.

"Kalau nggak khilaf ya, Mbak!" ujar Dini.

"Kamu lho Din, kurangi deh galaknya! Kasihan kan masih pada penyesuaian, mereka dititipkan disini buat belajar bukan mau jadi polwan!" sahut Mbak Rahma.

"Berarti kalau galaknya sama yang sudah lama boleh ya, Mbak?"

"Terserah kamu lah Din!" jawab Mbak Rahma. Dia memilih pergi agar keadaan tidak memanas, Diniyah memang santri yang butuh pengecualian. Harus ekstra sabar kalau berinteraksi sama dia.

Aku dan Rifah yang kebetulan satu kamar memilih untuk kembali ke kamar sekedar meluruskan punggung sebelum masuk waktu ashar. Kita berdua masuk pesantren ini bareng dan kebetulan satu kelas di sekolah maka dari itu aku akrab banget sama dia sampai saat ini.

Pesantren Al-anwar ini lumayan besar, sejak beberapa tahun yang lalu dibagi menjadi 4 komplek. Ada komplek Al-Khadijah-komplek tempatku belajar- yang saat ini diasuh oleh Gus Rizky dan Ning Cut Syifa, komplek Marwa yang diasuh oleh Gus Fauzi dan Ning Sada, lalu di komplek Shofa diasuh oleh Gus Syauqi dan Ning Hanin, sedangkan di komplek pusat sendiri yang santrinya terbanyak diasuh oleh Kyai sepuh-Kyai Hanif dan dibantu kedua putranya.

Dulu pas awal masuk aku tercatat sebagai santri di komplek pusat namun setelah lulus Mts aku dan Rifah pindah ke komplek Khadijah ini dan meneruskan menghafal quran dengan bimbingan Ibu Syifa. Alhamdulillah saat ini walaupun dengan susah payah aku sudah menyelesaikan 25 juz hafalan. Begitu juga dengan sahabat seperjuanganku ini-Ma'rifatul- dia sudah sampai di juz 19.

Rifah saat ini berstatus mahasiswa semester empat, tapi kuliahnya di luar karena pendidikan formal yang ada di pesantren ini hanya sampai MA atau tingkat SMA. Jika RIfah meneruskan kuliah, berbeda denganku, aku memutuskan tidak kuliah setelah lulus, yah karena selain aku ingin fokus menghafal aku juga tidak tega sama ayah dan ibu yang harus bekerja lebih keras lagi untuk biaya kuliahku.

Kalau ditanya apakah aku pengen kuliah, ya pasti pengen tapi ya sudahlah, apa daya keadaan yang kurang mendukung, aku tetap bersyukur sekali dengan apa yang aku miliki sekarang. Allah sudah menentukan takdir setiap Hamba-Nya.

"Kinan!"

"Hmm!"

"Ihh, lihat sini dong!"

"Apa sih Mak? Biarkan aku merem sebentar saja!"

"Putra kedua bapak pulang lho!"

Bapak itu adalah panggilan kami pada pengasuh komplek Khadijah ini- Bp. Alfarizky.

"Siapa?"

"Gus Alfa, baru kali ini aku lihat dengan jelas. Masyaallah! Ganteng maksimal, wajahnya itu wajah wudlu, adem banget!"

Aku hanya bergumam menanggapi celotehnya, memang ya di pesantren manapun itu rata-rata seorang Gus adalah idolanya para santri. Tak terkecuali di sini. Mana banyak juga Gus dzuriyah al-anwar ini! Godaan banget! Walaupun aku belum hafal semuanya.

Aku sendiri belum pernah lihat secara jelas Gus Alfa itu seperti apa hanya beberapa kali lihat dari jauh waktu pesantren ada acara, karena beliaunya jarang banget di rumah sini kurang tahu juga kegiatannya apa, nantilah kalau banyak waktu aku tanya ke Rifah.

Kalau bicara soal Gus di pesantren Al-Anwar ini, aku malah lebih tertarik dengan Gus Zein, putra dari Umi Sada. Beliau itu pembawaannya tenang dan nggak banyak omong tapi sekalinya bersuara jadi menyenangkan, sama santri-santri dekat dan suaranya bagus lagi kalau pas tilawah. Kalau urusan wajah, semua keturunan pesantren Al-Anwar ini enggak usah diragukan lagi, semuanya ganteng dan cantiknya pakai banget enggak ada obat. Masyaallah.

Tapi ya kembali lagi, siapakah aku ini? Aku hanya seorang santri teramat biasa, anak dari ibu pedagang pasar dan ayah petani, rasanya sangat jauh dari nasab Al-Anwar ini. Jodoh memang tidak ada yang tahu, tapi aku tetap sadar diri, rasanya tidak pantas mengharapkan seorang Gus Zein. Secara duniawi saja jauh apalagi secara ilmu agama. Tapi kalau sekedar mengidolakan saja tidak masalah bukan?

Tiba-tiba Rifah yang tadinya ikut berbaring di sampingku langsung bangun dan ikut heboh dengan ketiga teman kamarku.

"Meja..Meja. Tolong Mejanya Kinan!" seru Rifah.

"Eh jangan dong! Ini buat ngaji masa mau kamu pakai manjat!"

Rifah mengabaikan aku dan kembali bergabung dengan teman-teman yang sedang asyik mengintip.

"Siapa sih yang lewat?" tanyaku pada akhirnya karena penasaran juga. Tidak begitu jelas siapa yang barusan lewat, aku hanya melihat punggungnya. 

"Telat kamu! Nggak dapat vitamin see!" ujar Via salah satu penghuni kamar ini.

"Masyaallah..Coba pegang deh! Masih deg-degan banget aku gara-gara lihat Gus Alfa lewat." sahut Rifah.

"Ya Allah,, kalian ini berdosa banget loh! Nggak ngasih celah aku buat ikut ngintip! Cuma kebagian punggungnya!" ucapku dan langsung mendapat sorakan keras dari keempat temanku ini.

Dan mungkin sorakkan yang spontan dan lantang tadi begitu membahana hingga penjuru pesantren karena beberapa detik kemudian langsung terdengar bunyi pintu ndalem atau rumah pengasuh. Rifah dan lainnya langsung membungkam mulut sambil was-was menunggu teguran dari Ibu Syifa. 

"Mbak..Mbak!" Panggil Ibu Syifa dan Via dengan sigap menyaut jilbabnya lalu keluar kamar.

"Dalem, Buk!"

"Kinan suruh masuk ya!" titah Ibuk.

"Nggih!" jawab Via dengan sopan dan lirih berbanding terbalik dengan yang tadi. Diam-diam kita bernafas lega karena tidak jadi mendapat teguran.

"Sama jangan keras-keras ya suaranya!" kata Ibu Syifa lagi. Dan kita hanya bisa kompak mengiyakan dari dalam kamar, nggak berani keluar.

"Nasib dapat kamar paling ujung!! Seneng sih bisa lihat siapa yang lewat tapi rawan kena tilang!" keluh Aisyah dan disetujui yang lain. Kamarku B1 ini memang berada paling ujung dekat dengan ndalem.

Aku buru-buru merapikan diri dan masuk. Sudah tiga kali aku mengucap salam tapi tidak ada jawaban.

"Mbak Kinan!"

"Astaghfirullahal'adzim!!" pekikku karena terkejut.

Sang tersangka malah menertawakanku. "Mbak Kinan ngapain kok malah loncat?"

"Kaget Ning! Oh iya, tadi Ibuk panggil Mbak ada apa ya Ning?"

"Oh bunda ya! Sebentar aku carikan!" 

Aku menyetujui bantuan Ning Alea, gadis periang yang umurnya dua tahun lebih muda dariku itu adalah anak ketiga Ibu Syifa. Bapak dan Ibu mempunyai tiga anak, yang pertama Ning Sean, sudah menikah tapi tidak tinggal di sini, orangnya cantik banget tapi aku agak segan kalau bertemu soalnya agak serem gitu mirip sama bapaknya. lalu yang kedua ada Gus Alfa, nah belum begitu jelas aku orangnya, terus yang ketiga Ning Alea.

"Kinan, tolong buatkan minum ya buat tamunya bapak!" ucap Ibu Syifa yang datang bersama Ning Alea.

Setelah mengiyakan aku langsung membuatkan teh. Di sini selain aku ada Mbak Rahma dan Mbak Nur yang sering dipanggil masuk untuk membantu, mungkin karena kita yang termasuk santri senior dan tidak bersekolah. 

setelah mengantar minum ke ruang tamu, aku duduk sebentar sambil memijit lutut kiriku, agak nyeri untuk berjalan tadi, soalnya kemarin habis jatuh.

"Maaf, Mbak! Bunda minta tolong buatin minum satu lagi ya! "

Aku langsung berdiri tegak dan mengangguk, sedikit malu juga karena ketahuan duduk di kursi ibuk. Itu pasti Gus Alfa karena manggilnya 'bunda'.

"Buat kan saja, nanti biar saya yang bawa ke depan."

"Tapi,"

"Nggak apa-apa! Jenengan balik ke pondok aja, obati lututnya!"

Aku sedikit terkejut, kelihatankah kalau lututku sakit?

"Terimakasih Gus, mohon maaf merepotkan!"

"Santai, Mbak! Oh iya namanya siapa?"

"Kinan!"

"Sekolah? kuliah?"

"Tidak, saya sudah lulus MA dua tahun lalu."

"Oh, masih muda! Saya panggil nama saja ya!"

Aku hanya tersenyum kikuk, gugup banget sampai bingung mau ngapain. Akhirnya aku membuat satu gelas teh lagi dengan sedikit canggung karena Gus Alfa menunggu di sampingku lalu membiarkan Gus Alfa yang membawanya keluar.

"Huuuhh... Masyaallah, deg-degan juga ternyata. Pantas saja Rifah w* akhow*tuha suka histeris lihat Gus Alfa. Aku baru kali ini ngobrol langsung!" gumamku pelan.

Related chapters

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 2 : Roker Sejati

    "Kotak yang ini Ibuk pasrahkan ke kamu ya, nanti begitu sampai kamu kasih ke tuan rumahnya!""Nggih!""Bunda, udah dong! Kasihan Mbak Kinannya belum mandi!" ujar Ning Alea yang sudah wangi dan rapi. Minggu pagi ini kita sedang disibukkan dengan persiapan menghadiri pernikahan salah satu alumni."Ya sudah, kamu siap-siap sana! Maaf ya jadi telat mandinya!" ujar Ibuk Syifa sambil tertawa pelan."Nggak apa-apa Ibuk, kalau begitu saya permisi ke pondok dulu!"Setelah mendapat persetujuan, aku langsung meluncur keluar. Kalau tadi di dalam rumah Ibuk aku masih cukup santai karena Ibu Syifa juga belum siap-siap bahkan mandi aja belum. Ibuk lebih memilih sibuk mempersiapkan barang bawaan yang akan diberikan pada sohibul hajat. Ibuk selalu seperti ini jika ada acara, pokoknya nggak bisa kalau nggak bawain bingkisan. Kalau kata Ning Alea, ribetnya ibuk melebihi ribetnya yang punya acara.Sejenak melupakan kehebohan ibuk, aku malah gantian jadi heboh sendiri karena melihat hampir semua teman-tem

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 3 : Santri Multitalenta

    Menjalani hari di pesantren memang tidak sebebas di rumah. Di pesantren itu penuh dengan aturan tapi tidak untuk mengekang, melainkan mengendalikan. Namanya juga kita sedang belajar mendalami ilmu agama, tentunya sebisa mungkin meminimalisir hal-hal yang sekiranya bisa berpengaruh dalam proses belajar kita.Belajar tentu untuk mencari ilmu dan ilmu tak jauh dari adab. Di pesantren dua hal itu sangat ditekankan, berilmu tapi tidak beradab akan terasa percuma karena dari ilmunya tidak akan bisa menghasilkan kebaikan, bahkan tak sedikit orang yang berilmu tapi kelihatan arogan dan merasa paling benar karena minimnya adab.Sebaliknya, orang yang beradab atau berakhlak mulia walaupun ilmunya sedikit tetap akan terpancar kebaikan dari dirinya, tetap akan dikenal sebagai pribadi yang mulia maka dari itu banyak sekali anjuran dari ulama-ulama untuk mendahulukan adab daripada ilmu. Karena orang beradab akan lebih mudah menerima ilmu."Kamu lagi menghafal buat setoran besok pagi atau lagi mengh

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 4 : Santri Harus Bijak

    "Mbak Kinan lagi sibuk nggak?""Enggak sih Ning, gimana?""Anterin ke minimarket ya! Mau belanja!""Boleh.."Ning Alea langsung masuk pamit sama ibuk dan Aku langsung memakai jilbabku dengan benar, lumayan bisa refreshing keluar."Seneng ya punya alasan keluar!""Wah iya dong Din, alhamdulilah! Nggak usah capek-capek mikir alasan apalagi sampai bohong sama ibuk!"Diniyah langsung melempar tatapan tajam padaku. Ada yang salah dengan ucapanku?"Kamu jangan banyak gaya di sini Kinan! Ingat siapa kita ini!" bisiknya sebelum keluar dari kamarku.Sepeninggal Diniyah, Via langsung mendekat dari ekspresinya pasti mau ghibah ini anak. Untung Rifah masih kuliah, kalau nggak bisa heboh dia ada Dini disini. "Mbak, kenapa sih Mbak Diniyah kayaknya nggak suka banget sama kamu?"Aku memegang dua pipinya yang tembeb. "Anak manis belajar saja ya, nggak usah memikirkan hal yang kurang penting!""Ah Mbak Kinan, iya deh! Mbak aku nitip ya!""Boleh!"Selagi aku masih bersiap, Via dan yang lainnya sibuk me

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 5 : Menantu Idaman

    Jumat pagi ini seluruh penjuru komplek khodijah sedang disibukkan dengan kegiatan bersih-bersih lingkungan atau biasa disebut roan.Roan adalah hal yang melekat pada jati diri pesantren. Setiap santri dibebani untuk roan, minimal membersihkan kamarnya sendiri.Disamping kebersihan juga dianjurkan di agama kita, menjaga kebersihan juga merupakan anjuran dokter dan tentunya manfaat dari kebersihan untuk diri masing-masing.Di komplek ini, roan sebenarnya dilaksanakan setiap hari, tapi ada satu hari dalam sebulan diadakan roan akbar. Biasanya pada hari jum'at membersihkan taman-taman, lingkungan, kamar mandi, dan seluruh lokasi Pesantren. Saat-saat seperti ini sih para santri pasti semangat, taulah kenapa!Santri putra biasanya semangat berbondong-bondong ketika diutus roan di Pondok Putri. Sebenarnya begitu juga dengan santri putri sih.Tujuan roan akbar kali ini khusus untuk menyambut wali santri yang akan datang siang nanti, khususnya santri baru karena tanpa terasa 40 hari berlalu da

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 6 : Ngaji, Ngabdi, Rabi

    "Kinan! Bude kesini!"Aku mematikan kompor dan mendekat ke pintu dimana Rifah berdiri."Ibuku kesini?""Iya, cepetan minta izin dulu!"Segera saja aku menghampiri ibuk syifa untuk minta izin menemui orangtua ku. Dan setelah mendapat izin, aku segera menuju aula. Rasanya sudah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia, ayah sama ibu selalu sukses membuat kejutan.Begitu sampai aku masih harus celingukan mencari keberadaan kedua orangtuaku karena banyaknya orang di sini. Karena memang ini sambangan pertama untuk santri baru jadi tidak ada batasan jumlah keluarga yang boleh masuk."Mbak Kinan!"Aku menoleh ke arah suara dan ternyata Nisa yang memanggil, dia sedang bercengkrama dengan keluarganya. Demi kesopanan aku mendekat dan salim ke mamanya."Terimakasih ya Mbak Kinan, tadi Nisa banyak cerita kalau selama ini banyak dibantu Mbak Kinan." ujar mamanya Nisa."Sama-sama Ibu, sudah kewajiban kita saling membantu.""Oh iya ini buat Mbak Kinan." ucap mamanya lagi, beliau mengulurkan satu kotak

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 7 : Rumus Mencari Jodoh

    "Mak, aku pengen cerita sama kamu tapi ini rahasia!""Sudah kuduga! Tumben-tumbenan kamu ngajak aku belanja ke pasar, biasanya ogah kalau sama aku katanya aku ribet, mau ke pasar aja dandannya lama---"Aku membungkam mulut gadis manis ini, kalau soal pidato memang paling jago."Mau cerita apa?"Pertanyaan Rifah tidak langsung aku jawab, masih konsentrasi memilih wortel yang segar. Baru setelah mendapatkan semua bahan sesuai catatan dari ibuk, aku cerita pada Rifah mengenai surat dari Gus Zein, ngomong-ngomong dia orang pertama yang aku pilih untuk tahu. Aku sudah siap lahir batin untuk menerima reaksinya.Tapi diluar dugaan dia malah memegang keningku. "Nggak terlalu panas sih, tapi tetap harus ke dokter karena tingkat kehaluan kamu sudah sangat parah, stadium akhir!""Kamu nggak percaya, Mak?""Kinanku sayang, aku tahu kamu begitu mengidolakan om-om itu, maaf ya kalau aku kadang ikut dukung kehaluan kamu. Tapi aku prihatin sama keadaan kamu sekarang. Mana masih muda..!""Nih, aku tah

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 8 : Otw Nikah

    وَمَرۡيَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِىۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَهَا فَنَفَخۡنَا فِيۡهِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَصَدَّقَتۡ بِكَلِمٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهٖ وَكَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِيۡنَصَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُAku menutup quranku dan maju untuk mencium tangan ibuk."Alhamdulillah Kinan, juz 28 sudah selesai. Yakin ini mau pulang? Nggak sekalian dikhatamkan? Dua juz lagi lho!""Saya pulang dulu Buk, insyaallah nggak lama. Kangen sama ayah dan ibu.""kemarin juga sudah ketemu kan? Nggak usah pulang aja ya?"Aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng, sebenarnya yang dikatakan ibuk syifa benar sih, tapi niat hati untuk pulang sudah bulat. Mumpung liburan ini juga, kalau pas libur lebaran malah nggak bisa pulang. Bukannya nggak bisa tapi nggak boleh sama ayah."Ya sudah, tapi nanti ya kamu pamitnya. Paling akhir-akhir pokoknya!" ujar Ibuk lalu keluar mushola karena aku yang ngaji terakhir.Hampir 8 tahunan aku mondok mungkin hanya dua kali aku bisa lebaran di rumah, selebihnya di sini. Kata ayah lebaran har

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 9 : Datang Melamarmu

    "Apa yang bisa Kinan bantu nih Bu?""Udah hampir selesai kok!"Aku ikut membantu ibu mengemasi nasi kuning ke plastik mika.Selama ini ibu, menjual makanan di pasar untuk membantu keuangan keluarga. Ada nasi kuning, bubur sumsum dan gorengan. Ibu biasanya menyiapkan bahan-bahannya sejak malam sebelum tidur, baru nanti jam 1 malam bangun lagi untuk masak baru paginya setelah sholat shubuh ibu berangkat ke pasar.Aku mengusap ujung mataku, kalau ngomongin ibu dan ayah rasanya nggk bisa kalau nggak nangis. Semoga aku segera bisa membantu mereka, agar mereka bisa istirahat dan gantian aku yang akan kerja."Kamu tidur lagi sana, nanti shubuh ibu bangunin lagi. Katanya mau ikut ke pasar!""Nggak apa-apa Bu, Kinan tadi udah cukup tidurnya. Kebetulan lagi nggak sholat juga.!"Dengan senang hati ibu menerima bantuanku, Alhamdulillah selesai lebih cepat dari biasanya jadi ibu bisa istirahat sebentar sambil menunggu sholat shubuh.Sementara ayah dan ibu sholat, aku menikmati mandi di rumah. Samp

Latest chapter

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Gus Alfa

    Dulu ada masanya aku pernah begitu kepikiran kenapa orangtua selalu mengutamakan bibit, bebet dan bobot jika memilih jodoh untuk anaknya. Dan kenapa agama sangat menyarankan agar kriteria utama memilih pasangan adalah yang baik agamanya. Padahal tidak ada yang tahu bagaimana hidup seseorang kedepannya. Bagaimana kalau kita cinta sama orang yang tidak baik agamanya, atau berasal dari keluarga yang tidak jelas? Bisa saja saat ini dia terlihat buruk tapi seiring berjalannya waktu kita bisa merubahnya lebih baik, atau bisa saja dia berasal dari keluarga yang kurang baik tapi pribadi nya sendiri baik dan bisa dijadikan pasangan. Dan butuh waktu lama aku bisa mendapat jawaban.. Karena menikah itu bukan hanya persoalan dua orang, tapi menyangkut keluarga besar. Menikah bukan untuk coba-coba merubah hidup seseorang, tapi harus bisa menerima segala kekurangannya dan segala keadaan keluarganya. Kembali bertanya pada hati masing-masing, sanggupkah kita merubahnya menjadi lebih baik? Atau jang

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Alfarras Syafi Mubarak

    Alfarras Syafi Mubarak Tentang mengikhlaskan.. Memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Terkadang sebagai manusia, kita sudah merencanakan kehidupan dengan sedemikian sempurnanya. Terkadang juga mengeluh bahkan putus asa ketika takdir tak sesuai rencana.Salahkah?Tidak. Karena kita manusia biasa. Wajar bila mengeluh akan beratnya ujian Allah, yang tak wajar adalah ketika datang ujian tapi kita marah dan menjauh dari-Nya. Allah memberikan cobaan agar kita semakin mendekat, agar kita tidak pernah lupa bahwa diri kita hanyalah makhluk lemah tanpa kasih sayangNya.Ikhlas. Andai saja menjalaninya semudah mengucapkannya, pasti banyak orang yang bahagia walaupun mendapat ujian, karena yakin bahwa Allah membalasnya dengan pahala besar."Pulang yuk!" ajakku pada Kinan yang masih nyaman duduk di tempat favoritnya belakangan ini."Sebentar lagi ya Mas!" jawabnya pelan.Aku mengangguk dan pilih menemaninya di sini lebih lama lagi. Membiarkan dia melepas rindu dengan putra kecilnya. Putra

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Pesan Rindu Dari Ma'had

    Pada malam hari kembali digelar acara resepsi Zein dan Ayesha, rangkaian acaranya tetap sama pada umumnya namun yang membedakan adalah jumlah tamu. Hingga malam ini, tamu dari kedua keluarga masih terus berdatangan membuat semua keluarga besar Al Anwar harus sedikit lebih banyak menyiapkan tenaga, tapi tentu saja para santri senang bisa membantu."Ay, kamu udah benar-benar sudah ikhlas menjadi istriku?" tanya Zein disela-sela acara.Ayesha mendengus pelan mendengar pertanyaan konyol dari pria yang sudah berstatus suaminya ini. "Telat tanyanya, Bapak! Kalau mau tanya ya tadi pagi!" jawabnya lalu tersenyum karena saat ini ada salah beberapa temannya yang minta foto di pelaminan. Ayesha menyapa hangat teman-temannya yang sudah datang lalu mempersilahkan mereka duduk dengan nyaman."Gimana?" tanya Zein lagi ketika deretan teman Ayesha sudah meninggalkan pelaminan."Ikhlas lillahita'ala, Mas Zein!" jawab Ayesha."Aku mau minta maaf!" ucap Zein di dekat telinga Ayesha karena memang suara mu

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 40 : Cinta Dalam Diam

    "Ma! Abang nggak mau bangun!"Arsha mengadu pada Sang Mama yang sedang sibuk mengarahkan santri-santri untuk menata perasmanan."Udah pakai berapa cara, Nak?" tanya Ralin, dia masih sibuk menata piring di meja."Cara halus sampai cara kasar, Ma! Nggak ngaruh sama sekali ke Abangnya!"Ralin menghela nafasnya lalu ikut Arsha munuju kamar.Hari masih gelap tapi suasana pesantren Al Anwar sudah sangat sibuk karena hari ini akan ada dua acara besar sekaligus, khataman dan pernikahan Zein.Berdasarkan hasil musyawarah keluarga setelah Zein melamar Ayesha, seluruh keluarga sepakat untuk menyatukan acara pernikahan Zein dan khataman. Hanif juga meminta agar akad nikah sekalian di pesantren ini. Walaupun lahir dan tinggal di Jakarta, ibunda Ayesha asli Semarang. Semenjak menikah dengan Habib Yakub Nur Alatas, Sang Ibunda diboyong ke Jakarta hingga menetap disana. Setelah musyawarah panjang, akhirnya keluarga Ayesha setuju untuk menggelar acara di Al anwar."Rey, bangun! Udah subuh kan?" Ralin

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 39 : Amalan Kinan

    Di hari minggu siang kediaman Alfa dan Kinan terlihat ramai, hampir semua keluarga dan kerabat, juga tetangga berkumpul. Ditambah hadirnya beberapa santri dan juga anak-anak dari panti asuhan semakin menambah ramai suasana. Alfa sengaja mengundang orang-orang ini dalam rangka tasyakuran empat bulan kehamilan Kinan.Di sepanjang jalan komplek rumah Alfa dipenuhi mobil-mobil box yang berlogo restoran dan supermarket milik Alfa, dia sengaja mem-booking restorannya sehari itu untuk menyediakan makanan bagi para tamu. Alfa juga meminta sebagian karyawan supermarket untuk menyiapkan hampers (aka berkat) yang nantinya juga untuk tamu."Mbak Kinan beruntung sekali ya menikah sama Gus Alfa!" ujar Via saat mengintip acara di luar. Saat ini dia, Rifah, Rahma, Nur dan beberapa santri putra diajak Syifa ke rumah Alfa. Ada Dini juga tapi dia bergabung bersama keluarganya."Iya. Gagal sama om-om nggak sedih soalnya dapat gantinya kayak Gus Alfa!""Wahai anak-anak cantik! Kalian kira Gus Alfa juga n

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 38 : Karir atau Suami?

    "Kamu apa kabar, Ay? Terakhir kita ketemu pas nikahan Alfa.""Alhamdulillah baik Mas!" jawab Ayesha ketika dia sudah duduk di depan Zein, dia juga sempat tersenyum sekilas pada Ridwan yang duduk di samping Zein. "Iya, aku terakhir ke sini juga pas nikahan Alfa itu!""Kamu kapan sampai Semarang?""Tadi pagi, tidur di hotel sebentar baru kesini.""Berapa hari di sini? Maaf ya aku ganggu kesibukan kamu!""Insyaallah lima harian Mas, besok mulai auditnya sampai tiga hari kedepan terus pengen staycation di sini dua hari. Nggak pengen ngapa-ngapain juga, bener-bener pengen me time mumpung dapat libur, rindu juga sama udara Semarang."Zein tersenyum tipis, ada sesuatu yang tidak nyaman di hatinya. Ayesha wanita yang selalu tidak sungkan menegaskan keinginannya. Mungkin kalau Ridwan yang dengar, tidak ada yang aneh. Tapi bagi Zein yang sudah mengenal betul sifat Ayesha, gadis itu sedang menjelaskan bahwa selama dua hari liburnya dia sama sekali tidak mau diganggu."Nggak ganggu Mas, aku kan y

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 37 : Dendam Pribadi

    "Lagi ya?" tanya Alfa yang duduk di samping istrinya.Kinan menatap suaminya dengan wajah memelas. "nanti habis maghrib lagi ya? Bukannya aku nggak suka ngaji Mas, tapi kamu udah baca surat Yusuf tiga kali, terus surat maryam tiga kali juga."Alfa malah tertawa bahagia melihat istrinya mengeluh. Sehabis dzuhur tadi mereka berdua sudah murojaah dua juz secara estafet, setelah selesai Alfa meminta Kinan untuk menyimaknya membaca surat Yusuf dan Maryam. Seminggu terakhir ini Alfa paling rajin membaca dua surah itu."Pegel?" tanya Alfa yang diangguki Kinan. Alfa langsung memindah mushaf dari tangan Kinan ke meja lalu dia berbaring dengan pangkuan Kinan sebagai bantalnya.Kinan melepas peci Alfa dan langsung mengusap lembut rambut sang suami. Sebelah tangan Alfa terulur ke belakang tubuh Kinan untuk memijit pinggang istrinya, sambil dia mencium perut Kinan."Semoga dr. Vivian nggak ada dendam pribadi sama Kak Sean ya!""Hah?""Dulu itu dr. Vivian saingan berat Kak Sean untuk mendapat hati

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 36 : Mimpi KInan

    "Kenapa kamu, Al?"Alfa berjalan pelan mendekati Sang Nenek yang sedang duduk santai di meja dapur bersama sang kakek. Sebelumnya dia mengintip mangkok besar yang ada di tengah meja."Ini yang masak siapa, Nenda?""Apanya? Sop?""Iya, yang kayak dibawa Tante tadi!""Itu yang masak kan Tante Naya, memang kenapa?" tanya Biya dengan ekspresi heran dengan tingkah cucunya."Beneran Tante Naya? Kok dikasih bawang putih banyak?" Alfa masih belum menyerah, dia membayangkan sedang dikerjain oleh keluarganya dan berharap Kinan benar-benar berada di sini, tiba-tiba muncul dengan senyum manisnya. Jika benar begitu dia

  • Pesan Rindu Dari Ma'had   Bab 35 : Cangkir Kopi

    "....Allahumma nawwir qulubanaa bi tilawatil Qur'an.."Alfa mengulangi kalimat dalam doa khataman itu sampai tiga kali sambil menangis. Bahkan Alfa menangis hingga akhir doanya. Acara simaan kali benar-benar terasa berbeda dari biasanya. Simaan kali ini dia gunakan sebagai ajang bermunajat pada Allah, memohon keselamatan dunia dan akhirat lewat berkat khatam quran."majelis kali ini benar-benar terasa lebih hikmat dari biasanya, Gus!" ujar Yusron ketika acara sudah ditutup dan jamaah dipersilahkan makan, tapi Alfa memilih tetap di tempat menikmati tehnya."Biasanya juga begini, Yus!""Ya secara rangkaian acara sih sama, tapi aku ngerasa lebih gimana ya, haru gitu aja pokoknya."

DMCA.com Protection Status