BAGIAN96
KUTUKAN
“Mas Hendra!” Aku memekik keras kala menyibak tirai bilik di mana suamiku terbaring lemah. Pria yang memakai selang oksigen dan alat pendeteksi oksigen dalam darah yang dijepit pada jempol kanannya tersebut terlihat memejamkan mata. Tangan kanan dan kirinya sama-sama terpasang infuse. Aku sampai dibuat kaget karena bagiku ini adalah pemandangan yang tak biasa.
“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanyaku pada seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa Mas Hendra. Pria bertubuh sedang dengan kulit sawo matang itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya.
“Kondisi Pak Hendra masih belum stabil. Demamnya sudah turun, tetapi infusnya masih harus dipasang dua jalur. Apakah Ibu istrinya?” Pria berjas putih dengan k
BAGIAN97TERNYATA …. “Mas, kamu udah sadar?” tanyaku dengan ekspresi agak terkejut saat melihat Mas Hendra yang terkulai di atas tempat tidur ruangan ICU, mulai membuka kelopak matanya. Pria yang dipasang alat bantu napas berupa selang dengan aliran oksigen murni tersebut menatap lemah ke arahku. Kulitnya kelihatan pucat. Tubuhnya begitu kurus kering, padahal belum seminggu dia meringkuk dalam penjara. “R-ri ….” Pria yang berbaring di tempat tidur paling pojok sebelah kanan di mana ada empat tempat tidur lainnya berjejer di sebelah kiriku sana, mulai memanggil namaku dengan terbata. Sejuknya ruang ICU ditambah mencekamnya suara-suara alat bantu kehidupan itu sempurna membuat bulu tengkuk merinding. Terlebih, saat suara lirih Mas Hendra terdengar menyayat pilu telingaku.&n
BAGIAN98SIMALAKAMA “Bagaimana hasilnya?” Chris cukup membuatku terkejut. Pria itu tiba-tiba saja muncul di depan pintu ICU saat aku baru saja melangkahkan kaki keluar. Wajahnya kelihatan sangat penasaran. Kutak sangka, ternyata dia begitu penasaran dengan kabar mengenai hasil lab Mas Hendra. Aku tak langsung menjawab. Kupilih buat menutup pintu ICU terlebih dahulu, lalu berjalan mendahului Chris. Pria itu cepat mengejar langkahku yang agak terburu. “Cepet banget jalannya,” keluh Chris. “Biar cepat pulang,” desisku. Aku sudah ngebet ingin sampai rumah rasanya. Selain lelah, tak enak juga meninggalkan keluargaku begitu saja. Mama pastinya selain menanti, juga mengkhawatirkan keadaanku
BAGIAN99MENYEBALKAN Hanya helaan napasku yang terdengar memecah keheningan dalam kabin mobil mewah Chris. Kulempar pandang ke depan sana di mana jalan terbentang luas dengan kendaraan yang wara-wiri menghias. Aku benar-benar kehabisan kata. Tak sanggup untuk menjawab pertanyaan Chris yang bagaikan simalakama bagiku. Dijawab, salah. Tak dijawab pun sama salahnya. “Riri, kamu marah?” tanyanya dengan suara pelan. Aku menggelengkan kepala. Perlahan menoleh pada Chris. Menatapnya lamat-lamat dan menemukan tatapan penuh harap pada kedua bola mata cokelatnya. Kelemahanku pun kini bangkit lagi. Rasa iba itu entah mengapa hinggap dan menjalari ke sekujur otak. Mengapa aku selemah ini? “Beri aku waktu,”
BAGIAN100HARI PERTAMA BEKERJA “Mohon maaf untuk gangguan jaringan hari ini, Bu. Tim kami sedang memperbaikinya. Mungkin setengah jam ke depan akan segera pulih seperti sedia kala.” “Dasar jaringan sampah! Nyesel saya pasang sama kalian! Bulan ini yang terakhir pokoknya! Setelah itu saya nggak akan mau lagi pasang ke sini!” Caci maki itu membuat kupingku seketika memanas. Telepon dari customer yang ke sekian puluh hari ini pun diputus begitu saja tanpa salam penutup. Hatiku yang seharusnya bahagia sebab ini adalah hari pertama bekerja setelah tujuh hari diberi izin libur oleh Pak Dayu, malah kacau balau sebab sumpah serapah pelanggan yang marah akan jaringan internet layanan kami down. “Sabar, Ri, sabar,” gumamku seraya melepaskan headset yang
BAGIAN 101MEREBUT HATI MAMA Mungkin wajahku saat ini sudah semerah buah tomat yang ranum. Ya, saking malunya. Sungguh, ucapan Mami Yani yang kunilai begitu berlebihan dan kurang pantas buat diucap tersebut telah sukses mencoreng mukaku di depan Romli. Sopir Pak Dayu di kantor itu besok hari mungkin akan menyebarkan kabar ini pada teman-teman yang lain. habislah aku dicaci maki oleh orang. Dikatai wanita gatal, sebab belum cerai saja sudah berani dekat-dekat dengan direktur. Bayangan buruk itu pun langsung berkitar di kepala. Memenuhi sanubari dan sungguh membuatku sesak. “Kalian hati-hati di jalan, ya. Mami akan menyiapkan semuanya dulu. Ya, sudah. Teleponnya matikan saja dulu.” Sedikit lega hatiku mendengarkan celoteh girang Mami di seberang sana. Sementara dia sibu
BAGIAN102SURAT MISTERIUS “Ya Allah, kesayangan Mami!” Jerit histeris penuh suka cita itu menyambut kedatanganku. Gegap gempita Mami bersorak di depan pintu. Meskipun terduduk di atas kursi roda yang didorong oleh sang suster, tak menyurutkan semangat ’45-nya. Aku yang berjalan dengan langkah gontai di samping Pak Dayu hanya bisa memaksakan senyum di bibir. Senyuman hambar tentu saja. Jiwaku sontak tertekan dan meronta-ronta ingin pulang. “Mami,” sapaku dengan suara parau. Kuulurkan tangan ke arahnya, kemudian mencium tangan keriput nan kurus milik Mami dengan takzim. Sementara itu, tangan kiri beliau sibuk mengusap-usap puncak kepalaku yang tertutupi hijab rawis warna salem. “Ayo, masuk. Kamu pasti lelah kan, di perjalanan. Mandi dulu,” ujar Mami bers
BAGIAN 103TAK PANTAS KUPILIH “Riri, kamu benar-benar cantik malam ini. Mami ternyata tidak salah memilihkan pakaian buatmu.” Selesai salat berjamaah, kami bertiga makan malam bersama di meja makan yang terasa begitu luas bagiku. Kali ini, Mami meminta para pembantu, sopir, dan perawatnya untuk makan terpisah sebab ada hal penting ingin dia bicarakan pada kami berdua. Tentu saja aku merasa begitu was-was saat harus duduk sendirian menghadap dua orang yang masih saja menurutku sangat misterius tersebut. Apalagi kalimat demi kalimat yang tertuang dalam surat cinta di kamar mandi tadi masih terngiang-ngiang di kepala. Betul-betul sangat menggangguku. “Terima kasih, Mi,” sahutku sambil memaksakan tersenyum.&nbs
104GOSIP MURAHAN “Dayu, tutup mulutmu! Kamu harus menyadari bahwa sikapmu yang seperti itulah yang membuat wanita tak suka!” Mami tiba-tiba menghardik anaknya. Kedua bola mata sayu itu kini membeliak besar. Begitu tampak rasa kecewa Mami yang besar kepada sang ragil. Aku setuju dengan beliau. Kalau saja Pak Dayu tak begitu padaku sejak awal, mungkin aku bisa saja menerimanya. “M-maafkan aku, Mi,” sahut pria itu dengan terbata-bata. “Minta maaf pada Riri! Berjanjilah untuk tidak menekannya lagi, meski dia telah menolakmu mentah-mentah!” Pak Dayu mengangguk. Terlihat dia begitu tak memiliki daya apabila di hadapan sang mami. Pria itu menatapku dengan tatapan yang lebih melunak. Dia pu
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu