105
MURKA MAMA
Kata-kata Amad yang membuatku meradang hanya bisa kuabaikan. Tak kujawab dengan barang sepatah kata pun. Segera kurebut barang bawaanku darinya, lalu setengah berlari menuju mobil. Buat apa klarifikasi, pikirku. Telat! Semua orang di kantor ini telanjur telah berpikir bahwa kami telah menjalin hubungan spesial. Bila Pak Dayu memang merencanakan semua ini untuk mencemarkan nama baikku, maka sesungguhnya dia telah berhasil! Ya, dia memang kurang ajar. Laki-laki paling pecundang yang pernah kukenal di muka bumi ini kini bertambah menjadi satu lagi, yakni Handayu.
Aku pun memasukkan seluruh bawaanku ke bagasi. Secepat kilat kututup kembali bagasi, kemudian masuk ke kursi kemudi. Tanpa menunggu lama, aku segera tancap gas. Melewati pos satpam begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan atau ucapan terima kasih paa Amad.
106SURAT SIDANG PERTAMA Suasana di rumah maupun di kantor sama tak enaknya untukku. Mama yang bersikap sinis padaku di rumah, lalu teman-teman kantor yang kini melemparkan pandangan aneh bin julid. Aku tak berani membahas masalah ini pada siapa pun, apalagi kepada Eva. Sejak pagi aku hanya diam di meja kerjaku. Menjawab beberapa panggilan customers yang lumayan berperikemanusiaan atau mengelola sosial media khusus pengaduan milik perusahaan yang tak begitu ramai komplain hari ini. Ketika hampir mendekati jam makan siang, tiba-tiba Eva menyeret kursi kerjanya ke mejaku. Menatap dengan penasaran seakan sikapku hari ini berbeda di matanya. “Riri, kenapa dari tadi diam aja, sih?” Mata wanita itu terlihat penuh selidik. “Hmm, ya?” tanyaku pura-pura gelagapan.
107TANTANGAN UNTUK CHRIS “Udah, nggak usah dibahas! Aku sekarang turun ke resto. Tunggu aja di sana,” pungkasku. “Oke-oke. Aku segera meluncur. Kamu hati-hati di jalan. Bye.” “Assalamualaiku!” kataku dengan nada yang agak kesal. “Waalaikumsalam.” Sambungan telepon pun kupadamkan. Buru-buru aku keluar dari toilet dan betapa terkejutnya saat melihat Eva tengah mencuci tangan di wastafel yang berada tepat di seberangku. “Lama banget, Ri, di dalam?” Eva menoleh. Mengibas-ngibaskan tangan basahnya ke samping, kemudian menatapku dengan wajah y
108PENGAKUAN CHRIS “Kalau memang berat untuk bercerita, lebih baik disimpan sendiri saja.” Aku berucap dengan nada menyerah. Mungkin setiap orang butuh privasi masing-masing. Aku jadi agak menyesal sebab telah menodong Chris untuk membeberkan aib masa lalunya. Bertepatan dengan itu, seorang pelayan perempuan dengan seragam batik lengan ¾ datang bersama sebuah nampan yang terisi penuh makanan di atasnya. Perempuan berkulit kuning langsat dan rambut disanggul rapi ke belakang itu meletakkan satu per satu pesanan kami. Ada nasi goreng black pepper yang menggoda selera, nasi panas dengan taburan bawang goreng yang wangi, sate jamur kancing, dan semangkuk sup jamur tiram bersama sayur mayur lainnya. Chris seakan mendapatkan jackpot besar setelah interupsi itu datang. Dia jadi tak harus menjawab pertanyaanku tadi. Agak nyesek,
109TANGIS MAS HENDRA Kupandangi wajah Chris sejenak saat kami tiba di depan pintu ruang rawat inap biasa tempat di mana Mas Hendra berada. Masa kritisnya sudah lewat. Menurut dokter yang merawat, suamiku itu sudah dipindahkan sejak kemarin sore ke ruangan yang kebetulan hanya dihuni oleh dirinya seorang karena masih sepi pasien. Chris lalu balik menatapku. Mengangguk kecil seperti memberikan penguatan atas keraguan yang mendadak muncul. “Masuklah duluan,” ucapnya lirih. Aku pun dengan setengah enggan menarik handle pintu dan membuka pintu perlahan. Kulihat sesosok pria sedang terbaring di ranjang pertama dekat toilet dan pintu masuk. Pria yang tangan kanannya terpasang borgol itu menoleh ke arahku. Tatapannya sayu. Waja
BAGIAN 110SURAT DARI MAS HENDRA Kepada YTH. Riri Mustika Di tempat Berkenaan dengan sidang mediasi hari ini yang dilaksanakan di kantor Pengadilan Agama, saya Hendra Purnama menyatakan menerima segala tuntutan cerai yang Anda layangkan dan sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Atas segala harta yang kita miliki selama pernikahan berlangsung, saya merelakan bahwa harta tersebut dikelola oleh Anda demi kepentingan putri semata wayang kita, Carissa Farzana. Saya juga berkomitmen untuk tidak akan pernah hadir pada sidang-sidang selanjutnya demi proses perceraian yang lebih cepat. Sekian surat pernyataan ini saya buat. Surat ini saya buat tanpa paksaan oleh
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b